Sampai saat ini, diakui atau tidak, kita sebagai pribadi ataupun sebagai sebuah bangsa belum bisa beranjak dari kegusaran tema radikalisme beragama.

Radikalisme beragama dalam bahasa yang paling sederhana adalah tindakan kekerasan, eksklusif, rigid, sempit, dan juga memonopoli kebenaran. Dalam istilah Arab, radikalisme tersebut karib disebut dengan Syiddah Al-Tanattu.

Dalam konteks ini aksi yang dilakukan oleh narapidana terorisme di Mako Brimob pada Kamis (10/5/2018) dan juga aksi peledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) menjadi bukti sahih bahwa isu seputar radikalisme masih sangat penting untuk bukan saja diperbincangkan dan diperdebatkan, tetapi juga di atas itu semua ditanggulangi dan dicegah.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Ratusan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Palangkaraya dan beberapa organisasi lain di Kalimantan tengah menggelar aksi menolak radikalisme, Rabu (16/5/2018).

Sesungguhnya jika kita memfokuskan perbincangan pada tema radikalisme, kita tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari mata rantai transmisi kelahiran serta asal muasal radikalisme tersebut. Sebab, radikalisme adalah sebuah fenomena yang tidak berdiri sendiri dan terlahir dari ruang hampa. Ia dilahirkan oleh sebuah sistem berpikir yang sesungguhnya memiliki latar historis dalam sejarah beragama.

Anak dari fundamentalis

Jauh sebelum kemunculan istilah radikalisme, kita terlebih dulu mengenal istilah fundamentalisme. Ia adalah sebuah sikap beragama sehari-hari yang diterjemahkan dengan kesadaran mendasar dalam menjalankan ajaran agama sehari-hari.

Seorang Muslim yang fundamentalis bisa diartikan bahwa ia adalah Muslim yang sangat presisi dalam menjalankan ajaran- ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Agama dalam pandangan kacamata kaum fundamentalis adalah seperangkat aturan yang sudah komplet dan mapan untuk mengurus apa saja dalam kehidupan sehari-hari, mulai urusan ritual privat sampai ritual sosial sehingga tidak memerlukan pemaknaan serta penafsiran ajaran kembali yang bersifat lebih dinamis.

Ratusan pemuda dari berbagai elemen mengikuti apel dan deklarasi Menjaga Malang Kondusif dari Radikalisme dan Terorisme, Minggu (20/5/2018).

Karen Amstrong dalam the Battle for God (2007) mengatakan bahwa fundamentalisme ada di hampir semua agama. Di setiap kepercayaan, apa pun itu bentuknya, terlebih agama, hampir bisa dipastikan ada satu atau dua gerakan yang lebih bersikap fundamentalis.

Sampai di sini bisa ditarik kesimpulan bahwa fundamentalisme yang lebih mendominasi ranah pikiran serta konsep kaum beragama adalah induk dari bayi yang kemudian hari kita kenal sebagai gerakan radikalisme. Jika fundamentalisme bermain lebih banyak di wilayah pemikiran, radikalisme lebih bersifat praksis dan gerakan.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Sejumlah siswa sekolah di Kabupaten Badung, Bali, membubuhkan tanda tangan sebagai komitmen anti radikalisme dan terorisme di atas kain putih sepanjang 20 meter. Aksi ini merupakan rangkaian peringatan tujuh tahun peledakan bom Bali 1 Oktober 2005, di Nyoman Cafe, Jimbaran.

Jika kita berkaca pada sejarah, sesungguhnya gerakan radikalisme sudah ada jauh pada masa lampau, yang kita kenal dengan kaum Khawarij. Istilah Khawarij muncul pertama kali dalam sejarah Islam pada abad ke-1 H atau pertengahan abad ke-7 M, yang dilatarbelakangi pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sofyan.

Meminjam analis Ikhwanul Kiram Masyhuri (2014), sesungguhnya kaum Khawarij ini memiliki beberapa ciri utama. Pertama, berpegang teguh pada hukum Allah serta tidak mengakui pemerintah. Kedua, selalu menempatkan pihak yang berbeda dengannya sebagai kelompok liyan atau yang lain (the others).

Sambil membawa poster, warga yang tergabung dalam Persatuan Pemuda dan Mahasiswa Peduli Indonesia melakukan aksi menolak ISIS di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/3/2015). Mereka juga menolak berkembangnya radikalisme di Indonesia.

Kedua ciri utama tersebut sesungguhnya jika kita gunakan untuk membedah segala gerakan radikalisme yang ada pada saat ini masih sangat relevan. Sikap penolakan terhadap pemerintahan yang tidak berdasarkan pada "hukum Tuhan", juga perlakuan liyan terhadap yang tidak sepemahaman, nyatanya sampai saat ini masih mendominasi sikap dan cenderung menjadi alasan gerakan mereka menganut paham radikalisme.

Sesungguhnya radikalisme itu, meminjam analisis Kiai Said Aqil Siroj (2014), telah terfragmentasi menjadi minimal tiga bentuk. Pertama, radikalis puritan, yang lebih berkonsentrasi pada gerakan pemurnian Islam dari tradisi lokal. Kedua, radikalis sekuler, yang mengonsentrasikan gerakan untuk mengislamkan segala sistem sekuler seperti demokrasi dan juga bentuk negara. Ketiga, radikalis teroris, yang mengejawantahkan konsep dan pikirannya dengan cara pemaksaan yang dibalut dengan kekerasan.

Siswa SMA Katolik Stella Maris Surabaya, Jawa Timur, membentangkan spanduk dengan tulisan yang berarti "Stelma (Stella Maris) tidak takut teroris", Jumat (22/1/2016). Mereka menyatakan sikap dengan menandatangani spanduk itu. 

Pada dua bentuk pertama, sesungguhnya gerakan radikalisme hanya sebatas konsep dan alam pikir pengikutnya semata. Mungkin kedua bentuk tersebut juga diimplementasikan dalam sebuah gerakan, tetapi tidak sampai menggunakan kekerasan sebagai alat dan pisau gerakannya. Pada kedua bentuk ini kadar bahaya radikalisme tidak sebesar yang terdapat pada radikalisme bentuk ketiga, yakni radikalisme teroris yang selalu menjadikan teror dan kekerasan sebagai cara menerjemahkan gagasannya.

Peserta Apel Kebhinekaan Lintas Iman Bela Negara menyanyikan lagu Bagimu Negeri, di Lapangan Banteng, Jakarta, Minggu (17/1/2016). Dalam acara itu pemuka agama lintas iman membacakan deklarasi untuk menolak radikalisme, terorisme dan penyalahgunaan narkoba.

Ironisnya, paham terorisme tersebut jika kita teliti dengan cermat sesungguhnya mereka bisa berbiak dengan sangat cepat dengan cara memanfaatkan lahan subur yang bernama kebebasan dalam berdemokrasi. Keran kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu ciri utama demokrasi itulah yang menjadi landasan serta alasan kemunculan paham radikalisme yang berwujud terorisme tersebut, termasuk salah satunya di Indonesia.

Perubahan pola dan "kelamin"

Saya mengamati mulai ada perubahan pola pengeboman belakangan ini. Jika setahun yang lalu bom bunuh diri dilakukan di halte Kampung Melayu, Jakarta, akan tetapi tahun ini tampaknya sudah mulai kembali lagi ke rumah-rumah ibadah.

Bom panci Kampung Melayu kita tahu terjadi sama persis menjelang datangnya bulan Ramadan, tetapi sasaran dan jenis pelakunya dengan yang terjadi saat ini sudah berubah. Perubahan pelaku bom bunuh diri yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, dalam kasus yang belakangan terjadi justru tidak terbukti. Kelamin terorisme saat ini sudah mulai bergeser dari yang maskulin menjadi yang feminin. Ini sangat menyedihkan dan patut menjadi perhatian bersama-sama.

Dari kiri, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma indonesia Yanto Jaya, Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia Uung sendana, Ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Henriette Lebang, Ketua Umum Konferensi Wali Gereja Indodonesia Monsinyur Yohanes Harun Yuwono, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul (PBNU) UlamaSaid Aqil Siroj, Perwakilan Umat Budha Indonesia Maha Pandita Utama suhadi Sendjaja dan Sekjen PBNU Helmy Faizal Zaini usai membaca deklarasi bersama dalam Apel Kebhinekaan Lintas Iman Bela Negara di Lapangan Banteng, Jakarta, Minggu (17/1/2016). 

Juga yang sangat menarik dan harus dijadikan perhatian lebih dalam adalah mulai merebaknya kampanye istilah yang berusaha untuk menegasikan sebutan gerakan bom bunuh diri. Mulai ada kampanye yang secara masif untuk menghapus istilah bom bunuh diri. Mereka mulai memakai istilah harakah istisyhadiyyah atau gerakan mati syahid.

Usaha dan propaganda yang bertujuan untuk menggeser konsep gerakan bom bunuh diri menjadi gerakan mati syahid ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya. Proses internalisasi yang mencoba menggeser gerakan yang tadinya disebut sebagai gerakan bom bunuh diri menjadi gerakan mati syahid ini, jika tidak segera dihadang laju persebarannya akan sangat membahayakan, utamanya untuk generasi muda kita.

Presiden Joko widodo (keempat kiri) didampingi oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kedua kanan), KH Maimun Zubair (kiri), Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maaruf amin (ketiga kiri), Ketua Umum PBNU KH Said aqil Siraj (kedua kiri), Gubernur Nusa Tenggara Barat TGB Mohammad Zainul Majdi (kanan) memukul gendang untuk membuka Musyawarah kerja Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Islamic Center, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (23/11/2017).

Media sosial dan video ceramah agama sangat berperan penting membentuk dan mempercepat proses internalisasi yang mencoba menggeser istilah di atas. Kita hari ini bisa dengan mudah mendapatkan ceramah- ceramah provokatif yang antiliyan. Ini merupakan persoalan besar yang menjadi tantangan bersama.

Dalam upaya dan usaha untuk melawan radikalisme dan terorisme tersebut, sinergitas antara pelbagai elemen menjadi sebuah keniscayaan. Semua unsur harus terlibat, termasuk—dan yang terutama—dari para pemuka agama sebagai corong utama dalam menyosialisasikan paham Islam yang ramah, yang jauh dari tindakan radikalisme, lebih-lebih yang berujung pada terorisme.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko widodo dan pimpinan Perguruan Tinggi se-Indonesia mengikuti sesi foto bersama usai Peresmian Penutupan Pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi Se Indonesia di Kawasan Nusa dua, Badung, Bali, Selasa (26/9/2017). Dalam kesempatan itu, Presiden Joko widodo mengingatkan agar kampus tidak dijadikan tempat penyebaran radikalisme.

Di pihak lain, yang tidak kalah penting, pemerintah harus segera belajar pada sejarah dan segera berbenah. Fenomena kemunculan gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme tersebut harus menjadi agenda prioritas untuk dideteksi dan ditanggulangi. Semua aparat pemerintah, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT) harus bekerja secara ekstra.

Bahkan, pada tataran yang lebih praksis, pemerintah terlebih harus memberikan payung hukum tentang kewenangan aparat TNI dan Polri untuk menindak secara tegas "gejala-gejala" terorisme sebagai upaya untuk deteksi dini.
Sebab, tanpa pemberian payung hukum yang jelas untuk kewenangan menindak gejala terorisme tersebut, sampai kapan pun terorisme tidak akan bisa ditanggulangi.