Kita, pada hari-hari ini, di mana praktik demokrasi juga meninggalkan kebisingan, penting menoleh pada peringatan Larry Diamond, Guru Besar Ilmu Politik di Stanford University, USA.

Dalam artikel di The Journal of Democracy, dengan judul Facing up to the Democratic Recesion (2015), dia mendedahkan 'resesi' yang mengiringi gelombang demokrasi.

Profesor Diamond menyimpulkan, sejak tahun 2006, demokrasi sudah terjebak dalam 'resesi ringan' yang sedemikian berlarut-larut. Di luar kurangnya perbaikan atas erosi sederhana ini pada tingkat global, ada beberapa hal lain ikut menyebabkan kekhawatiran pada prospek demokrasi dan kebebasan.

Dia mengemukakan empat (4) titik krusial. Dalam pengalaman, keempat isu ini sedang menghadirkan beban bagi demokrasi kita. Dua yang pertama berhubungan dengan 'landskap' demokrasi di level global.

Dua yang berikut berkaitan dengan arah demokrasi kita. Pertama, negara-negara demokratis mapan tampaknya semakin berkinerja buruk. Mereka seolah tidak memiliki kemauan dan kepercayaan diri dalam mempromosikan demokrasi. Kedua, kualitas dan stabilitas demokrasi telah menurun di sejumlah besar negara-negara yang strategis dan penting.

Ketiga, ada percepatan signifikan pada tingkat kerusakan demokratis pada ranah politik dan sosial.  Keempat, otoritarianisme ternyata telah menancap begitu dalam, bukan hanya dalam struktur politik, tetapi juga pada konstruksi berpikir publik.

Keempat soal ini bisa dipandang sebagai beban dalam proses pematangan demokrasi kita.

Dua arah

Untuk situasi kita, dari dua arah ini, demokrasi kita menghadapi keterancaman serius.

Pematangan juga pembusukan demokrasi setidaknya bisa datang dari dua arah. Jacqueline Wasilewski, Guru Besar Emeritus di International Christian University, Tokyo, dalam pengantar untuk buku karya Geneveive Souillae, The Burden of Democracy: The Claims of Cultures, Public Culture, and Democratic Memory, menghubungkan keduanya dengan 'kapasitas politik' dan 'budaya publik'.

Untuk situasi kita, dari dua arah ini, demokrasi kita menghadapi keterancaman serius.

Pertama, kapasitas politik. Ada tiga elemen pada soal ini. Ketiganya termasuk aktor, perilaku, dan budaya. Kekosongan sinergitas konstruktif tiga elemen ini memengaruhi proses pematangan (maturasi) demokrasi. Dalam terang gagasan ini, tidak mengherankan bagaimana demokrasi berubah jadi horor yang begitu menakutkan.

Kedua, budaya publik. Ruang publik mengerut, hubungan antar kelompok sosial menjadi begitu tertutup. Ini merangsang pembelahan sosial secara cepat dan brutal. Bagi kita, gejala ini menyulitkan terbentuknya apa yang bisa kita sebut sebagai 'ingatan bersama' (common memory). Sebuah fundasi 'psiko-politik' yang merujuk pada luka-luka masa lalu akibat kebiadaban kekuasan, kemenangan yang mesti diraih di kekinian, dan sejumput harapan di masa depan.

Tiga poros

Bagaimana pun, kita kemudian membutuhkan, apa yang dianjurkan Francis Fukuyama, penulis The End of History and the Last Man (1992), dengan 'demokrasi yang layak' (a viable democracy). Pada satu edisi khusus The Journal of Democracy (2015), dia menggugat komunitas internasional tentang 'karut-marutnya' kinerja demokrasi dua dekade sesudah apa yang Samuel P Huntington sebut dengan 'gelombang ketiga  demokrasi (the third wave of democracy).

Dia menarik kita pada tiga poros dan dua jalan bagi pematangan demokrasi. Keduanya menjadi beban dan tantangan bagi demokrasi.

Pertama, tiga poros itu termasuk negara, penegakan hukum, dan akuntabilitas demokratis. Negara, secara konseptual dan etis, harus memeragakan kekuasaan bagi aktualisasi kepentingan warga. Dalam pandangan ini, hukum mesti menjadi titik 'pengendali' negara agar bergerak pada batas-batas etis-politis. Kemudian, akuntabilitas demokratik menggaransi elite politik agar tidak menjadikan kekuasaan sebagai 'properti' pribadi, keluarga, dan kroni.

Kedua, demokrasi yang layak semestinya menjadi rujukan kerja-kerja politik. Dua langkah dapat diambil untuk meringankan beban demokrasi.

Pertama, pelembagaan (institusionalisasi) gerakan sosial ke dalam kerja lembaga politik. Masuknya tokoh-tokoh gerakan sosial (politik) ke dalam segenap lembaga politik bisa dianggap penting untuk mematangkan demokrasi.

Kedua, isu di atas, pada gilirannya, mampu membenahi kapasitas negara (state capacity) dalam memimpin proses demokratisasi yang efektif dan beradab.