Tekanan terhadap nilai tukar rupiah belum mereda. Rupiah sempat diperdagangkan pada level Rp 14.003 per dollar AS di pasar tunai. Indeks Harga Saham Gabungan juga ikut melemah ke 5.849 atau merosot 9 persen dibandingkan dengan level awal tahun. Depresiasi rupiah akan menimbulkan banyak komplikasi, yakni subsidi bahan bakar minyak, kesulitan mengimpor barang modal serta bahan baku, pembayaran utang luar negeri, inflasi, dan seterusnya.

Dari sisi eksternal, pengumuman Bank Sentral AS, The Fed, pada 2 Mei 2018, untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 1,5-1,75 persen memberikan sinyal bahwa tren kenaikan suku bunga bakal berlanjut. Apalagi The Fed mendasarkan kebijakannya pada kinerja perekonomian AS yang membaik. Selama 2018, penyerapan tenaga kerja baru di AS cukup impresif, yakni 176.000 orang (Januari), 324.000 (Februari), 135.000 (Maret), dan 164.000 (April).

Oleh karena itu, hampir bisa dipastikan The Fed akan melanjutkan kebijakan normalisasi suku bunganya. Dengan target inflasi 2 persen, saya perkirakan suku bunga normal AS sekitar 2,5 persen. Artinya, masih ada ruang 100 basis poin bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya. Namun, masalahnya, kita tidak tahu seberapa cepat atau seberapa lama suku bunga 2,5 persen itu hendak dicapai.

Tentu kita berharap hal itu direngkuh tidak pada tahun ini, tetapi pada rentang waktu yang lebih panjang. Sebab, jika dilakukan secara cepat, apresiasi dollar AS (atau sebaliknya depresiasi mata uang seluruh dunia) akan terjadi lebih cepat. Rupiah pun akan kian menderita.

Dalam tiga pekan ini, indeks dollar menguat 3,43 persen. Jika mengacu pada angka ini, kurs rupiah hanya melemah 1,8 persen pada periode yang sama. Artinya, rupiah sebenarnya masih lebih baik dibandingkan dengan enam mata uang kuat mitra dagang AS, yakni euro, yen Jepang, pound sterling Inggris, dollar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Dengan demikian, sebenarnya aspek yang paling ditakuti bukanlah besaran depresiasi rupiah, melainkan dampak psikologis yang ditimbulkan. Pelemahan rupiah saat ini memberikan trauma déjà vu terhadap kejadian krisis 20 tahun silam, tatkala rupiah mencapai Rp 15.000-Rp 17.000 per dollar AS. Kepanikan yang ditimbulkannya sangatlah berisiko.

Ternyata kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak hanya menimbulkan korban depresiasi mata uang dunia, tetapi juga pelemahan indeks harga saham di New York. Indeks Dow Jones yang pernah mencapai rekor 26.616 (26/1/2018) kini terempas hingga 24.262 (4/5/2018). Padahal, jika mengacu pada fakta perekonomian AS yang kini sedang bagus, bukankah indeks Dow Jones mestinya menguat? Mengapa ini sebaliknya?

Saya menduga penyebabnya ada dua hal. Pertama, indeks sebelumnya terlalu tinggi karena euforia perekonomian AS yang membaik. Indeks yang terlalu tinggi tidak mungkin naik lagi, pasti suatu saat terkoreksi. Kedua, koreksi itu akhirnya terjadi ketika The Fed menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga menyebabkan migrasi likuiditas dari pasar modal ke pasar uang.

Hal yang sama kemungkinan juga terjadi dalam kasus Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Setelah mengalami reli panjang hingga 6.635, IHSG sesungguhnya rawan koreksi. Kini koreksi terjadi, dengan pemicu menguatnya dollar AS terhadap rupiah. Investor serta-merta memindahkan likuiditasnya dari saham dan obligasi berdenominasi rupiah menjadi aset-aset berdenominasi dollar AS.

Migrasi ini semakin menguat tatkala secara tipikal para investor di Jakarta cenderung mengikuti yang terjadi di pasar modal global. Ketika di New York, AS, terjadi aksi jual, sedikit-banyak hal itu berpengaruh terhadap perilaku investor di Jakarta. Globalisasi sudah sedemikian mencengkeram perilaku investor di mana pun.

Cadangan devisa

Lalu, bagaimana menegakkan kembali rupiah? Bank Indonesia (BI) masih rajin melakukan intervensi. Cadangan devisa yang pernah mencapai rekor tertinggi 131,97 miliar dollar AS (Februari 2018), kini terus merosot dan diperkirakan menjadi 124 miliar dollar AS. Perkembangan terbaru, BI dan rekan-rekannya sesama ASEAN mengaktivasi opsi jaring pengaman sektor finansial Chiang Mai Initiative.

Skema yang sudah dibentuk pada tahun 2000 ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara ASEAN yang mata uangnya tertekan dan cadangan devisanya terkuras. Tiga negara Asia Timur pemilik devisa yang sangat besar siap menolong, yakni China dan Hong Kong (cadangan devisa keduanya 3,65 triliun dollar AS), Jepang (1,26 triliun dollar AS), dan Korea Selatan (390 miliar dollar AS). Skema ini menjadi substitusi injeksi IMF.

Ketiga negara tersebut telah menyiapkan dana hingga 240 miliar dollar AS untuk berjaga-jaga. Dengan skema ini, katakanlah Indonesia bisa menarik likuiditas 60 miliar dollar AS untuk menambah cadangan devisa. Namun, kapan dan pada kondisi seperti apa hal itu bakal dilakukan, kita tidak tahu karena belum pernah mengalaminya.

Sambil berikhtiar agar skema Chiang Mai tidak perlu ditempuh, kita tetap harus mengoptimalkan instrumen moneter yang tersedia. Intervensi bertubi-tubi sudah dilakukan, tetapi kita sebenarnya tidak tahu seberapa dalam kekuatan "musuh" di pasar uang. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana jika kita hanya semata-mata mengandalkan kekuatan cadangan devisa untuk ditembakkan sebagai peluru intervensi.

Sejauh ini BI sudah mengirim sinyal kepada pasar bahwa setiap saat siap menempuh opsi instrumen lain berupa kenaikan suku bunga. Sayang, pasar tidak menggubrisnya. Respons baru akan terlihat jika BI benar-benar mengeksekusi sinyal itu. Dengan suku bunga acuan sekarang 4,25 persen, dikhawatirkan bisa memicu migrasi likuiditas dari deposito rupiah menjadi aset berdenominasi valas.

BI sudah pasti menyadari bahwa rezim suku bunga dan inflasi rendah di hampir seluruh dunia, sudah mendekati usai. Kita tidak mungkin menolak siklus "normalisasi suku bunga". Oleh karena itu, kenaikan suku bunga 25-50 basis poin menjadi hal urgen yang tak terhindarkan. Lakukanlah itu, demi menghindari kemerosotan cadangan devisa yang lebih dalam.