Komisi Pemilihan Umum mengusulkan, bekas narapidana perkara korupsi dilarang mencalonkan diri pada Pemilihan Umum Legislatif 2019. Selain itu, KPU juga mengusulkan agar mereka yang ingin jadi calon anggota legislatif harus menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

Kedua usulan ini nantinya akan ditambahkan sebagai ketentuan baru dalam peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif. KPU beralasan bahwa pengaturan ini bertujuan agar masyarakat dapat memilih calon anggota parlemen yang bersih dan punya rekam jejak yang baik.

Rencana KPU melarang narapidana korupsi mendaftar sebagai caleg dan keharusan pelaporan kekayaan sebagai syarat pencalonan dalam Pemilu 2019 layak diapresiasi. Regulasi ini diharapkan dapat mendorong Pemilu 2019 yang lebih demokratis dan berintegritas.

Larangan mengenai bekas narapidana korupsi jadi caleg dan pelaporan kekayaan dapat dikatakan sebuah terobosan karena ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 240 Huruf g UU Pemilu hanya mensyaratkan caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan bekas terpidana. Aturan ini tentunya berbeda dengan periode sebelumnya, yaitu tahun 2013, di mana KPU membolehkan bekas narapidana perkara korupsi ikut dalam Pemilu 2014. Akibatnya, sejumlah eks narapidana korupsi kemudian mendaftarkan diri jadi caleg. Sungguh ironis, ternyata masih ada bekas terpidana korupsi yang akhirnya terpilih menjadi wakil rakyat.

Keberadaan caleg tidak berintegritas tentu saja akan menambah masalah bagi parlemen—baik di pusat maupun di daerah—di kemudian hari. Muncul kekhawatiran keberadaan bekas koruptor dalam parlemen hanya akan menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah ia lakukan.

Tidak dapat dimungkiri citra parlemen selama ini tercoreng akibat sejumlah perkara korupsi yang melibatkan anggotanya. Pada 2014, Indonesia Corruption Wacth (ICW) menemukan sedikitnya 59 anggota dewan terpilih (DPR, DPRD, DPD) periode 2014-2019 yang tersangkut perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se- Indonesia pernah tersangkut perkara korupsi selama kurun 2004-2014. Peristiwa terbaru adalah ketika KPK menetapkan tersangka korupsi secara massal terhadap 38 anggota DPRD Sumatera Utara dan 19 anggota DPRD Kota Malang. Masuknya eks koruptor sebagai anggota legislatif tentu saja akan semakin menguatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap parlemen.

Pelaporan kekayaan

Pada sisi lain, keharusan menyerahkan laporan kekayaan pada awal pencalonan juga diharapkan dapat meminimalkan rendahnya pelaporan kekayaan para anggota legislatif yang kelak terpilih. Sudah rahasia umum jika sudah terpilih biasanya banyak anggota legislatif yang malas bahkan tak mau melaporkan kekayaannya kepada KPK.

Hal ini dibuktikan dari data KPK tahun 2016 yang menyebutkan baru 62,75 persen dari 545 anggota DPR periode 2014-2019 yang menyerahkan LHKPN. Selebihnya, 37,25 persen atau 203 wakil rakyat belum melaporkan kekayaan mereka. Tidak hanya DPR, sebanyak 9.676 anggota DPRD di seluruh Indonesia juga belum menyetorkan LHKPN.

Padahal, pelaporan kekayaan merupakan salah satu bentuk komitmen antikorupsi setiap pejabat publik, termasuk anggota legislatif. Apalagi kewajiban pelaporan kekayaan anggota Dewan merupakan mandat dari UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Pasal 5 Ayat 3 regulasi tersebut menegaskan, anggota DPR/DPRD selaku penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat.

Hanya saja, jadi atau tidaknya aturan melarang eks narapidana korupsi mendaftar dan pelaporan kekayaan dapat diakomodasi dalam peraturan KPU sangat bergantung pada keberanian KPU sendiri. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU berhak membuat aturan pelaksanaan pemilu sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam kondisi tertentu terobosan hukum bisa saja dilakukan KPU untuk memastikan bahwa pemilu dapat berjalan secara demokratis dan berintegritas.

Untuk memastikan caleg yang ikut pemilu adalah figur berintegritas, akan sangat baik jika dalam PKPU juga diperluas larangan mendaftarkan diri sebagai caleg tidak saja bagi bekas narapidana korupsi, tetapi juga terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana perkara korupsi. Bahkan, untuk mencegah figur bermasalah mendaftar, KPU dapat menambahkan syarat pencalonan berupa adanya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan Surat Pernyataan Tidak Pernah Dijatuhi Pidana yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri setempat. Kedua syarat ini lazim digunakan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil dan calon pejabat publik lainnya.

Menghadirkan caleg berintegritas seharusnya juga didukung partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019 sebagai bentuk komitmen mereka terhadap upaya pemberantasan korupsi. Selama ini parpol sering mengabaikan aspek integritas kader-kadernya yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mereka lebih mengutamakan caleg yang loyal dan punya kemampuan finansial daripada figur yang punya rekam jejak dan integritas yang baik.

Jika Pemilu 2019 diikuti oleh caleg yang berintegritas atau minim masalah hukum, tentu saja publik akan punya harapan bahwa anggota legislatif yang terpilih nantinya mau bekerja sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika semua caleg yang terpilih tidak lagi diragukan integritasnya, tentu saja citra parlemen akan semakin baik di mata publik.