Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memberi tugas baru bagi senator, wakil daerah. UU itu membuat DPD lebih berdaya.

UU No 2/2018, yang mengubah UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), menambah huruf (j) pada Pasal 249, yang memberikan wewenang baru kepada DPD untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah. Kewenangan ini sebelumnya dimiliki Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah provinsi.

Sesuai UU itu, kewenangan DPD, yaitu mengajukan rancangan UU yang terkait otonomi daerah dan urusan daerah lainnya; membahas RUU terkait daerah; menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah RUU yang berasal dari pemerintah atau DPR; memberikan pertimbangan kepada DPR terkait RUU APBN, RUU pajak, pendidikan, atau agama; serta melakukan pengawasan terkait pelaksanaan UU terkait daerah. Selain itu, DPD juga bisa menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan UU terkait daerah kepada DPR, menerima hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), memberikan pertimbangan kepada DPR dalam memilih anggota BPK, serta menyusun program legislasi nasional terkait otonomi daerah.

Jika dicermati dan sejalan dengan reaksi dari masyarakat, titik berat perumusan UU MD3, yang dibahas pemerintah dan DPR, adalah tetap memperkuat DPR. Selain menetapkan penambahan kursi pimpinan untuk MPR, DPR, dan DPD, terasa UU itu seperti memberikan "hiburan" bagi DPD, dengan menambah kewenangannya. Namun, penambahan kewenangan dan tugas itu tidak disertai dengan peningkatan "fasilitas" dan otoritas DPD.

Penjelasan Pasal 249 UU No 2/2018 adalah "cukup jelas". Ini berarti dalam menjalankan tambahan wewenang dan tugas untuk memantau dan mengevaluasi raperda dan perda, DPD tak bisa lain harus mengoptimalkan sumber daya yang ada. Ayat (2) Pasal 249 hanya menyebutkan, dalam menjalankan tugas pengawasan, anggota DPD bisa menggelar rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat dari daerah pemilihannya. Pasal 250 menyatakan DPD mandiri dalam menyusun anggaran untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya itu.

Bandingkan dengan penguatan terhadap DPR, yang diberikan dalam UU No 2/2018, yang membuat masyarakat mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. DPR dapat memaksakan kehadiran siapa saja untuk hadir dalam rapat yang digelarnya, memaksakan siapa saja untuk melaksanakan rekomendasi yang dibuat DPR dan hak kekebalan anggota DPR pun kian diperkuat.