Sebagian di antara kita niscaya mudah memahami bahwa kehadiran TKA itu bersamaan dengan masuk atau meningkatnya investasi asing dalam beberapa tahun terakhir. Khususnya yang bergerak dalam (percepatan) pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam (SDA), utamanya dalam bidang pertambangan dan energi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2). Rapat diantaranya membahas mengenai persaingan tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing serta perkembangan kasus pekerja pada pabrik petasan di Tangerang, Banten, yang meledak akhir Oktober tahun lalu.

Keberadaan para TKA berikut investasi asing memang telah dan sedang jadi perbincangan hangat nan kontroversial dalam negeri. Bahkan isunya berkembang jadi sangat politis, spekulatif nan liar. Sebutlah seperti kekhawatiran akan adanya bentuk kolonialisme baru yang dimulai dari penguasaan ekonomi oleh pemodal asing, yang mana pengaruhnya dianggap ampuh melalui jalur kekuasaan. Apalagi data statistis pinjaman luar negeri melonjak tajam selama pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Tepatnya, eksistensi TKA dan investasi asing selama ini menjadikan banyak pihak berprasangka buruk terhadap pemerintahan Jokowi, yang kian menambah tinggi tensi politik dalam menghadapi Pilpres 2019.

Tafsir subjektif

Kecurigaan bernuansa politik seperti itu tentu wajar-wajar saja, apalagi di tahun politik seperti sekarang ini. Namun di era sekarang, diakui atau tidak, kehadiran 'insvetasi asing', 'utang' dan 'sekaligus TKA' niscaya tak bisa dihindari. Apalagi dalam kondisi negara seperti Indonesia yang menghendaki adanya akselerasi pembangunan, eksistensi dari ketiganya itu mustahil untuk ditiadakan.

Singkat kata, investasi dari luar di mana modal dan teknologinya juga adalah produk luar negeri, sudah pasti memerlukan TKA. Sebab, baik teknologi maupun panduan penggunaannya yang berbahasa asing sudah lebih dulu familier dengan para TKA tersebut.

Namun demikian, sebenarnya Perpres No 20/2018 itu memiliki dampak positif bagi iklim investasi dan ketenagakerjaan kita. Mengapa?

Pertama, dapat menjadi contoh pelayanan publik (investasi dan ketenagakerjaan) yang berkepastian dan prima. Pada Pasal 8, 12 dan 13, misalnya, dinyatakan secara tegas jangka waktu (maksimal dua hari kerja) untuk melayani atau memberi kepastian tentang keabsahan urusan TKA (setelah lengkap seluruh administrasi yang disyaratkan). Hal ini seharusnya dijadikan tradisi pelayanan publik yang prima di sektor-sektor lainnya di negara ini, sehingga tidak mengesankan adanya 'pengutamaan' pelayanan TKA yang dapat menimbulkan tafsir subjektif yang liar di dalam masyarakat kita.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ilustrasi tenaga kerja asing

Kedua, adanya peluang transfer pengetahuan dan keterampilan dari TKA ke TKI (tenaga kerja Indonesia). Pada Pasal 26 Perpres No 20/2018, secara tegas mewajibkan pengguna TKA untuk menyertakan tenaga kerja pendamping (yang notabene adalah TKI), serta pendidikan dan latihan bagi TKI untuk bisa menangani pekerjaan yang ditangani oleh TKA. Jika ini dilakukan, maka niscaya suatu waktu TKA akan kian berkurang di Indonesia karena sudah banyak orang Indonesia yang terlatih dan atau terampil bekerja pada bidang-bidang pekerjaan yang ditangani oleh TKA.

Ketiga, adanya kepastian pemasukkan negara jenis pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari keberadaan TKA. Pada Pasal 24 Perpres No 20/2018 dinyatakan secara tegas kewajiban pengguna TKA untuk membayar dana kompensasi. Pembagian dana kompensasi ini selain akan masuk sebagai bagian dari pendapatan negara, juga akan masuk ke kas daerah di mana TKA itu bekerja.Berprasangka buruk

Gambaran di atas bahwa keberadaan TKA sebenarnya dalam jangka pendek bisa dikatakan (akan) cukup berkontribusi dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan sekaligus jadi wahana training by doing (berlatih sambal bekerja) bagi para angkatan kerja produktif bangsa ini.

Yang tak kalah penting, jika skema 'kewajiban TKI pendamping' bagi pengguna TKA sebagaimana secara eksplisit terdapat pada Pasal 26, maka TKA akan berangsur-angsur kembali ke negara masing-masing atau ke negara lain yang membutuhkan mereka.  Setidaknya, pada suatu waktu nanti yang akan tersisa hanya TKA bidang-bidang spesifik saja, termasuk para pemilik modal asing dan keluarga yang secara langsung mengawal investasi mereka—seperti halnya PT Freeport Indonesia, PT Valle, dan sejumlah perusahaan PMA lainnya—di mana sebagian besar dari pekerjanya adalah TKI.

Beberapa catatan

Pertanyaannya, apakah skenarionya akan semulus seperti yang diharapkan tersebut? Tentu bergantung pada kehendak politik yang akan terlihat dalam aturan turunannya (peraturan menteri) atau petunjuk operasionalnya.

Mengapa?  Pertama, masih adanya wilayah abu-abu tentang jabatan yang boleh diisi dan atau diperpanjang oleh TKA. Tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan tentang hal itu. Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah pekerja kasar (unskilled labours) juga bisa jadi TKA? Kalau jabatan sebagai pekerja kasar, lalu pengetahuan dan keterampilan seperti apa yang akan ditransfer oleh TKA kepada TKI pendamping? Menurut hasil investigasi Ombudsman RI (2018), para pekerja di sejumlah perusahaan penanaman modal asing (PMA), utamanya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, masih banyak pekerjaan di level terbawah (lowest level jobs) ditangani oleh TKA.

Masih ada wilayah abu-abu tentang jabatan yang boleh diisi dan atau diperpanjang oleh TKA. Tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan tentang hal itu. Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah pekerja kasar (unskilled labours) juga bisa jadi TKA?

Kedua, jangka waktu TKA bisa ditolerir untuk bekerja di Indonesia juga masih belum jelas. Sebab, peluang untuk terus bertahannya seorang atau sekelompok TKA justru dibuka sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2). Padahal seharusnya ini dibatasi, disesuaikan dengan skema teknis tentang berapa lama proses alih pengetahuan dan keterampilan dari TKA ke TKI pendamping. Setelah TKI pendamping 'menguasai' bidang TKA yang didampinginya, maka semestinya ada kewajiban untuk menggunakan TKI, sebagaimana juga jadi misi mulia pemerintah yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1).

Ketiga, dan ini juga tak kalah memprihatinkan, Perpres No 20/2018 ini bukan mustahil akan disalahgunakan untuk melegalkan TKA ilegal yang selama ini bekerja di perusahaan PMA di sejumlah daerah di Indonesia. Soalnya, dengan alasan 'harus menjalankan kewajiban memberikan pelayanan prima dalam tempo singkat', boleh jadi akan dimanfaatkan oleh pihak pengguna TKA ilegal tersebut.

Ini semua tentu menjadi 'pekerjaan rumah' dari Presiden Jokowi, khususnya Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri, setelah keluarnya Perpres No 20/2018.