Beberapa minggu ini kita diributkan oleh kewajiban melakukan registrasi ulang kartu telepon agar tidak diblokir permanen oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pelanggan hanya boleh memiliki maksimal dua nomor untuk mencegah penyalahgunaan bagi tindak kejahatan, terorisme, penyebaran berita hoaks, dan sebagainya.
Saya pribadi sudah registrasi ulang ke 4444 sejak 29 Oktober 2017 dan dinyatakan berhasil dengan balasan SMS. Ketika saya sudah berhasil registrasi ulang dan memiliki nomor yang permanen dengan maksimal dua nomor ponsel, muncul kekhawatiran: operator akan punya posisi tawar tinggi menaikkan biaya paket internet karena pelanggan mau tak mau akan membeli paket kuota internet dengan nomor permanen tersebut.
Kebiasaan sebagian konsumen membeli paket perdana (setelah kuota habis kartu akan dibuang) sudah kecil peluangnya, padahal itu lebih murah. Belum lagi banyak konsumen mengeluh karena tiba-tiba kuota tersedot tanpa paham sebabnya.
Mohon pihak terkait, antara lain Kominfo, membuat regulasi lebih bijak dan adil agar operator seluler tak sewenang-wenang memainkan harga kuota internet.
Alb SutrisnaWringin Lor,Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta
Indonesia dan Literasi
Minat baca orang Indonesia mengkhawatirkan. Menurut survei UNESCO 2012, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen: di antara 1.000 warga negara Indonesia, hanya ada seorang yang serius baca.
Central Connectitut State University pada 2016 juga melakukan riset. Hasilnya, dari 61 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-60. Peringkat di bawahnya: Bostwana. Itu membuktikan bahwa jarak orang Indonesia dengan literasi masih sangat jauh.
Padahal, akses informasi pada era digital saat ini sangat majemuk. Buku elektronik sangat mudah digunakan. Toko buku daring dan konvensional ada di mana-mana.
Data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada 2016 mengungkap bahwa dari 256,2 juta penduduk Indonesia, 132,7 juta orang sudah terhubung dengan internet. Yang jadi soal, mayoritas pengguna internet di Indonesia mengakses media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain) secara primer.
Penyebab rendahnya minat baca di Indonesia mudah ditelusuri. Dalam keseharian kita tanpa sadar didogma untuk tak senang buku. Yang tua yang muda di negeri ini saban hari disuguhi sinema televisi.
Di sana dijumpai, anak-anak muda keren berarti berpenampilan klimis, naik sepeda motor atau mobil mewah, nakal, dan digemari perempuan-perempuan sekolah. Sosok yang dekat dengan buku (kutu buku) digambarkan kolot, tak pandai bergaul, aneh, berkacamata tebal, dan hal negatif lainnya.
Dalam catatan sejarah, Indonesia terindikasi paranoid terhadap buku. Berbagai buku pernah dilarang terbit, diberedel, bahkan sampai dibakar. Pada 5 Maret 2007 terbit Surat Keputusan Kejaksaan Agung No 019/A-JA/10/2007 yang melarang buku sejarah kurikulum 2004 serta Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins. 003/A-JA/03/2007 yang menginstruksikan penarikan semua buku sejarah tersebut. Hasilnya, buku tersebut masuk tong sampah kemudian hangus dibakar.
Kembali Kejaksaan Agung pada 2009 melarang beberapa buku terbit sepertiDalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa yang merupakan hasil riset mengenai pembunuhan massal yang terjadi di sejumlah daerah setelah meletusnya Gerakan 30 September hingga peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Beberapa tahun terakhir praktik anti terhadap literasi masih terjadi. Sweepingyang dilakukan polisi serta TNI terhadap dua penerbit di Jawa, Narasi dan Resist, pada 2016 jelas membuktikan bahwa buku masih dianggap sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan, bukan alat meningkatkan taraf hidup manusia.
Kapan kita maju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar