Air dijatah untuk setiap orang dan diawasi ketat penyalurannya oleh tentara. Ini karena kekeringan selama tiga tahun akibat pemanasan global.

Benar, di beberapa tempat di muka bumi dampak kerusakan lingkungan sudah mencapai tingkat katastropik. Tragedi ini mengingatkan kita kembali pada "batas". Batas daya dukung bumi atas cara hidup manusia yang terlampaui pada 1970. Batas yang juga telah dilewati Indonesia pada 2003.

Batas pertumbuhan

"Humanity was moving further into unsustainable territory," kata Donella Meadows dan kawan-kawan di tahun 1972 melalui buku legendaris The Limits to Growth. Buku ini lahir dari sekelompok intelektual yang gelisah atas masa depan kehidupan.

Pada 7-8 April 1968, di Accademia de Licei, Roma, atas undangan industrialis Italia, Aurelio Peccei, mereka berdiskusi tentang tantangan seluruh umat manusia. Forum itu sendiri tak terlalu sukses, tetapi dalam sesi informal sesudahnya di rumah Peccei mereka bersepakat menyebut diri sebagai Club of Rome. Menggunakan teknologi komputer yang masih muda saat itu, mereka menyimulasikan kemampuan bumi menopang kebudayaan manusia.

Buku ini hadir pada saat yang tepat. Embargo minyak Organization of Arab Petroleum Exporting Countries (OAPEC) akibat perang Yom Kippur melumpuhkan ekonomi dunia pada 1973. Gerakan sosial global sedang mencapai puncaknya. Revolusi berkobar di banyak negara dunia ketiga. The Limits of Growth jadi lonceng keras pertobatan ekologis di tengah riuhnya politik dunia.

Konferensi PBB tentang lingkungan manusia berlangsung di Stockholm, Swedia, 5-16 Juni 1972. Tahun 1983, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan mulai bekerja di bawah koordinasi PM Norwegia Gro H Brundtland. Lubang ozon Antartika ditemukan pada 1985. Setahun kemudian ledakan nuklir terjadi di Chernobyl.

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan pun bergulir. KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, disusul oleh hadirnya Protokol Kyoto tahun 1997 untuk pengurangan emisi karbon. KTT Milenium tahun 2000 di New York menghasilkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).

Dua tahun kemudian, KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg mengesahkan traktat perlindungan SDA dan keragaman hayati. Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim berlangsung Desember 2010 di Doha. Pada 25-27 September 2015, KTT Pembangunan Berkelanjutan PBB di New York menghasilkan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Club of Rome relatif berhasil mendesakkan isu pembangunan berkelanjutan, tetapi kita belum pernah bisa secara masif memperbarui praktik pembangunan. Dan di ujung dasawarsa kedua abad ke-21, ia sepertinya tergulung oleh dua arus besar dunia.

Pergeseran ekonomi politik dan industri 4.0

Dua peristiwa menyambut kita pada awal April 2018 ini: perang dagang AS-Tiongkok dan peluncuran Making Indonesia 4.0 pada 4-5 April 2018. Keduanya adalah fragmen kecil dari dua arus besar dunia: pergeseran ekonomi politik global dan industri 4.0.

Perang dagang AS-Tiongkok adalah potongan dari saga dominasi Tiongkok versus pelemahan negara-negara industri lama. Upaya pemindahan industri ke negara berkembang untuk merengkuh keunggulan kompetitif biaya buruh murah dan pasar dunia ketiga justru melahirkan krisis fondasi ekonomi di negara induknya. Masyarakat pekerja putus asa dan bandul politik Barat pun mengayun ke kanan. Proteksionisme kembali bangkit untuk menguatkan kembali industri nasional di negara-negara tersebut.

Sebaliknya, China dengan kelebihan kapasitas produksi berusaha memelihara pertumbuhannya lewat platform investasi infrastruktur One Belt One Road ke Asia, Afrika, dan Eropa. Sayangnya, tak banyak perubahan substantif dari konsep pembangunan di dalamnya. Ia tak lebih dari gelombang baru ekspansi praktik ekonomi eksploitasi.

Pada sisi lain, mengikuti Platform Industrie 4.0 Jerman, banyak negara berusaha menyesuaikan industri domestiknya dengan kemajuan teknologi digital. Making Indonesia 4.0 harus realistis dengan keterbatasan kapasitas industri dan infrastruktur teknologi digital Indonesia dan bermanuver demi meraih 10 besar ekonomi dunia tahun 2030. Di hadapan Revolusi Industri 4.0 kita dihadapkan pada dua pertanyaan terbuka: bagaimana ia bisa mengantar kemanusiaan pada kemajuan dan kualitas hidup berkelanjutan; dan bagaimana ia mampu menjaga ras manusia di hadapan ekspansi teknologi cerdas atas kehidupan?

Di hadapan dua arus besar ini tantangan masa depan diletakkan. Sayangnya, komitmen pembelaan kepada ibu bumi masih tetap lemah terdengar. Melemahnya isu lingkungan akhir-akhir ini pun cukup dapat dirasakan.

Lima puluh tahun Club of Rome, saat kita seharusnya berpikir dan bertindak geosentris, ternyata kita masih terjebak sekat dan kesombongan ilutif bahwa satu kemanusiaan itu omong kosong dan bumi yang tak terbatas. Sementara kerakusan kita bergerak dengan kecepatan tinggi menghancurkan seluruh muka bumi.