Sudah menjadi semacam pemahaman umum bahwa kekuasaan itu membuai, kekuasaan itu bisa menutup mata hati, kekuasaan itu mudah tersinggung.

Karena itu, para pemegang kekuasaan sangat peka, sangat tidak suka terhadap berbagai macam kritik, terhadap berbagai sorotan yang dirasakan secara sepihak mengancam dirinya. Itulah yang, antara lain, menjadi dasar mengapa banyak pemegang kekuasaan, di banyak negara, memperlakukan pers dengan sikap permusuhan. Oleh karena pers tidak lagi dilihat sebagai rekan seperjalanan, sebagai salah satu pilar demokrasi, sebagai "pasar ide" dan sebagai watchdog, tetapi sebagai musuh yang membahayakan dirinya, yang mengancam kekuasaannya.

Walhasil, banyak negara dan aktor non-negara membatasi kebebasan pers dengan berbagai alasan. Karena itu, serangan terhadap kebebasan pers bukanlah hal baru, bahkan dalam demokrasi formal, dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Laporan tahunan organisasi Wartawan Lintas Batas (RSF) menegaskan hal itu.

Menurut RSF, para pemimpin negara adikuasa—Amerika Serikat, Rusia, dan China—memperlakukan pers dengan sikap bermusuhan. Yang paling nyata adalah Presiden AS Donald Trump secara rutin melancarkan serangan secara pribadi terhadap wartawan. Presiden China Xi Jinping menggunakan cara lain untuk mengawasi media; demikian pula Presiden Rusia Vladimir Putin.

Sejumlah negara lain, menurut RSF, juga menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Turki, misalnya, tercatat sebagai negara yang paling banyak memenjarakan wartawan. Negara-negara lain, seperti Korut, Eritrea, Turkmenistan, Suriah, dan China, bertindak represif terhadap wartawan. Negara-negara lain yang dicatat sebagai pelanggar kebebasan pers antara lain Arab Saudi, Bahrain, Vietnam, Sudan, dan Kuba.

Sangatlah wajar kalau menurut laporan Freedom of The Press 2017 yang dikeluarkan Freedom House, kebebasan pers secara global menurun sampai pada titik terendah pada 13 tahun terakhir. Kita di Indonesia memang masih bisa bersyukur, bisa menikmati kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, sekalipun tetap ada batasnya. Dalam arti, kebebasan itu dilakukan secara bertanggung jawab, bukan kebebasan demi kebebasan semata-mata. Sebab, kebebasan tanpa aturan, kebebasan tanpa batas, adalah anarki.

Bukankah kebebasan pers, kebebasan media, pada umumnya adalah jantung dari kebebasan fundamental manusia. Setiap orang memiliki hak—terutama di negara demokrasi—kebebasan berekspresi yang dalam hal ini termasuk kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan menerima dan memberikan informasi, serta memperoleh dan mencari informasi tanpa campur tangan atau intervensi otoritas publik.