Dalam artikel "Leher Botol Dana desa" (Kompas, 14/5/2018), Ivanovich Agusta risau terkait lambatnya pencairan dana desa, yang berdampak penyerapan dana desa dianggap lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya.

Namun, rasanya terlalu dini menyimpulkan penyerapan dana desa tahun ini rendah. Jika dibandingkan bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, penyerapan dana desa tahun ini telah dilakukan percepatan, meski tidak dimungkiri ada desa yang belum mencairkannya. Itu pun karena di akhir 2017 ada perubahan kebijakan pemerintah pusat tentang pencarian dana yang belum cukup terinformasikan hingga daerah.

Hasil komunikasi penulis saat pelatihan petugas pendataan potensi desa (podes) di Sulawesi Selatan, masalah pencairan dana desa terhambat di dua sisi: pemerintah kabupaten dan desa, yakni pencantuman Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APBDes) pada peraturan bupati tentang pengalokasian dana desa, ditambah telatnya laporan penggunaan dana desa tahun sebelumnya oleh desa.

Mengurai masalah

Sangat tidak beralasan ketika data Indeks Kesulitan Geografis (IKG) dan data penduduk miskin desa jadi penyebab keterlambatan pencairan dana. Sebab, Kementerian Keuangan telah mengamanahkan penyusunannya di kabupaten melalui PMK No 247/2015.

IKG disusun dan ditetapkan oleh bupati/wali kota berdasarkan data dari kementerian yang berwenang dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang statistik. Hal ini ditegaskan pula dalam PMK berikutnya, No 49/2016 dan No 199/2017, serta PP No 22/2015 pun telah memfasilitasinya. Teknik dan cara penghitungan IKG juga telah terlampir di dalamnya.

Sementara data penduduk miskin desa memang masih menjadi masalah bersama. BPS hanya mengeluarkan data jumlah penduduk miskin kabupaten, tidak spesifik per desa. Solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan data sektoral, yaitu data penduduk miskin hasil pendataan Basis Data Terpadu (BDT) yang telah dimutakhirkan Kementerian Sosial.

Apabila daerah terlambat mencairkan dana desa dikarenakan data-data tersebut, maka hal itu wujud ketidaklancaran  menyosialisasikan peraturan, karena upaya percepatan dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kabupaten/kota telah diperkirakan Kementerian Keuangan sejak awal dana desa digulirkan, 2015.

Keterlambatan penyerapan dana desa di antaranya akibat hiruk-pikuk persiapan pilkada, persyaratan berupa peraturan bupati, tata cara pengalokasian, dan rincian dana desa per desa yang menyebabkan fokusnya terbagi. Ditambah lagi ketidaksiapan APBDes seluruh desa di awal tahun lantaran perubahan skema pencairan dana desa dan prioritas penggunaannya pada Desember 2017.

Keterlambatan beberapa desa dalam pelaporan penggunaan dana desa tahun sebelumnya juga memengaruhi pencairan dana desa ke desa secara keseluruhan dalam satu kabupaten. Ini terjadi karena peraturan bupati melampirkan APBDes seluruh desa. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena pemerintah menumpukkan tanggung jawab desa kepada bupati.

Solusi pengubahan APBDes yang cukup melalui peraturan kepala desa (Permendagri No 20/2018) akan memunculkan masalah baru. Pertama, peran masyarakat dalam penggunaan dana desa berkurang. Warga tak bisa serta-merta memberikan saran prioritas pembangunan di desanya. Pembangunan desa lebih karena selera kepala desa atau elite desa lainnya.

Kedua, partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan terenggut. Ketidakpercayaan berkembang. Musyawarah desa sebagai pintu gerbang pengawasan penggunaan dana desa akan terdisrupsi. Desa sebagai ujung tombak pembangunan semakin tidak dipercaya oleh warganya sendiri. Indikasi korupsi skala kecil akan semakin marak.

Keterlibatan kerabat aparat desa dalam kegiatan padat karya menambah panjang rumpangnya perilaku antikorupsi desa-kota. Upaya pemberdayaan juga tak lepas dari hubungan keluarga (nepotisme).

Berdasarkan hasil survei perilaku antikorupsi (BPS) tahun 2017, indeks perilaku anti- korupsi wilayah pedesaan 3,53 lebih rendah daripada perkotaan 3,86 (skala 0-5). Lebih rendahnya indeks pedesaan ini konsisten dari tahun 2012. Bahkan, tahun 2017 selisih indeks antikorupsi desa-kota meningkat: dari 0,2 tahun 2012 menjadi 0,33 tahun 2017.

Pemutakhiran data desa

Persoalan penyediaan data desa setiap tahun memang masih jadi tantangan. Pendataan potensi desa yang dilaksanakan 2-31 Mei 2018 ini dapat mengisi pembaruan data tersebut. Hanya saja, pemutakhiran data desa setiap tahun masih dalam perencanaan. Jika pemerintah pusat, termasuk gubernur dan bupati/wali kota, memiliki komitmen kuat membangun dengan pijakan realitas, maka pemutakhiran data desa setiap tahun tersebut harus dikawal bersama sehingga 2019 bisa mulai terlaksana. Terlebih mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mempertanyakan data dasar pengalokasian dana desa ke desa yang tidak berubah sejak 2014.

Tantangannya, bagaimana pengelolaan data desa yang telah dimutakhirkan ini dapat dikelola di dinas yang menangani statistik dan kemiskinan di kabupaten/kota. Langkah ini dapat memfasilitasi kegelisahan berbagai pihak terkait lambannya penyusunan basis data alokator dan data lain sebagai prasyarat peraturan bupati tentang pengalokasian dana desa.

Selain itu, percepatan penyelesaian pelaporan dana desa 2018 serta penyusunan APBDes 2019 pada tahun yang sama juga menjadi tanggung jawab bersama. Mengoptimalkan peran pendamping desa juga harus dilaksanakan. Harapannya, penyerapan dana desa tahun berikutnya lebih cepat lagi, dan benang kusut pencairan dana desa tahun ini dapat terurai.