Proses serta sistem pengurusan yang rumit ditengarai menjadi salah satu akar masalah yang menggiring TKI masuk pada lubang hitam jeratan calo (Kompas, 20/5/2018).

Negara perlu terus diingatkan bahwa kelompok tenaga kerja yang dianggap pahlawan devisa ini seharusnya ditempatkan pada posisi yang memungkinkan mereka diperhitungkan dalam setiap proses kebijakan dan mendapat perlindungan hukum.

Desa, sebagai level pemerintahan paling bawah, harus didorong untuk proaktif melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) karena ia menjadi arena paling subur bagi sponsor atau calo dalam menjaring calon TKI. Desa menjadi titik berangkat awal dari seluruh pengurusan dokumen identitas TKI. Posisi tawar yang kuat harus dimulai dari titik berangkat ini.

Posisi desa dalam konteks demikian menjadi penting karena desa saat ini, perlahan tapi pasti, mampu menjadi sabuk pengaman sosial terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan yang timbul. Salah satunya pilihan menjadi tenaga kerja di luar negeri bagi warganya.

Argumentasi yang selama ini sulit ditolak untuk mencegah migrasi tenaga kerja ini adalah bahwa pilihan menjadi tenaga kerja di luar negeri merupakan solusi alternatif yang masuk akal pada saat pemerintah negeri sendiri "gagal" mencari jalan keluar atas persoalan pengangguran dan kemiskinan.  Tingginya angka kemiskinan di daerah asal para TKI tersebut menyebabkan sebagian besar penduduknya mencari kemungkinan-kemungkinan lain di luar wilayahnya untuk tetap bertahan. Migrasi internasional akhirnya menjadi salah satu pilihan yang dianggap paling rasional, meskipun mereka sadar dengan berbagai risiko yang mungkin terjadi.

Geliatkan ekonomi desa

Pada titik ini, tindakan yang diambil pemerintah tidak boleh hanya bersifat reaktif-artifisial, misalnya dalam bentuk penghentian pengiriman TKI tanpa memikirkan kebijakan jangka panjang dalam bentuk paket kebijakan yang lebih memberdayakan. Ketika itu yang terjadi, persoalan TKI akan kembali menjadi soal klasik seperti berputar dalam lingkaran setan.

Posisi desa sebagai sabuk pengaman sosial tampaknya punya makna strategis sebagai salah satu upaya memberi solusi alternatif mengerem laju migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Nilai strategisnya terletak pada berbagai indikator, terutama ekonomi, yang mulai bergeliat di desa-desa di pelosok Nusantara.

Kebijakan dana desa, misalnya, telah menyumbangkan energi baru bagi pergerakan perekonomian yang signifikan di desa-desa serta penurunan angka kemiskinan. Nilainya yang terus meningkat dari Rp 20,67 triliun pada 2015, Rp 46,98 triliun pada 2016, dan menjadi Rp 60 triliun tahun 2017 dan 2018 telah mampu menurunkan angka kemiskinan di pedesaan lebih cepat dibandingkan dengan di perkotaan.

Selama periode Maret 2017- September 2017, jumlah penduduk miskin di perkotaan turun 401.280 orang, sementara di pedesaan turun 786.950 orang. Begitu pun rasio Gini penduduk pedesaan mengalami penurunan dari 0,334 pada tahun 2015 menjadi 0,320 pada 2017.

Maknanya bahwa dana desa yang digelontorkan ke desa-desa telah mengubah wajah desa. Selain berdampak pada penurunan angka kemiskinan, ia juga telah melahirkan lokus-lokus pertumbuhan baru di desa yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Geliat tumbuh suburnya desa-desa wisata, pertumbuhan badan usaha milik desa (BUMDes) yang telah mencapai 65.433 unit, produk-produk unggulan kawasan pedesaan yang mulai bermitra dengan dunia usaha, pertumbuhan pasar desa sebanyak 5.220 unit adalah sebagian contoh bagaimana kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja di desa mulai meningkat.

Hal ini bisa dilihat dari grafik penyerapan tenaga kerja. Pada 2017, penyerapan tenaga kerja di pedesaan meningkat 0,08 persen dari tahun sebelumnya. Penduduk desa yang bekerja sebanyak 57,1 juta jiwa, meningkat 170.000 dibandingkan tahun sebelumnya. Data bahkan mengonfirmasi bahwa dana desa selama 2015- 2018 akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 5,7 juta-7,3 juta.

Desa adalah masa depan

Karena itu, menempatkan peran penting desa dalam skema perlindungan terhadap TKI dalam makna yang lebih luas adalah sebuah keniscayaan. Artinya, ke depan desa tidak hanya sebagai lembaga stempel terhadap segala dokumen dan identitas TKI, tetapi desa menjadi alternatif baru pilihan ekonomi rasional calon TKI. Simpelnya, penting meyakinkan para calon TKI bahwa desa adalah masa depan mereka. Ketika hal tersebut terwujud, di situlah makna sesungguhnya dari desa sebagai sabuk pengaman sosial.

Statistik-statistik kemajuan seperti di atas menunjukkan bahwa desa sesungguhnya punya potensi untuk menjadi lokus-lokus pertumbuhan baru. Pelibatan dan penguatan desa dalam seluruh proses pembangunan tak lagi bisa ditawar. Di sinilah desa tak lagi hanya menjadi subordinat dari supradesa. Desa memiliki kewenangan penuh menentukan arah dan kebijakan pembangunannya sendiri sesuai lokalitas yang dimiliki.

Dalam konteks persoalan TKI yang sering kali bermasalah sejak awal, yang harus dilakukan adalah negara perlu lebih cermat lagi untuk melihat kembali serta mengidentifikasi persoalan-persoalan apa saja yang sesungguhnya menjadi "penyakit" dalam soal TKI, untuk kemudian melakukan diagnosa atas problem yang mereka hadapi. Di sinilah diperlukan kebijakan yang menyentuh ke akar masalah.

Salah satu yang harus dilakukan, pemerintah—dalam hal ini pemerintah daerah—harus mampu menginisiasi berbagai kesempatan kerja baru bagi banyak tenaga kerjanya sehingga tidak lari ke luar daerah. Upaya-upaya pemberdayaan ekonomi lokal lewat berbagai inovasi kebijakan harus ditempuh pemerintah daerah.

Pertumbuhan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kesempatan kerja mendorong terjadinya pengangguran terbuka ataupun setengah pengangguran di daerah asal. Hal ini pada akhirnya menyebabkan munculnya rasa frustrasi di kalangan penduduk usia kerja, yang pada gilirannya mendorong kelompok tersebut mencari alternatif sendiri yang lebih baik.

Karena itu, ke depan, ada beberapa hal yang saya kira perlu dilakukan pemerintah di berbagai tingkatan. Pertama, membuat reorientasi program pembangunan daerah melalui perencanaan yang matang dengan memprioritaskan terciptanya peluang-peluang usaha bagi masyarakat di segala lapisan sosial dan ekonomi. Kedua, perlunya pemerintah daerah   mempertimbangkan terciptanya peluang-peluang kerja baru berdasarkan kekuatan-kekuatan dan potensi ekonomi lokal.

Ketiga, kalaupun pengiriman TKI tetap menjadi pilihan tak terelakkan, pemerintah daerah perlu menciptakan aturan-aturan atau perangkat peraturan daerah yang dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas dan proses migrasi, terutama di tingkat lokal. Desa dalam hal ini bisa menjadi benteng kuat karena seluruh proses dokumentasi berawal dari desa.

Seluruh langkah dan kebijakan untuk memberdayakan ekonomi lokal harus secara tepat dilakukan pemerintah melalui skema kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Pembentukan Desa Migrasi Kreatif yang diinisiasi pemerintah misalnya, baru akan bermakna ketika ia mampu menumbuhkan prakarsa-prakarsa lokal untuk benar-benar menjadikan desa sebagai sabuk pengaman sosial dengan sumber daya yang dimiliki. Hal ini lantaran  besarnya mobilitas TKI ke luar negeri selama ini, salah satunya, adalah karena pembangunan yang timpang dan "gagal" dalam memberi nisbah kue pembangunan kepada seluruh lapisan masyarakat.