KOMPAS/ALIF ICHWAN

Rapat dengar pendapat Komisi II dengan Bawaslu dan KPU berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin(21/5/2018). Hadir dalam rapat antara lain (dari kiri ke kanan) Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar, Dirjen OTDA Kemendagri Suhajar Diantoro, Ketua KPU Arief Budiman (dari kiri ke kanan) Rapat yang di pimpin Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali membahas mengenai DPT untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pengawas Pemilu menolak usulan Komisi Pemilihan Umum untuk membatasi hak dipilih koruptor.

KPU mengusulkan terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak, seperti harapan masyarakat, tak bisa dicalonkan sebagai wakil rakyat. Ketentuan dalam rancangan peraturan KPU (PKPU) itu sejalan dengan tekad pemerintah, yang sejak awal memerangi terorisme, korupsi, peredaran narkoba, dan kejahatan seksual pada anak. Pemerintah selektif memberikan remisi (pengurangan hukuman) pada pelaku korupsi, terorisme, dan bandar narkoba, serta menambah sanksi bagi pelaku pelecehan seksual pada anak.

Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali meminta masyarakat tak menganggap DPR mendukung koruptor bisa dicalonkan. Sikap DPR itu lebih berpegang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 Ayat (1) huruf G UU Pemilu menyatakan, calon anggota legislatif tak pernah dipidana penjara, yang berkekuatan hukum tetap, yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik, bahwa ia bekas terpidana (Kompas, 23/5/2018).

Pendekatan DPR, Bawaslu, ataupun pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri sangatlah legalistik, kurang memperhatikan suara rakyat, yang menghendaki wakil rakyat yang benar-benar bersih. Sikap pemerintah juga terasa tidak konsisten karena berulang-ulang menyatakan perang terhadap korupsi, bandar narkoba, terorisme, dan pelecehan seksual pada anak. Pelaku korupsi, bandar narkoba, atau pelaku pelecehan seksual terhadap anak, yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun, tetap dibiarkan boleh melenggang menjadi calon anggota legislatif, asalkan mengumumkan diri sebagai bekas narapidana.

Sikap pemerintah, DPR, dan Bawaslu itu juga melanggengkan ketidaksetaraan di muka hukum yang tergambar dalam UU No 7/2017. UU Pemilu menegaskan, calon presiden/wakil presiden tak pernah terlibat tindak pidana korupsi atau tindak pidana berat lainnya. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sesuai Pasal 258 huruf C UU Pemilu, tak pernah dipidana dengan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, atau melampirkan keterangan dari Lembaga Pemasyarakatan bahwa yang bersangkutan pernah dipenjara.

Tiada penjelasan kenapa bekas terpidana korupsi atau tindak pidana yang diancam hukuman lima tahun penjara atau lebih lain, diberi kemudahan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Padahal, mereka adalah penyelenggara negara, tak ada bedanya dengan presiden/wapres atau anggota DPD. Korupsi, seperti disebutkan dalam UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus dihadapi secara luar biasa pula. Tanpa langkah luar biasa, korupsi akan terus merajalela.