Risau lantaran literasi dianggap umum sebagai tolok ukur kualitas manusia.
Di sisi lain, kualitas manusia dimafhumi sebagai kunci dari perkembangan atau kemajuan adab sebuah bangsa. Boleh jadi juga menjadi rahasia di balik terkuncinya pertumbuhan pembangunan di kisaran angka 5 persen negeri ini. Menjadi semacam "perangkap kemampuan mediokratik manusia" di negeri berkembang.
Perangkap semacam ini tidak diindikasi oleh angka-angka statistikal di bidang pembangunan ekonomi atau kapasitas material belaka. Namun, lebih pada kapasitas dan kapabilitas mental-kultural manusianya dalam menghadapi dan menjawab persoalan dan tantangan zaman mutakhirnya. Maka, boleh jadi para penanggung jawab pendidikan kita berkilah soal indikator material/statistikal, tetapi berdasar bukti faktual sulit untuk mengelak dari ukuran moral/budaya di atas.
Tentu saja kita tidak hanya bicara tentang perilaku hidup yang penuh bias dan deviasi dari bukan hanya segolongan, tapi juga sebagian besar dari masyarakat kita, di semua lapisannya. Kekerasan yang dilakukan, misalnya, bukan hanya di kalangan orangtua, tetapi juga kaum remaja, bahkan anak-anak.
Atau kita lihat di keseharian kota-kota besar Indonesia, dimodelisasi oleh Jakarta, terjadi ratusan bahkan puluhan ribu pelanggaran lalu lintas, hingga dalam bentuk yang mengejutkan, terjadi bahkan tepat di hadapan aparat kepolisian dan dinas perhubungan. Dilakukan oleh pengendara mobil premium (yang tentu kaya raya dan berpendidikan, bahkan berjabatan tinggi), hingga pengendara ojek berbasis aplikasi.
Pembiaran secara sengaja yang bukan hanya menihilkan upaya penegakan hukum, mementahkan prestasi polisi pada lapisan terdepannya, tetapi juga menciptakan tradisi—yang meluas dan membesar—di kalangan masyarakat untuk melakukan "pembangkangan" bukan hanya pada pemerintah, undang-undang, bahkan moralitas-kultur dari bangsanya sendiri.
Para remaja, bahkan anak SD, dengan mudah kita temukan bergentayangan di siang hari—juga malam, tentu saja—memenuhi tempat-tempat nongkrong alias hang out, melakukan apa pun yang tentu di luar kontrol orangtua (yang juga sibuk mengontrol dirinya sendiri). Kegiatan yang menunjukkan tiadanya orientasi hidup yang kuat, yang seharusnya mereka dapat dalam pendidikan.
Bahkan, jika kita tanya soal arah, mereka hanya mampu menjawab "kanan atau kiri", tetapi sangsi atau tak paham di mana utara, tenggara atau barat daya. Apalagi bertanya di mana letak Miangas atau Rote, daerah asal Anoa, lebih-lebih letak Hiroshima atau ibu kota Nikaragua.
Bukan hanya disorientasi, anak-anak kita, generasi "Y" dan "Z" tumpuan masa depan kita, juga mengalami dislokasi akut, yang membuat mereka gagal paham tentang realitas spasial diri mereka sendiri, "di mana aku", "dari mana" atau "akan ke mana" aku? Kegagalan dasar untuk mengenali yang hal lebih substansial: lalu "siapa aku?"
Bagaimana mereka bisa menjawab semua hal itu, jika dalam hidup sehari-harinya dipenuhi oleh kegiatan yang tidak memberi ruang dan waktu untuk berpikir jernih, apalagi melakukan kontemplasi.
Dalam sebuah perhitungan sederhana, kegiatan sehari-hari itu menghabiskan waktu tak kurang dari 298 hari dalam setahun. Antara lain untuk tidur (enam jam/hari; ≈ 30 hari/tahun), kegiatan biologis makan, minum, buang air (dua jam/hari; ≈ 30 hari/tahun), liburan dalam pelbagai bentuknya (47 hari/tahun), bermain dan hang out (dua jam/hari;≈ 30 hari/tahun), sekolah (tujuh jam/hari; 60 hari dari 200 hari sekolah) dan belajar di rumah (30 hari/tahun).
Dalam hitungan itu, tersisa waktu hanya 67 hari (365-298) dalam setahun untuk kegiatan lain, katakanlah untuk hal yang produktif. Namun, jika ia dikurangi oleh kegiatan wajib "modern" yang bernama bergawai ria, yang minimal atau rata-rata empat jam/hari atau ekuivalen dengan 61 hari per tahun, tertinggal waktu hanya enam hari. Kurang dari sepekan peluang untuk melakukan hal produktif dalam setahun dalam kehidupan remaja dan kaum anak muda.
Apa yang bisa mereka lakukan untuk mengisi hidup, mengaktualisasi diri, atau memberi kontribusi pada pengembangan (baca: pembangunan) negeri? Angka itu bahkan menjadi aneh karena ruang produktif bisa habis bahkan minus, jika waktu-waktu untuk hang out, tidur atau bergawai ria bertambah pada kalangan tertentu. Belum lagi jika mereka juga harus olahraga, beribadah, atau melakukan pekerjaan bersih rumah, yang membuat angka 365 menjadi absurd, tak masuk akal.
Pengetahuan kehidupan
Persoalan-persoalan di atas harus diakui adalah bagian dari kegagalan pendidikan kita. Kegagalan mempersiapkan generasi yang memiliki peluang untuk membawa estafet (tujuan) kebangsaan kita ke level yang lebih tinggi. Kondisi yang juga membuat potensi-potensi terbaik bangsa ini kian terpendam dan gagal dieksplorasi serta diaktualisasi jadi variabel dependen utama dalam menggerakkan pembangunan, menggerakkan angka 5,0 di atas ke bilangan yang lebih tinggi.
Apa yang menjadi musabab kegagalan di atas, tentu tiap pihak memiliki pandangan dan argumennya sendiri. Apa pun pandangan itu, dalam hemat penulis, ia bermula dari cara memahami (komprehensi) yang tidak kuat dalam melihat relasi antara pendidikan dan kebudayaan. Pemisahan dua istilah itu, apalagi menggunakan kata sambung "dan", memberi makna keduanya adalah hal atau entitas yang berbeda, terpisah. Walau sebenarnya keduanya justru harus terintegrasi, melarut (blended) satu dan lainnya.
Saya kira kebijakan-kebijakan menyangkut dunia pendidikan dapat menjadi bukti dari hal tersebut. Apalagi jika kita melihat bagaimana program itu disusun di luar Kemdikbud, baik di kementerian dan lembaga negara lain (yang nilainya lebih dari 90 persen dari Rp 400 triliun itu) atau dalam praksis pendidikan di daerah-daerah (dengan alokasi lebih dari 50 persen anggaran).
Hal yang sulit dimengerti dalam program itu, misalnya, fakta di masyarakat di mana seorang anak "diwajibkan" memiliki kemampuan untuk calistung (baca-tulis-hitung) untuk memasuki SD. Atau kebijakan untuk menggapai melakukan penalaran "tingkat tinggi" bagi lulusan sekolah menengah. Bukannya aneh atau mokal-mokal, kebijakan program tersebut sulit dijadikan ukuran dan jaminan bagi pengembangan anak yang tidak mengalami dislokasi dan disorientasi di atas.
Apa yang dihasilkan dari target program pendidikan di atas, pada nyatanya menghasilkan lulusan, bahkan hingga di tingkat tertinggi, yang tak kapabel dalam menciptakan relasi kuat antara ilmu yang diraihnya di sekolah dengan kebutuhan hidup nyata. Jawaban sementara pemerintah, mengikuti —katakanlah— program pendidikan di China, Vietnam atau negara lainnya adalah: vokasi.
Pendidikan yang membangun keahlian atau ketangkasan, bukan keilmuan, agar bisa langsung digunakan dalam pasar kerja. Dengan kata lain: menciptakan buruh. Bukan penggagas, visioner, kreator bisnis, pembangun usaha, pencipta/penemu, dan sebagainya.
Padahal, persoalan sebenarnya ada pada perbedaan yang mendasar antara ilmu pengetahuan formal (baca: sains) yang basis filosofis, pedagogis hingga ideologisnya Kontinental, dengan ilmu pengetahuan kehidupan yang didapat seseorang dalam mengarungi hidup di kenyataan sehari-harinya. Dalam istilah penulis, terdapat perbedaan di segala fondasi, antara pengetahuan hidup alamiah dan pengetahuan hidup berbudaya.
Dalam banyak kasus, para lulusan bisa jadi kaya dalam hal ilmu formal, tetapi miskin bahkan tiada dalam pengetahuan kehidupan. Karena bukan saja kebanyakan persoalan dalam kehidupan tidak terabstraksi dalam modul-modul pengajaran, juga kehidupan memiliki jalan penalaran bahkan logika yang berbeda dengan apa yang kita dapat di bangku sekolah.
Sekolah yang berbasis pada ruang tertutup, bahkan tembok tinggi, terlebih dalam sistem boarding/asrama —di mana basis historisnya ada pada sejarah monasteri Kristiani atau di Inggris pada sejarah evangelisme Santo Agustinus abad ke-6 Masehi— di mana siswa memang diberi jarak bahkan dialienasi dari kehidupan, juga kebrengsekan.
Ruh budaya lokal
Jika proses integrasi pengetahuan di atas dapat dilangsungkan, sesungguhnya dua-tiga pulau tujuan tercapai dalam sekali kayuh. Antara lain, pendidikan akan menginternalisai bahkan menanam benih kekuatan terbesar yang dimiliki bangsa ini: kebudayaan. Pada saat yang bersamaan, dengan kebudayaan sebagai ruh dari pengetahuan alamiah (baca: ilmiah), kita mendapat garansi untuk memperoleh generasi yang memahami dan mempraktikkan dengan baik aturan moral, etika, hingga di tingkat praksis semacam kesantunan.
Bukan hanya dalam berhubungan dengan orang lain, tetapi kesantunan untuk mematuhi aturan lalu lintas paling sederhana, tidak melawan arus misalnya.
Perilaku santun semacam itu akan lebih didorong bukan karena sanksi ancaman pidana atau hukuman sosial/adat, tetapi pada kesadaran bahwa keteraturan bersama akan membawa lebih banyak manfaat pada keteraturan hidup pribadinya. Kesadaran inilah yang akan membuat seseorang menjalankan fungsi kewarga(negara)annya dengan baik dan maksimal.
Dalam program pendidikan, formal dan non-formal, hasil akhir dari anak didik di atas mau tidak mau harus dimulai dari tingkat paling dasar pelajaran etika dan moral, kesantunan hidup misalnya, bisa dilakukan dengan, antara lain, membiasakan siswa bersih dan rapi pada badan dan pakaiannya, bersih-bersih kelas dan sekolah, tata krama di antara siswa berbeda tingkatan, dengan guru hingga pegawai rendahan.
Apa yang utama dari itu semua adalah kesantunan berbahasa, menggunakan bahasa resmi (nasional) dan bahasa lokal—tidak peduli asal muasalnya—secara baik dan adekuat, aktif, maupun pasif. Semua hal di atas seharusnya jadi basis pendidikan di tingkat dasar, setidaknya hingga kelas tiga. Tentu saja selain program pendidikan untuk meningkatkan kemampuan motorik dan daya afektif, seperti kesenian, kerajinan tangan, olahraga, permainan, dan kerja sama.
Integrasi kebudayaan terjadi ketika seluruh program di atas menggunakan modul yang disusun berbasis pada budaya lokal, local knowledge, baik dalam bahasa, seni, ritus adat, dan lainnya. Yang tentu saja berbeda antara masyarakat Papua dan Aceh, antara orang gunung dan nelayan, antara manusia pedesaan dan urban.
Maka, siswa akan berkembang selaras dengan realitas nyata dari lokalitasnya, dari kelebihan dan karakteristik daerahnya. Bukan dari abstraksi yang diidealisasi oleh sains di buku-buku diktat. Dengan model seperti ini, calistung akan menjadi semacam keahlian "sepele", dalam arti keahlian yang sangat mudah dan cepat untuk dipelajari.
Pada kelas berikutnyalah pengetahuan-pengetahuan kontinental yang berbasis pada liberal arts dalam sejarah pendidikan kontinental (western) dapat diajarkan, dengan pertama memberikan kesadaran orientatif ruang (spasial) dan waktu (temporal) pada siswa. Katakanlah dengan pelajaran geografi yang detail hingga sejarah atau kewarganegaraan yang merangsang (cara mengajarkannya).
Menyusul kemudian matematika, ilmu alam, teknologi, dan sebagainya, sebagai dasar memahami (komprehensi) realitas mutakhir mereka.
Di dasar semua itu, yang paling utama, ketika seorang anak menjadi alumni dari sekolah dasarnya, ia sudah memiliki basis kebudayaan yang kuat, yang didapat dari bahasa (nasional dan lokal), keberadaannya dalam ruang waktu, ketangkasan fisik dan mental hingga kesadaran afektif pun kognitifnya.
Bangsa kita pun tidak lagi mengalami krisis lenyapnya identitas atau jati diri (wong jowo ilang jawane), akar kuat yang justru menjadi benih (modal) bagi tumbuhan yang berbatang besar, kuat dan berbuah ranum serta lebat.
Dengan program pelajaran yang lebih fokus pada eksplorasi dan aktualisasi diri, self expression dalam modul-modul budaya di atas, akan membuat seorang menjadi lebih independen. Ketimbang, misalnya, kemampuan "mengingat" yang menjadi landasan ilmu (nalar) ilmiah, di mana dependensi murid sangat kuat pada acuan, diktat atau referensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar