Ilustrasi: Presiden Soeharto (kanan) dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon (kiri) di Jakarta.

Setidaknya tiga film Hollywood terhubungkan dalam satu loop (apabila ujung awal dan akhir, setelah diurutkan, saling disambungkan, sehingga bisa berputar tanpa henti), yakni All The President's Men (Alan J Pakula, 1976), Mark Felt (Peter Landesman, 2017), dan The Post (Steven Spielberg, 2017). Ketiga film ini alurnya berkaitan, merupakan integrasi wacana sinema, jurnalisme, dan politik.

Pers dan kekuasaan

Dari ketiga film ini, All The President's Men dibuat paling awal, empat tahun setelah skandal Watergate mulai dilacak The Washington Post, dan Presiden AS Richard Nixon mengundurkan diri sebagai akibat pengungkapan keterlibatannya dalam usaha penyadapan markas Partai Demokrat. Dua wartawan koran itu, Bob Woodward dan Carl Bernstein, pun "mendadak selebritas". Star reporter sendiri memang terminologi tak resmi jurnalistik.

Dalam investigasinya, mereka mengalami kesulitan dengan tabir yang dipasang Gedung Putih, tetapi atas bantuan sumber rahasia, yang disebut "Deep Throat" (mengacu film Swedia tahun 1973 yang menggemparkan), keduanya terarahkan dengan tepat. Terlacak, dana dan peralatan lima penyusup itu berasal dari tim sukses Nixon dalam Pilpres AS 1972, yang sebagian besar dananya ilegal.

Baru 35 tahun kemudian, Deep Throat mengungkapkan siapa dirinya. Riwayatnya ditulis Woodward dalam The Washington Post tanggal 20 Juni 2005. Deep Throat adalah Mark Felt (1913-2008), yang pada saat peristiwa Watergate menjabat Wakil Ketua Biro Investigasi Federal AS (FBI). Kebijakannya untuk mengarahkan kedua wartawan itu berdasarkan situasi: FBI terancam kehilangan independensi. Penjabat direktur L Patrick Gray, pengganti Edgar J Hoover yang meninggal, tidak dipercayainya dalam sikap terhadap skandal Watergate.

Berdasarkan buku Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House (2006), film Mark Felt dibuat tahun 2017. Jika dibandingkan All The President's Men, kedua film bagaikan pasangan berpadan karena bermain lebih kurang pada masa yang sama, pertengahan 1972 dan seterusnya, tentang kasus yang sama. Khususnya scene pertemuan Bob Woodward dan Deep Throat/Mark Felt bagaikan saling meniru, dialognya pun mirip (semestinya bahkan sama).

Namun, dalam perbandingan total, pengertian berpadanan bukan karena sama, melainkan saling melengkapi sebagai dua film tentang Watergate dari sudut pandang berbeda: yang satu jurnalistik, yang lain intelijen. Jika The Washington Post mesti obyektif, FBI mesti netral. Ditambah The Post, terdapat satu lagi sequence, yang paralel dalam ketiga film, yakni penyusupan ke markas Partai Demokrat di Gedung Watergate, meski pada film terakhir hanya sebagai audio berita di akhir film.

Ini berarti The Post bisa menjadi prequel bagi kedua film lain, dan karena kedua film itu berpadanan, maka akibat kronologi dari Deep Throat ke Mark Felt, urutannya tentu All The President's Men lantas Mark Felt. Dengan meletakkan The Post sebagai prequel, film ini dipasang setelah Mark Felt karena akhir film The Post adalah awal film All The President's Men. Terjadi looping dengan sekali putaran 357 menit.

Adapun The Post tidak berkisah tentang Watergate, tetapi peranan The Washington Post dalam memuat Dokumen Pentagon yang dipasok analis militer Daniel Ellsberg pada 1971. Isi dokumen adalah analisis tentang Perang Vietnam di bawah koordinasi Robert McNamara, Menteri Pertahanan AS pada 1961-1968. Terungkap bahwa ternyata sudah disimpulkan, AS tidak mungkin menang dalam perang itu, tetapi masih mengirim pasukan, yang menjadi bulan-bulanan di hutan tropis negeri asing.

Sebetulnya, The Post adalah tentang Katherine Graham (1917-2001), yang menerima The Washington Post sebagai warisan keluarga, tetapi keawamannya dalam jurnalistik tidak menghalangi kepemimpinan tegar, menghadapi musim politik tersulit. Dokumen Pentagon dan skandal Watergate adalah di antaranya ketika jurnalisme The Washington Post, yang saat itu dikelola Ben Bradlee (1921- 2014), mendapat tekanan berat penguasa. Ketiga film berada dalam jenis political thriller, yang meskipun mengikatkan diri kepada fakta historis, janganlah disamakan dengan film dokumenter.

Bukan heroisme wartawan

Ketiga thriller ini disebut politis, bukan hanya karena situasi politik merupakan andalan dramatiknya, melainkan karena pesan yang dibawanya pun politis. Kedua film terbaru berjarak cukup lama dari sumber perkara, Mark Felt tak kurang 11 tahun dari bukunya, The Post, bahkan 41 tahun dari All The President's Men. Apa pasal? Mingguan The Economist edisi akhir Februari 2018 melaporkan: bukan rahasia lagi, Spielberg membuat The Post untuk melawan serangan Presiden AS Donald Trump kepada pers. Namun, ini tidak berarti heroisme wartawan yang menjadi daya tariknya karena Mark Felt pun bukan tentang wartawan.

Mengingat konteksnya, diperkirakan The Post hanya akan laku di kota- kota besar sepanjang pantai dan di kota-kota pelajar, tetapi persentasenya over-performing, bahkan di wilayah basis Partai Republik. Di Myers, Florida, tiket terjual 87 persen di atas perkiraan. Penerimaan The Post di daerah para pemilih Trump juga menunjukkan film ini tidak eksklusif bagi khalayak kota besar.

Fenomena jurnalisme dalam film itu, dalam analisis The Economist ditengok dengan metode pemeriksaan silang atas empat konteks: politik, usia, pers, dan pasar film jurnalistik.

Dalam (1) konteks politik, orang kiri, kaum hipster,dan pensiunan moderat menjadi pasar baru karena beroposisi terhadap Trump. Dalam (2) konteks usia, meski dibuat untuk 13 tahun ke atas, penonton The Post cenderung lebih tua; bukan nostalgia, tetapi keprihatinan dari kaum Republik ataupun Demokrat. Dalam (3) konteks pers, menurut lembaga riset Gallup, kepercayaan kepada pers meningkat, menjadi 27 persen pada 2017, dibandingkan 20 persen pada 2016; meski hampir separuh Demokrat percaya, hanya 13 persen dari kaum Republik—dukungannya miring.

Adapun dalam (4) konteks pasar film jurnalistik, The Post ataupun Spotlight (Tom McCarthy, 2015), film investigasi jurnalistik lain, menyedot lebih sedikit penonton dibandingkan All The President's Men yang pada masanya berekuivalensi 300 juta dollar AS. Beredar tahun 1976, artinya hanya berjarak empat tahun dari megaskandal tahun 1972 itu. Perubahan iklim politik berkontribusi pada perbedaannya. Semua data ini belum cukup untuk menyimpulkan faktor kewartawananlah yang ditanggapi pasar.

Jurnalisme dalam film

Sebagai teks, dari ketiga film terlihat hubungan jurnalisme dan politik bahwa jurnalisme tampak heroik dalam kebusukan politik. Dalam konteks ini, jurnalisme adalah politis tanpa menjadi alat politik. Namun, jika Mark Felt melengkapi siapa Deep Throat dalam All The President's Men, jurnalisme klasik dalam The Post terhadirkan dalam peleburan dua tanggapan: nostalgia sekaligus alternatif, akibat tenggelamnya fakta teruji dalam tsunami post-truth yang mengacak peta orientasi.

Dalam makna film Hollywood sebagai hiburan, pemahlawanan wartawan adalah suatu trik. Bukan berarti film itu bohong, tetapi kontras yang dipertajam melalui alur konflik adalah manipulasi, yang kepadanya bergantung pada berhasil tidaknya sebagai hiburan. Apa yang menghibur? Ilusi bahwa "kebenaran" akan selalu menang. Masalahnya, ketika sebuah film menjadi politis, tujuan menghalalkan cara berbahasa film, dan suatu ilusi tersahihkan menjadi kelinci idealis di depan moncong anjing penjaga (watchdog = pers), yang kini berbalap melawan gerombolan dubuk di luar track dalam rimba milenial.

Mungkinkah jurnalisme old school kembali ketika bahkan pembocoran telah menjadi genre dominan di internet? Kebusukan politik yang tertutup rapi tidak akan terbongkar oleh "jurnalisme" yang sama busuknya.