Berbagai kemajuan tidak bisa dimungkiri telah dicapai daerah pada era reformasi. Daerah tidak lagi jadi penonton dalam pembangunan. Puluhan urusan pemerintahan telah diserahkan ke daerah. Berbagai macam perizinan dan ratusan jenis pelayanan publik "putus" diurus di daerah.

Daerah cerdas berinovasi dengan mendirikan mal pelayanan publik. Dana transfer yang dikucurkan pemerintah pusat ke daerah pun bertambah terus setiap tahun. Jumlah daerah otonom baru (DOB) meningkat pesat guna mendekatkan pemerintah daerah ke masyarakat.

DOK HARIAN KOMPAS

Otonomi Daerah

Terakhir, tetapi tidak kalah penting, rakyat berhak memilih kepala daerah dan wakil kepala daerahnya sendiri. Sistem demokrasi elektoral tersebut bisa menghasilkan kepala daerah hebat seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan mantan Wali Kota Solo Jokowi yang sekarang menjadi Presiden RI.

Sayangnya, aneka masalah menyertai pula kisah keberhasilan otonomi daerah. Namun, yang membuat pening kepala, telah tiga kali UU Pemerintahan Daerah diganti (No 22/1999, No 32/2004, dan No 23/2014) dan empat kali UU Pemilihan Kepala daerah diperbaiki (No 22/2014, No 1/2015, No 8/2015, dan No 10/2016), problem belum juga teratasi. Mengapa? Mungkin saja solusinya tidak mangkus karena lain yang gatal lain pula yang digaruk.

Pertama, belum redanya korupsi pimpinan pemda. Operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap kepala daerah, baik yang maju maupun tidak dalam Pilkada 27 Juni 2018, menjadi bukti. Biasanya anggota DPRD yang terhormat ikut terjerat, termasuk para birokrat. Ongkos kandidat yang mahal, mulai dari uang mahar sampai bayar saksi sebagai konsekuensi dari sistem pilkada langsung kerap disebut sebagai akar persoalan.

Para Gubernur, Walikota, dan Bupati menandatangani berkas pengusulan Daerah Otonomi Baru (DOB) saat acara Konsolidasi Nasional Pembentukan Daerah Otonomi Baru di Gedung Nusantara V, Gedung MPR DPR, Jakarta, Selasa (4/10). Acara yang dihadiri empat gubernur dan 163 Walikota/Bupati dari seluruh Indonesia tersebut mendesak pemerintah untuk menetapkan 172 Daerah Otonomi Baru (DOB).
Kompas/Lasti Kurnia (LKS)
04-10-2016

Kedua, korupsi massal anggota DPRD yang notabene merupakan unsur penyelenggara pemda belum juga lenyap. "Rame-rame" terima suap dari kepala daerah supaya bantuan sosial (bansos) bisa lolos atau APBD induk dan APBD perubahan bisa disetujui. Padahal, penghasilan dan kesejahteraan mereka telah lumayan tinggi. Namun, kembali persoalan duit, biaya maju "nyaleg" utamanya untuk "menyapa" konstituen sangat mahal. Karena, pemenang adalah orang yang terbanyak memperoleh suara.

Ketiga, pecah kongsi kepala daerah dengan wakilnya secara terbuka disaksikan publik kembali terjadi. Tentu saja hal ini menjadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Padahal, politik lokal itu fondasi dari politik nasional. Pencalonan berpasangan di tengah sistem multipartai dengan beragam kepentingan hanya akan menghasilkan pasangan dwitanggal, bukan dwitunggal.

Keempat, politisasi birokrasi tidak kunjung sepi. Kalau musim pilkada tiba, pegawai pemda menderita. Ditarik ke kanan dan ke kiri, baik oleh petahana maupun penantangnya. Bahkan, kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) juga diminta dana kontribusi untuk kampanye. Ikut salah tidak ikut salah.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Kondisi rumah Tarmizi (35) dan Nur Ismi (30), yakni salah satu keluarga miskin di Gampong Lamcarak, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Sabtu (14/1). Kesulitan ekonomi membuat keluarga tersebut hanya mampu membuat rumah dari kayu sisa berukuran 3×4 meter. Hal ini bertolak belakang dengan dana otonomi khusus berlimpah yang digelontor pemerintah pusat, yakni Rp 41,26 triliun selama 2008-2015 dan mencapai Rp 144,75 triliun hingga 2027.
Kompas/Adrian Fajriansyah (DRI)
14-01-2017

Kalau birokrasi lokal kita tidak profesional, jangan harap pelayanan publik bisa baik. Pilkada langsung dengan aktor politik yang belum matang, plus kewenangan pengangkatan pejabat daerah di tangan kepala daerah, telah merusak netralitas birokrasi.

Kelima, hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kurang efektif, bahkan bertambah lemah dengan dicabutnya kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda oleh MK. Cukup banyak seruan presiden di dalam rapat kerja yang tidak ditaati kepala daerah.

Hubungan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan bupati/wali kota pun kurang harmonis, karena kuatnya faktor politis ketimbang teknis pemerintahan. Kalau ada gubernur yang berhasil menjalin koordinasi serta melakukan pembinaan dan pengawasan, hal itu lebih karena kemampuan komunikasi personal. Di atas tadi adalah beberapa isu krusial yang memerlukan perbaikan kebijakan otonomi daerah kita. Sebetulnya masih banyak lagi yang belum disinggung karena keterbatasan kolom.