Abad ke-21 tampaknya semakin memburuk dengan meningkatnya nasionalisme etnis, tatanan dunia yang hancur, bertambahnya egoisme dan pesimisme.
Semua ini pada dasarnya, kemungkinan, berakar dari menurunnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara yang akhirnya berimbas pada semua hal sehingga peluang berkurang, egoisme semakin tinggi dan mentalitas rebut apa yang Anda bisa menjadi tumbuh.
Menurut Ralph Peters, paradoks terkenal pada abad ke-21 adalah bahwa di era teknologi yang kuat ini masalah terbesar yang kita hadapi secara internasional merupakan masalah jiwa manusia.
Peran media sosial
Di tengah isu yang sedang hangat ini, wajar apabila kita merefleksikan peran media sosial untuk membentuk diri sebagai manusia, termasuk untuk membentuk pergaulan antar-sesama. Media sosial ada di mana-mana. Facebook, YouTube, Instagram, Twitter, Snapchat, dll. secara luas digunakan oleh hampir semua orang. Menurut laporan, tiga miliar orang, yaitu sekitar 40% dari populasi dunia, menggunakan medsos daring, dan kita menghabiskan rata-rata dua jam setiap hari untuk berbagi, menyukai, men-tweet, dan memperbarui pada platform-platform itu.
Oleh karena itu, media sosial memainkan peran penting dalam masyarakat kita saat ini dan merupakan pelengkap di kehidupan kita. Menurut The Economist, "Jumlah informasi digital meningkat sepuluh kali lipat setiap lima tahun. Selain itu, saat ini jumlah orang yang berinteraksi dengan informasi jadi lebih banyak. Antara 1990 dan 2005 lebih dari 1 miliar orang di dunia memasuki kelas menengah. Ketika mereka jadi lebih kaya, mereka jadi lebih terpelajar, yang mana mendorong pertumbuhan informasi pula."
Sama seperti teknologi-teknologi lain, media sosial menawarkan banyak peluang baru yang menarik tetapi juga memiliki potensi berbahaya. Seperti yang telah dibuktikan di Facebook, pada kejadian Cambridge Analytica yang masih berlangsung, media sosial bahkan mampu memengaruhi jalannya pemilihan negara, dengan cara menambang informasi pribadi dan manipulasi data yang tidak sah, serta memengaruhi pandangan masyarakat lewat pendekatan secara budaya.
Kita perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan efek media sosial pada diri kita agar dapat mencegah potensi berbahaya pada kehidupan kita dan masa depan umat manusia. Media sosial mengubah cara kita memandang dunia dan cara kita berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, tak menutup kemungkinan timbulnya bahaya apabila kita membiarkannya lepas kendali.
Ada sejumlah efek positif dari media sosial yang layak disorot terlebih dahulu. Pertama, media sosial mampu membangun tali persahabatan baru yang dapat membuat para penggunanya tetap terhubung. Kedua, media sosial mampu membantu anggota keluarga dan kerabat dekat saling melacak lokasi sehingga menciptakan rasa aman di antara mereka. Ketiga, media sosial mampu membantu mengimbangi peningkatan stres di era masyarakat modern ini dengan memungkinkan penggunanya berkomunikasi satu sama lain saat sedang terpisah.
Keempat, media sosial merupakan sumber pengajaran dan pembelajaran yang baik jika digunakan dengan tepat. Terakhir, media sosial mampu mendorong seseorang bebas mengekspresikan diri, meningkatkan kepercayaan diri, dan menggugah keinginan untuk berpartisipasi dalam suatu komunitas, termasuk berbagi ide dan berinteraksi dengan anggotanya.
Dampak negatif
Di sisi lain, penggunaan berlebihan dan kecanduan pada media sosial telah membuat penggunanya jadi kurang berani dan lebih statis. Ada beberapa tanda pengguna media sosial berubah jadi sosok yang kurang inovatif. Bila seseorang kecanduan media sosial, otaknya akan bekerja secara berlebihan sehingga menyebabkan kelelahan dan mengurangi produktivitas.
Dalam berbagai hal, banyak orang yang kehilangan harapan dan kebahagiaan sehingga kasus- kasus depresi meningkat. Pengguna media sosial seperti terperangkap dalam sebuah lingkungan masyarakat yang dibangun di sekitar mereka, di mana media sosial telah mengambil alih peran pendidikan dari lembaga pendidikan yang sebenarnya. Media sosial telah mengarahkan penggunanya pada budaya tak berekspresi di mana penggunanya cenderung mengabaikan apa yang penting dan malah mengikuti apa yang populer.
Di dunia media sosial saat ini hanya ada sedikit ruang untuk kebaikan yang sesungguhnya, seperti keadilan, kejujuran dan rasa hormat. Media sosial mengembangbiakan budaya keegoisan di mana kontes kecantikan dan berbagai bentuk hiburan lebih diprioritaskan dibanding ketidakadilan dan hal-hal yang menyangkut kemanusiawian lainnya di dunia ini, seperti perubahan iklim, perang, dan krisis para korban pengungsi yang ada di sekitar masyarakat.
Kebanyakan pengguna media sosial tidak dapat menahan diri untuk memeriksa updates (pembaruan pada media sosial) meski hanya dalam satu jam saja. Hal ini dapat menyebabkan mereka teralihkan dari apa yang sebenarnya penting dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, alih-alih berkonsentrasi pada pekerjaan, keluarga dan sekolah, banyak yang cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menantikan pembaruan status, foto, atau berita utama. Semua ini membuat pengguna media sosial jadi kurang sensitif dalam hal perasaan dan perhatian terhadap orang lain.
Menurut sebuah penelitian baru, dengan sampel hampir 25.000 orang, ditemukan bahwa kecanduan media sosial terkait tingkat narsisisme yang lebih tinggi dan tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah. Penggunanya mungkin merasa bahwa mereka terhubung melalui media sosial, tetapi nyatanya mereka kehilangan kemampuan untuk mendengar dan melihat pesan, baik verbal maupun nonverbal. Ketika pengguna media sosial menghabiskan berjam-jam di depan layar ponsel atau laptop, mereka akan kehilangan kemampuan dalam hubungan interpersonal yang dapat menyebabkan obesitas, kesulitan fokus, dan menjaga hubungan.
Media sosial juga dapat mengakibatkan meningkatnya kekerasan akibat beberapa situs yang berkonten agresif. Cyber-bullying merupakan masalah lain yang berhubungan dengan media sosial yang dapat meninggalkan bekas luka emosional yang mendalam, bahkan mendorong beberapa orang untuk bunuh diri. Penggunaan media sosial berlebihan dengan kurangnya kontrol diri bisa juga menyebabkan kita jadi boros dengan berbelanja di berbagai toko daring.
Para psikolog makin prihatin akan kecanduan media sosial yang dapat meruntuhkan komunikasi keluarga. Banyak anak yang merasa orangtua mereka kecanduan ponsel atau laptop. Padahal anak-anak ingin agar orangtua mereka lebih menghabiskan waktu berkualitas dan berinteraksi dengan mereka.
Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika orangtua meningkatkan waktu mereka pada layar, anak-anak akan mengikutinya. Sudah menjadi fakta terkenal bahwa anak-anak yang menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan media sosial dan berada di depan layar, memiliki lebih banyak kesulitan dibanding teman sebayanya dalam memahami emosi dan membina hubungan. Ini semua adalah gejala sistem yang gagal, di mana abad yang hancur perlu ditanggapi dengan serius dan diperbaiki. Kita harus bangun karena kita sedang menuju ke arah yang salah.
Berharap pada pendidikan
Dalam situasi ini, institusi pendidikan tampaknya terkejut dan telah menyerah untuk mengambil kembali peran penting mereka sebagai pendidik. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memunculkan ide-ide baru untuk mengambil kembali peran utama mereka sebagai pendidik yang dulu mereka miliki dan mengajarkan kaum muda bagaimana cara berpikir di era baru ini. Sekolah seharusnya tak perlu mempersiapkan diri kita untuk menghadapi sebuah abad yang hancur, tetapi lebih bertindak untuk mengubah abad yang hancur ini jadi masa depan yang progresif dan inovatif.
Pendidik memiliki peran penting dalam menanamkan pemikiran di benak anak muda bahwa sebaiknya mereka tidak boleh terpikat dan terperangkap di dunia maya. Anak muda harus belajar membuat pertimbangan yang baik dalam menggunakan media sosial. Mereka harus diingatkan bahwa dunia nyata berada di luar untuk dijelajahi.
Kesimpulannya, dari pihak sekolah perlu secara aktif menginformasikan kepada siswa dan orangtua tentang pro dan kontra penggunaan media sosial. Sekolah perlu melatih siswa cara bernavigasi di dunia media sosial dengan kemampuan berpikir yang kritis. Dari pihak keluarga, orangtua harus lebih memerhatikan hubungan interpersonal dalam keluarga. Menjelaskan bahwa menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga seperti makan keluarga atau berbicara tentang bagaimana hari mereka satu sama lain tanpa ponsel, TV dan laptop adalah hal penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar