Kudeta terjadi di Thailand empat tahun lalu. Militer mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerin- tahan sipil yang dipimpin PM Yingluck Shinawatra.
Dengan alasan untuk mengatasi krisis politik yang berlangsung berlarut-larut, kekuatan militer yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-ocha pada 22 Mei 2014 mengakhiri pemerintahan Yingluck. Sejak itu, berkali-kali Prayuth menjanjikan penyelenggaraan pemilu, tetapi selalu tidak ditepati. Alhasil, hingga masa empat tahun setelah kudeta itu berlangsung, pemilu yang bebas, jujur, dan adil, tak kunjung digelar.
Diberitakan oleh harian ini pada Selasa (22/5/2018), demonstrasi berlangsung di Bangkok. Selain untuk memperingati kudeta, warga mendesak agar pemilu diadakan tahun ini karena tidak percaya dengan Prayuth yang menjanjikan untuk menggelar pemilu pada tahun depan. Janji-janji yang tidak ditepati sebelumnya oleh junta membuat masyarakat mendesak supaya pemilu diadakan secepat mungkin, yakni pada 2018.
Apa yang terjadi di Thailand sungguh kontras dengan apa yang baru saja berlangsung di Malaysia. Dalam pemungutan suara pada 9 Mei lalu, rakyat Malaysia memutuskan untuk mengakhiri masa kekuasaan Barisan Nasional, koalisi yang berkuasa di negara itu sejak Malaysia merdeka pada 1957.
Peralihan kekuasaan yang mengejutkan ini berjalan damai, tanpa kekerasan, tanpa kerusuhan. Tidak ada huru-hara di jalanan, tidak ada aksi pembakaran toko, rumah, atau gedung. Najib Razak yang sebelum pemungutan suara menjabat perdana menteri dan sangat berkuasa akhirnya kehilangan semua kekuasaannya. Menjadi warga biasa, ia kini menghadapi ancaman dituntut dalam kasus dugaan megakorupsi.
Apa yang terjadi di Malaysia mengingatkan kembali betapa dengan segenap keterbatasannya, demokrasi tetap merupakan sarana yang memadai untuk mengontrol kekuasaan. Menempatkan suara rakyat sebagai sokoguru, demokrasi memastikan sirkulasi penguasa terjadi secara reguler sehingga tidak ada kekuatan yang merasa berada di atas hukum, di atas negara.
Aspirasi itu tampaknya tidak hilang di dalam masyarakat Thailand. Hingga tahun keempat kudeta, rakyat Thailand tetap menginginkan agar diadakan pemilu yang bebas dan jujur. Hanya dengan cara itu, mereka dapat menentukan kelompok mana yang memegang kekuasaan pemerintahan.
Sayangnya, "tradisi" kudeta di Thailand memang tergolong kuat. Kudeta demi kudeta terjadi di negara itu sejak 1932. Konflik di antara kekuatan-kekuatan yang mendominasi lanskap politik di negara penganut monarki konstitusional itu sering kali ditentukan oleh kekuatan militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar