Dulu untuk mengatasi gejolak harga alokasi penyaluran raskin ditambah 1-3 kali penyaluran per bulan atau sekitar 300.000-900.000 ton, karena pemerintah menyadari bahwa pengendalian harga melalui operasi pasar (OP) tidak efektif karena Bulog hanya mempunyai 1 macam kualitas kelas medium.

Panen awal sudah usai dan panen raya padi sedang mulai, bahkan di beberapa tempat seperti di antara Sragen-Solo dan Demak-Kudus, sebagian petani sudah menanam padi kembali. Namun, harga beras masih stabil tinggi (Kompas, 10/3, halaman 18). Hal ini sebenarnya aneh, tapi nyata.

Paling tidak terdapat empat faktor yang memengaruhi keadaan pasar beras. Pertama tingkat persediaan masyarakat pada awal panen. Kedua, keadaan panen rendengan musim tanam (MT) 2017/2018 dan prospek gadu MT 2019. Ketiga, kebijakan pemerintah terutama dampak perubahan penyaluran beras natura ke kupon, dan perubahan kebijakan harga pembelian pemerintah cq Bulog. Keempat, faktor lain yaitu kemungkinan kelangkaan persediaan beras medium.

Yang tidak kita sadari, pada akhir 2017 dan awal 2018, persediaan di masyarakat "kosong" antara lain akibat kebijakan pemerintah atas pengalihan penyaluran beras dalam bentuk natura (raskin) ke bentuk kupon. Dulu untuk mengatasi gejolak harga alokasi penyaluran raskin ditambah 1-3 kali penyaluran per bulan atau sekitar 300.000-900.000 ton, karena pemerintah menyadari bahwa pengendalian harga melalui operasi pasar (OP) tidak efektif karena Bulog hanya mempunyai 1 macam kualitas kelas medium. Data empiris menunjukkan jumlah OP 2005-2017 rara-rata 100.000-300.000 ton per tahun.

Stok kosong

Sebenarnya pemerintah sudah mengetahui adanya kenaikan harga beras karena kekosongan stok masyarakat, sehingga sudah dilakukan OP mulai bulan Oktober. Namun, karena kualitas beras yang dijual tidak sesuai dengan permintaan pasar, maka jumlahnya sampai Desember hanya sekitar 20 ribu ton. Ini berbeda dengan penambahan alokasi raskin yang pemerintah secara aktif menambah pasokan, sedangkan apabila melalui OP para pedagang akan berhati-hati menerimanya karena ada risiko rugi. Ditambah kebingungan masyarakat karena pernyataan yang kontroversial tentang terjadinya surplus beras di tengah kenaikan harga.

Dengan demikian wajar apabila harga bergerak naik yang mencapai puncaknya saat pemerintah mengumumkan akan mengimpor beras. Berdasar pengalaman yang lalu, untuk menurunkan harga beras Rp 1.000 diperlukan OP 500 ribu ton.
Oleh karena itu untuk menurunkan harga beras dari Rp 11.000 ke Rp 9.500 diperlukan OP sekitar 1,5 juta ton, padahal realisasi OP Bulog hanya sekitar 200 ribu ton. Oleh karena sekarang ini instrumen penambahan alokasi raskin sudah tidak ada, perlu dicari model OP yang efektif untuk membendung kenaikan harga pada masa mendatang.

Selain itu besarnya Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang hanya dibiayai Rp 3 triliun atau setara 300 ribu ton beras, jelas sudah tidak memadai lagi. Seharusnya CBP yang ideal adalah 1,5-2 juta ton yang pada tahun sebelumnya cadangan beras pemerintah tersebut built in di dalam persediaan untuk raskin, sehingga cukup 300 ribu ton saja.
Untuk hal-hal yang menyangkut CBP baik jumlah dan cara penyalurannya perlu segera dirumuskan. Hal ini karena tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik, sehingga sebaiknya tidak mengambil risiko terhadap stabilitas harga beras.

Prospek panen padi

Alhamdulillah, dari panen padi yang sudah berjalan, petani mengatakan baik, tidak ada serangan hama. Kita harapkan panen sisa MT 2017/2018 yang terjadi pada Maret dan April juga akan baik.
Selanjutnya penyediaan beras 2018 akan ditentukan keberhasilan oleh panen gadu MT 2019. Salah satu penentunya adalah curah hujan pada musim kemarau yang akan datang, banyak prediksi akan lebih kering dari tahun lalu (Kompas, 20/2). Untuk itu yang akan tidak ada masalah penyediaan air adalah tanaman gadu yang ditanam awal (Februari dan Maret) seperti di Demak, Kudus, Sragen, Ngawi, Madiun dan sebagainya yang akan panen lagi pada bulan Juni.

Sedangkan untuk daerah lain terutama pantura Jawa Barat yang akan panen gadu pada bulan Juli kemungkinan akan menghadapi masalah. Demikian juga daerah yang biasa panen 3 kali mengandalkan irigasi pompa air seperti di Sragen, Ngawi, Madiun dan Nganjuk, areal yang ditanami padi kemungkinan akan lebih kecil.
Dengan demikian pasokan gabah dan beras di Jawa kita berharap lebih baik dari tahun yang lalu. Hal ini akan semakin aman bila ditunjang keadaan panen di Sulawesi Selatan tidak terganggu.
Kebijakan pemerintah.

Dampak kebijakan pemerintah atas pengalihan raskin dari natura ke kupon yang berjumlah sekitar 1,5 juta ton telah diantisipasi oleh pasar. Indikasinya antara lain tingkat harga yang masih relatif tinggi pada Maret 2018. Kita perhatikan di daerah yang sedang panen, pasar gabah diserbu oleh pedagang/penggilingan luar daerah, tampak dari truk-truk mereka.
Alhamdulillah gabah basah karena hujan, semuanya diserap dengan harga tinggi terutama oleh penggilingan besar yang mempunyai sarana pengering. Mereka "trauma" kejadian yang lalu yang harus membeli gabah di atas Rp 7.000 per kg. Selain itu beberapa petani mampu dan pedagang, sekarang cenderung menyimpan gabah lebih banyak.

Hal lain sepertinya kita tidak belajar dari pengalaman tahun sebelumnya, yaitu mengubah kebijakan harga pada masa panen yang menaikkan harga pasar, sehingga tidak membantu jumlah pengadaan Bulog. Kebijakan seperti ini juga tidak efektif sama sekali ketika menghadapi krisis beras 1972 dan 1998.
Perlu juga ditambahkan harga pembelian Bulog itu merupakan barometer pasar, perubahan di tengah jalan akan mengubah keseimbangan pasar. Untuk itu kebijakan fleksibilitas harga sebaiknya tidak dipertimbangkan lagi, pengalaman tahun 2017 merupakan bukti yang nyata.

Kebijakan tak tepat

Jangan berharap dapat mengendalikan beras medium dengan OP beras medium. Ibarat menghadapi musuh yang bersenjata laras panjang, tidak mungkin dikalahkan dengan senjata laras pendek. Pengalaman 2005-2017 juga demikian, OP dengan beras medium tidak efektif, sehingga perlu penambahan raskin.

Satu hal lagi, kenaikan harga pembelian Bulog dengan tidak diikuti perubahan HET adalah suatu kebijakan yang tidak tepat, karena akan berdampak pada penyempitan margin pemasaran.
Hal lain dari pengalaman selama ini juga memberi pelajaran bahwa kebutuhan impor sudah dapat diprediksi pada bulan Agustus dan sudah dapat dipastikan pada bulan September/Oktober.
Akhir September merupakan tingkat persediaan tertinggi di Bulog. Sebaiknya pemerintah tidak mengambil risiko apabila mempunyai stok cadangan di bawah minimal pada akhir September.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah jangan berharap dapat mengendalikan beras medium dengan OP beras medium, pengalaman sejak 1970 harus dengan beras kualitas lebih tinggi.
Ibarat menghadapi musuh yang bersenjata laras panjang, tidak mungkin dikalahkan dengan senjata laras pendek. Pengalaman 2005-2017 juga demikian, OP dengan beras medium tidak efektif, sehingga perlu penambahan raskin.

Kebijakan pemerintah yang menaikkan harga beli gabah/beras oleh Bulog dengan tidak merevisi HET beras juga akan berdampak pada kelangkaan persediaan beras medium di pasar. Ditambah lagi pengalihan penyaluran beras raskin ke kupon juga akan menambah daftar kelangkaan beras medium.
Selain itu ternyata pasar memerlukan beras "kawak" yang selama ini dipenuhi dari beras raskin untuk indusrtri lempeng, nasi rawon dan nasi uduk.

Membenahi sistem dan pengganggaran yang mengatur masalah cadangan pangan/beras dan program stabilisasi harga pangan/beras perlu segera dilakukan agar tidak terjadi kekisruhan di tahun politik. Tugas Bulog itu ibarat pemadam kebakaran, api sudah berkobar tetapi untuk memandamkan harus menunggu izin atau airnya harus mencari dulu.

Semoga hal ini mendapat perhatian.