Propaganda politik untuk membangun ketakutan kolektif publik tersebut telah menjauhkan ruang diskursus publik dari pertarungan gagasan dan narasi politik yang menggugah dan menyemangati (encouraging).

Terdapat dua instrumen 'politik segala cara' yang aktual dan potensial digunakan untuk menyebar ketakukan publik berkaitan dengan politik elektoral, yaitu sentimen rasial dan politisasi agama. Keduanya digunakan secara sistematis oleh kekuatan politik untuk meraih kekuasaan.

Tuduhan pengibulan yang dilontarkan oleh politisi sepuh Amien Rais berkaitan dengan distribusi sertifikat tanah rakyat menurut penulis bukan hanya merupakan bombastisme wacana politik yang miskin data semata, namun lebih dari itu sebenarnya merupakan pintu masuk untuk melepaskan dua 'peluru politik' sekaligus; delegitimasi program pemerintah Joko Widodo dan problematisasi kesenjangan ekonomi dalam bentuk gap penguasaan tanah.

Begitu pun halnya dengan statemen Indonesia bubar tahun 2030 yang dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo. Secara obyektif, 'prediksi' itu jelas fiksi (apalagi diakui oleh sang pemberi pesan bahwa sumber pesannya adalah novel) yang fakir data penunjang dan cenderung delusif.

Pernyataan tersebut juga bukan hanya ekspresi pesimisme dan sinyal kewaspadaan. Namun lebih dari itu, 'peluru politik' yang dimuntahkan jelas dimaksudkan untuk menyasar pemerintahan Presiden Jokowi agar tercitrakan gagal mengatasi segregasi sosial serta tidak mampu menjaga kohesi sosial maupun integrasi nasional.
Ujungnya, tentu saja mempersoalkan kesenjangan penguasaan aset nasional juga sebagai pemicu 'bubarnya' negara.

Politik rasial

Dengan demikian, baik narasi 'pengibulan distribusi sertifikat tanah rakyat' maupun 'Indonesia Bubar 2030' sejatinya sama-sama ingin mengetengahkan pesan bahwa integrasi nasional berada dalam ancaman super serius karena kesenjangan ekonomi dan penguasan aset strategis nasional oleh segelintir orang. Target elektoralnya tentu menurunnya elektabilitas Jokowi. Namun demikian, jangan dilupakan, dampak logis yang pasti berkembang adalah meningkatnya sentimen, kemarahan, dan kebencian rasial terhadap anak bangsa beretnis Tionghoa yang saat ini sudah dipropagandakan secara peyoratif sebagai 'aseng'.

Sentimen rasial yang memicu kebencian dan kemarahan antar kelompok pembentuk bangsa Indonesia tentu harus dihindari sebagai komoditas politik. Jagat politik yang bersendikan tata karma (fatsun) dan keadaban (civility) idealnya tidak memberikan ruang bagi kampanye rasial yang memecah belah kohesi sosial semacam itu.

Perlu dicatat, 'jualan' kebencian rasial untuk kepentingan kontestasi kekuasaan mencerminkan dangkalnya imaginasi politik. Para politisi yang lebih suka mengkatalisasi kemarahan publik dan ujungnya memicu segregasi sosial melalui hiperbol politik, apalagi dengan 'ancaman' hancurnya Indonesia sebagai rumah bersama, sesungguhnya sedang membangun bayang-bayang ketakutan publik akan masa depan kolektif.

Penyelesaian persoalan kehidupan kebangsaan kita, di tangan para politisi negarawan seperti Soekarno dan pendiri negara lainnya, pasti akan dilakukan dengan membangun politik yang mempersatukan, bukan memecah belah.

Kesenjangan ekonomi dan penguasaan tanah merupakan persoalan nyata rumah bersama, namun tidak logis kalau penyelesaiannya dilakukan dengan cara membakar sentimen sosial yang dapat merobohkan rumah bersama itu.

Dalam sejarah perjalanan politik kita, ketakutan, kebencian, dan kemarahan berbasis sentimen rasial pada tahun 1997-1998 telah menyisakan tragedi kemanusiaan yang tidak boleh terulang. Perkosaan massal terhadap para perempuan beretnis Tionghoa pada masa reformasi—dimana penyelesaian secara adil atas tragedi tersebut tidak kunjung terjadi—merupakan teror politik rasial yang sangat lebih dari cukup untuk kita jadikan pelajaran agar tidak terulang.

Politisasi agama   

Selain sentimen rasial, politisasi agama juga digunakan untuk kepentingan elektoral. Perhelatan Pilkada, Pemilu, dan Pilpres mulai ramai dengan penggunaan "neraka, kafir, dan ketidakberkahan" sebagai alat politik pengepul suara (vote getter). Pilkada 2017 telah menyingkirkan figur "kafir penista agama" melalui politisasi agama.

Demi kepentingan politik elektoral, tempat-tempat ibadah dan pengajaran agama dijadikan sebagai ruang untuk memupuk kebencian terhadap liyan dengan menggunakan doktrin agama. Selain itu, umat beragama dikondisikan untuk merasa tidak aman dan terancam oleh posisi politik kelompok agama yang berbeda.

Secara umum, apabila kita cermati kampanye dan narasi politik yang dibangun oleh para politisi, muncul kecenderungan mereka untuk menyerang sesama anak bangsa, dengan mengaduk-aduk emosi primordial terutama ras, etnis, dan agama.   Instrumentasi politik ketakutan dalam kampanye elektoral menunjukkan gejala politik kekuasaan ala Foucalt yang berwatak hayati, kekuasaan bio (biopower).

Secara literal, biopower merujuk pada eksistensi kekuasaan tubuh terhadap tubuh yang lain. Kekuasaan sebuah entitas dibayangkan melekat pada entitas yang lain. Energi kekuasaan sebuah kelompok terdapat pada kelompok yang lain.

Dalam logika praksis Foucaltian, untuk memiliki kekuasaan sepenuhnya harus dilakukan dengan menghabisi kekuasaan yang lain (others).

Dalam konteks itu, ras dan agama menjadi alat strategis untuk eksperimentasi biopower. Isu rasial (juga agama) dapat mendorong praktik biopower untuk "membuat kehidupan atau membiarkan kematian" (Michael Foucault, 2003).

Maka narasi mengenai perbedaan dan perasaan inferior atau superior terhadap atau di hadapan yang lain digunakan untuk menentukan siapa yang mesti hidup dan siapa yang harus mati. Dalam kerangka biopolitis, kematian dan ketiadaan yang lain adalah prasyarat untuk kehidupan dan keberadaan suatu kelompok politik.

Begitulah kira-kira politik ketakutan bekerja dalam dinamika elektoral kita. Isu ras dan agama digunakan oleh kekuatan politik tertentu untuk meminggirkan, mengeksklusi, menundukkan, bahkan membunuh yang lain demi eksistensi dirinya.

Menghabisi

Upaya meraih kekuasaan kemudian dilakukan dengan cara keras, kasar, dan menghabisi. Kontestasi elektoral bukan dilakukan dengan menghidupkan iklim kompetisi politik yang berbasis keadaban, tetapi dengan kampanye hitam, hoaks, ujaran kebencian dan ketakutan.

Dampaknya, kohesi sosial dan integrasi nasional pada gilirannya berada dalam kerawanan akibat praktik-praktik politik demikian yang dilakukan oleh politisi dan penumpang gelap politik.

Oleh karena itu, publik dan politisi-politisi "baru" yang kini terjun ke dalam kancah elektoral hendaknya melawan tesis politik ketakutan dengan antitesis politik harapan (politic of hope). Dalam perspektif itu, politik merupakan sarana untuk mewujudkan harapan bersama akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Tanpa imajinasi mengenai harapan akan masa depan, sulit untuk mengikat aneka perbedaan SARA menjadi kekuatan yang mempersatukan.

HendardiKetua Badan Pengurus SETARA Institute

Kompas, 3 April 2018