Namun, seiring dengan bermunculannya para pendakwah (penceramah) anyaranyang tak lagi menjunjung tinggi etika ujaran atau orasi yang arif, lambat laun dakwah kehilangan rohnya sebagai pemecah masalah atau setidak-tidaknya penuntun kebajikan. Banyak pendakwah yang tak lagi menyadari keluhuran posisinya sebagai khairu ummah (umat terbaik) dan cenderung terseret dalam pusaran berbagai kepentingan dan keuntungan.
Paradoks dakwah
Dalam posisi ketika dakwah kian tergerus oleh berbagai arus kepentingan dan keuntungan, ada sebuah paradoks di dalam dakwah yang disampaikan kepada masyarakat pendengarnya. Setidaknya ada dua model bagaimana paradoks merangkai cara pandang dan ciri berpikirnya. Pertama, model asal kontroversi, di mana pendakwah selalu memosisikan materi dakwahnya berseberangan dengan norma dan kesusilaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat atau negara. Semisal, pendakwah tak segan melabeli hukum yang berbeda, seperti bid'ah, syirik, kafir, dan sejenisnya terhadap praktik keragamaan masyarakat atau spirit kebangsaan yang sudah kondusif.
Selain itu, pendakwah yang hanya mengakui satu pandangan tertentu sebagai rujukan berdakwah sering kali menganggap pemahaman dirinya terhadap sebuah ajaran agama adalah yang paling benar. Meskipun dalam berdakwah ada berbagai pendekatan yang bersifat adaptif, akomodatif, dan dinamis terhadap beragam pengetahuan, realitas sosial dan pemahaman keagamaan, secara umum pendakwah semacam ini tetap bersikukuh pada satu pendekatan yang diyakininya.
Padahal, merujuk pemikiran Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al Qur'an, dakwah pada dasarnya adalah sarana pengubah (taghyir) dan proses transformasi menuju keinsafan serta menuju pada kebajikan. Dalam kedudukan dakwah yang demikian, ada proses kebertahapan (tadarrujiyan) yang perlu dilalui oleh pendakwah agar pesannya menjadi bagian dari pemecah persoalan yang ada.
Kedua, model asal konfrontasi, di mana pendakwah selalu menempatkan diri pada bagian yang berlawanan dengan siapa pun yang tidak sama arus kepentingannya. Apalagi, pada titik tertentu, ada afiliasi "kelompok emosional" yang berjalin kelindan antara pendakwah dan beberapa kelompok—baik secara sosial, politik, maupun ekonomi—yang sentimen dengan siapa pun yang dianggap tak sama kepentingannya. Semisal sentimen terhadap pemerintah dan kelompok moderat yang selama ini dianggap tak sejalan dengan model perjuangannya, maka para pendakwah ini semakin bergiat dalam menyebarkan ajaran-ajaran yang sensitif dengan pola ujaran yang provokatif.
Bahkan, pada tingkat yang lebih lebar, secara by design afiliasi itu berjalin kelindan dengan ideologi transnasional yang berupaya ingin menyebarkan paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme kepada khalayak publik sebagai cara penguatan model asal konfrontasinya.
Dampaknya, dakwah yang disampaikan terjebak dalam mata rantai nir-kebajikan dan nir-kesantunan. Dalam posisi kontroversi dan konfrontasi yang dikondisikan dalam berdakwah, tak jarang para pendakwah akan menyajikan materi-materi yang lebih mementingkan perbedaan dan persitegangan. Perbedaan yang seharusnya disikapi sebagai rahmat yang menopang harmoni kehidupan yang beraneka ragam justru dijungkirbalikkan sebagai daya serang yang berakibat pada munculnya berbagai keretakan dan kerentanan sosial. Bahkan, dalam kondisi yang ekstrem, para pendakwah yang sudah masuk dalam kerangkeng asal kontroversi dan asal konfrontasi tak mustahil akan menggunakan naluri kebencian sebagai landasan ekspresi berdakwahnya.
Apabila demikian ciri pendakwah yang menggejala dalam kehidupan kita, bukan tidak mungkin dakwah akan kehilangan pesonanya, yaitu roh ad da'wah dalam menciptakan peradaban kehidupan yang damai atau rahmatan lil alamin.
Mengatasi gegar dakwah
Mencermati kondisi pendakwah yang semakin tunggang- langgang, di mana ajaran yang disampaikan dan ujaran yang diekspresikan sudah mengalami tuna-keteladanan dan defisit kebenaran, perlu kiranya menimbang lebih serius rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk merumuskan standar kualifikasi dan kompetensi pendakwah. Langkah itu perlu dilakukan agar pendakwah tak seenaknya menyampaikan dakwah dengan ujaran-ujaran yang tak etis dan tak berkeadaban.
Di samping itu, dalam kondisi dakwah yang mengalami gegar media yang berefek pada hilangnya akal budi dan kewarasan bernalar pendakwah, semua pihak harus saling bersinergi satu sama lain dalam mengatasi hal ini.
Sebab, disadari atau tidak, banyak pihak yang memanfaatkan media dakwah sebagai sarana untuk menghancurkan sendi kehidupan beragama dan berbangsa masyarakat Indonesia melalui para pendakwah dengan model asal kontroversi dan konfrontasi.
Bahkan, untuk menaikkan popularitas pendakwah semacam ini, secara sistemis ada tim kreatif yang direkayasa oleh pemangku kepentingannya untuk menyiapkan materi dakwahnya. Berbagai media (elektronik dan sosial) "dibajak" untuk mempermudah ruang gerak penyebaran materi dakwah yang siap saji. Padahal, secara substantif materi dakwah yang disajikan terlalu pragmatis dan tidak mendidik masyarakat untuk belajar berefleksi dan kritis terhadap fenomena yang ada; yang penting ada setumpuk dalil yang menghiasi berbagai materi dakwahnya.
Sekali lagi, suasana dakwah yang semakin mengkhawatirkan ini perlu segera diatasi. Langkah Kementerian Agama untuk mengatur keberadaan pendakwah perlu didukung agar roh dakwah tidak semakin tercemar di tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Setidaknya melalui kebijakan tersebut, ada kode etik yang harus dipatuhi.
Beberapa waktu lalu, Lukman Hakim telah merumuskan sembilan kriteria dakwah yang diserukan bagi penceramah. Pertama, penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.
Kedua, disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
Ketiga, disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, dan ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun.
Keempat, bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural.
Kelima, tak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Keenam, tidak mempertentangkan unsur SARA yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan, ataupun merusak ikatan bangsa.
Ketujuh, tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkistis, dan destruktif.
Kedelapan, tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
Kesembilan, tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Kesembilan, kriteria itu perlu disinergikan dengan rancangan standar kualifikasi dan kompetensi pendakwah. Bahkan, jika memungkinkan, kebijakan ini melibatkan beberapa kementerian yang berkepentingan dalam menciptakan kehidupan beragama dan berbangsa yang kondusif. Hal ini penting agar dakwah tidak makin gegar dan tercerabut dari rohnya dan para pendakwah tak semakin liar dengan model asal kontroversi dan konfrontasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar