Meskipun Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2017 meningkat, bahkan melebihi target APBN Perubahan 2017, angka kenaikan- nya tidak terlalu menggembirakan. IPM Indonesia hanya naik 0,63 dari 70,18 tahun 2016 menjadi 70,81 di 2017 (Tajuk Rencana Kompas, 19/4/2018).
Dengan IPM di atas angka 70, Indonesia memang dikategorikan dalam negara IPM tinggi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa di balik berbagai kemajuan yang diraih, ketimpangan masih menjadi problem serius.
Di DKI Jakarta IPM 80,06. Tetapi, masih ada 32 kabupaten yang kondisi IPM-nya sangat memprihatinkan. Di sejumlah kabupaten di wilayah Indonesia Timur, akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi umumnya masih rendah. Rata-rata IPM wilayah Indonesia Timur tidak lebih dari 60.
Ketimpangan
Pemerintah bukannya tidak menyadari bahwa selama ini hasil-hasil pembangunan masih belum merata. Di era pemerintahan Jokowi-JK, berbagai upaya telah dilakukan terutama penyediaan infrastruktur jalan dan jembatan, diikuti pembangunan berbagai fasilitas sosial-ekonomi lain.
Namun, untuk melihat hasil program pembangunan di wilayah Indonesia Timur masih perlu waktu. Pembangunan di wilayah itu selama ini terabaikan, sehingga untuk mengejar ketertinggalan jadi jauh lebih sulit.
Papua, misalnya, yang memiliki potensi sumber daya alam luar biasa, selama ini seperti anak tiri bahkan jadi korban eksploitasi model pembangunan yang bias urban. Kekayaan sumber daya alam wilayah Indonesia Timur dieksploitasi habis-habisan, tetapi proses redistribusi aset dan pengembangan sumber daya manusia lokal tidak dilakukan.
Pengalaman masa lalu banyak mengajarkan bahwa pembangunan yang terlalu sentralistik dan menekankan tujuan-tujuan ekonomi dan perubahan fisik yang bias pusat ternyata bukan hanya melahirkan distorsi, tetapi juga mengalienasi manusia lokal. Manusia dan warga masyarakat lokal sering menjadi terasing pada proses perubahan dan pembangunan di sekitarnya.
Bahkan, mereka mengalami proses marginalisasi, semacam proses pemiskinan penduduk yang terjadi karena mereka lebih banyak dianggap sebagai beban pembangunan daripada potensi yang bisa didayagunakan.
Pendekatan pembangunan yang pragmatis—hanya menghela pertumbuhan ekonomi dan perubahan penampakan fisik—bukannya mendorong kemajuan penduduk lokal, justru yang terjadi adalah proses infiltrasi, invasi dan suksesi kepemilikan aset-aset produksi masyarakat lokal kepada pendatang dan kekuatan ekonomi global.
Di wilayah Indonesia Timur, ketika ada pembangunan dan modernisasi, yang menikmati adalah para pendatang dan investor dari luar. Akhirnya, penduduk lokal hanya menjadi penonton di luar pagar, bahkan terusir dari tanah kelahirannya.
Thomas Piketty dalam bukunya Capital, in The Twenty-First Century (2013) jauh-jauh hari telah mengingatkan risiko pertumbuhan yang tidak didukung fondasi sosial kuat. Menurut Piketty, dalam proses pembangunan yang berlangsung cepat, rate of return on capital umumnya akan tumbuh lebih tinggi secara signifikan daripada rate of growth of income and output.
Akibatnya, di balik berbagai kemajuan, kapital akan mereproduksi diri lebih cepat dari peningkatan output dan upah. Pemilik kapital semakin kaya dibandingkan masyarakat lokal, sehingga ketimpangan sosial justru semakin lebar.
Dalam kondisi masyarakat yang terpolarisasi—di mana hasil-hasil pembangunan tidak kunjung menetes dan dinikmati masyarakat miskin—bagaimana cara memastikan agar pembangunan kualitas manusia dapat dikembangkan secara merata?
Untuk mencegah agar kekeliruan orientasi pembangunan tidak bersifat kontra-produktif, dalam satu-dua dekade terakhir telah disepakati bahwa fokus utama pembangunan di Indonesia adalah memberdayakan kemampuan masyarakatnya. Artinya, posisi manusia dalam pembangunan tidak lagi sebagai objek, melainkan benar-benar ditempatkan sebagai fokus utama dan subjek pembangunan.
Jangan nafikan kualitas
Berkaca dari pasang-surut perkembangan data IPM, kita dapat belajar bahwa pembangunan yang menafikan pembangunan kualitas manusia bukan hanya mempersulit upaya segera keluar dari ketidakberdayaan, ancaman penyakit dan kebodohan, tetapi juga membuat masyarakat makin terperosok pada tekanan kemiskinan dan kesengsaraan.
Di Indonesia Timur, kualitas manusia sering sulit didongkrak karena akses terhadap pendidikan rendah, tingginya kematian bayi dan terjadinya perluasan pendalaman kemiskinan. Tidak banyak kesempatan dan peluang sosial-ekonomi yang dapat dimanfaatkan masyarakat, karena struktur sosialnya tidak ramah.
UNDP (1990) menyatakan yang dimaksud dengan pembangunan manusia hakikatnya ialah suatu proses memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk.
Pembangunan dikatakan gagal jika hasil akhir pembangunan malah melahirkan ketidaksetaraan dan memperkecil peluang moblitas vertikal masyarakat. Terjadilah penyia-nyiaan potensi produktif dan alokasi sumber daya yang tidak efisien.
Di masyarakat yang struktur sosialnya belah ketupat, seperti Korea Selatan, Australia dan berbagai negara maju lainnya, di mana jumlah kelas menengah lebih besar dari pada masyarakat miskin, kesempatan untuk bersaing dan memperbaiki taraf kehidupan akan lebih terbuka. Tetapi, di wilayah Indonesia Timur yang struktur sosialnya berpola piramida, peluang masyarakat miskin untuk memperbaiki kualitas hidup lebih terbatas.
Dalam rangka memperbaiki kualitas dan angka IPM, sebagian mungkin benar dengan cara menghela setinggi mungkin angka pertumbuhan ekonomi dan menarik sebanyak-banyaknya investasi modal asing.
Tetapi, berkaca pada masa lalu, sebetulnya tidak ada jaminan bahwa IPM otomatis akan terdongkrak jika kita hanya mengandalkan pada laju pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, paling-tidak ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk memperbaiki kualitas pembangunan manusia Indonesia. Pertama, bagaimana menempatkan pembangunan kualitas manusia menjadi bagian dari upaya menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan posisi tawar masyarakat miskin.
Kedua, pemerintah perlu menyadari arti penting investasi sosial dalam pembangunan dan kemudian menerjemahkan dalam bentuk program pembangunan bidang sosial-budaya. Mencegah anak putus sekolah, anak tidak terserang busung lapar, masyarakat miskin tidak makin terpuruk, dan sebagainya, lebih bermakna daripada mengembangkan pendekatan kuratif. Selain ongkos sosialnya mahal, juga menyebabkan kesempatan memberdayakan menjadi lambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar