KOMPAS/ZULKARNAINI (AIN)

Pedagang daging melayani pembeli di Pasar Peunayong, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Rabu (16/5/2018). Tradisi meugang menyantap masakan daging jelang puasa Ramadhan menjadi tradisi bagi warga Aceh. Tradisi ini sudah berlangsung sejak masa Sultan Iskandar Muda pada abad ke-16 Masehi yang kini masih dilestarikan.

Di antara perayaan di Aceh menyambut bulan puasa adalah tradisi pesta daging atau ma' meugangMa' meugang sudah menjadi semacam "ritual", berumur paling sedikit 400 tahun, yang dilakukan sejak dua hari sebelum Ramadhan dengan membeli daging sapi (kerbau untuk wilayah dataran tinggi Gayo) di gerai-gerai dadakan di sudut kota atau di pinggir jalan raya.

Menurut antropolog Belanda, Snouck Hurgronje (De Atjehers, 1893/1996), tradisi ini dulunya dikelola di tingkat kampung dengan mengumpulkan uang dari rumah ke rumah (meuripee). Jumlah uang yang terkumpul akan menentukan besaran sapi yang akan dibeli dan kemudian disembelih untuk dibagi sesuai uang yang dikumpulkan warga.

Sebagian daging itu diawetkan dengan cara dijemur dengan taburan garam dan lada atau disebut sie balue. Sebagian lagi dimasak dengan bumbu kunyit, cabai kering, lengkuas, dan cuka atau sie reuboh.

Kedua kuliner itu dikonsumsi hingga 15 hari puasa atau lebih. Tradisi juga bersalinan dengan ritual mandi laut dengan melakukan makan bersama keluarga besar (meuramin).

Tradisi sebagai hibridisasi

Orang akan mengatakan tradisi seperti ini tak ubahnya selubung kapitalisme yang menjadi industri tahunan. Dalam kacamata ekonomi, membeli daging sapi dalam jumlah banyak, seperti masa ma' meugang, akan membuat harganya meningkat 20-50  persen. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat Aceh tak peduli.

Ada aspek teologis dan metafisik yang masuk dalam perayaan itu. Dalam tradisi Aceh, jika seorang telah menikah tak membawa daging minimal satu kilogram kepada keluarganya, dianggap ia tak berguna bekerja sepanjang tahun (tamita hareukat sithon, ta peuabeh sibuleun). Ada perasaan bersalah jika tak memberikan sedekah daging kepada orangtuanya dan mertuanya pada momentum itu. Rezekinya terasa tak berkah.

Namun, orang lupa, di balik tradisi yang terlihat sebagai sayatan-sayatan kapitalistik itu ada nilai yang lebih besar, yaitu proses berkorban, tenggang rasa, dan guyub, yang menjadi ciri solidaritas komunal.

Kiranya tradisi serupa itu banyak ditemukan di seluruh pelosok Nusantara. Tradisi masih dilestarikan saat ini, meskipun tidak murni seperti pertama sekali ia disimbolisasi. Dalam praktik Islam Nusantara, tradisi dipraktikkan bukan semata menjadi semacam matrik kultural terkait aspek nativitas atau pengetahuan lokal, tetapi yang lebih penting adalah proses adaptasi pesan-pesan religius sehingga terpahami oleh masyarakat.

Tradisi adalah air embun yang teruapkan oleh kosmopolitanisme agama dan budaya global dalam konteks lokal. Ia nilai kebijaksanaan yang telah menemukan momentum apropriasinya. Tradisi adalah hibridisasi nilai agama global dari Utara, yang dengan bekerjanya bahasa dan pengetahuan lokal menjadikannya peradaban baru.

Dalam karya klasik Geertz, misalnya, Islam Observed (1968), terlihat perbandingan kontras antara Islam di Maroko dan Islam di Jawa. Islam di Maroko hidup dalam konteks kultur lokal "dikurangkan", sedangkan di Jawa "dilebihkan". Islam di Jawa (termasuk Nusantara) bisa tumbuh dengan pelbagai aspek sinkretisme dan hibridisasi, sedangkan di Maroko penuh disiplin teologis dan doktrinal.

Hal ini kurang dilihat sungguh-sungguh dalam konteks kajian keislaman Indonesia. Muncul saja analisis bahwa Indonesia sebagai pusat terorisme baru, tetapi tidak tekun melihat latar antropologis Islam Indonesia. Padahal, aksi-aksi intoleransi dan radikal sesungguhnya tidak berangkat dari tradisi lokal yang telah hidup ratusan tahun dengan pelbagai keunikan dan irreducibility-nya—meminjam konsep Bronislaw Malinowski, semacam inti atom kebudayaan lokal, yang tak mungkin berketai-ketai lagi.

Sejarah Islam saat ini, yang terlihat seolah-olah keras dan radikal, juga bukan representasi etnografi keragaman Islam Nusantara. Ia merupakan "pecahan-pecahan lain" yang tidak berada dalam jalur kontinum Islam tradisional. Terorisme bernuansa agama itu merupakan politik konservatisme yang masuk melalui cerobong migrasi Islam Arab-Persia-Turki dengan karakter kekerasan unik dalam abad- abad persaingan pada masa lalunya (JR Bowen, A New Anthropology of Islam, 2012: 9).

Tradisi sebagai mediasi puitik

Jika akhirnya kita lihat fenomena Dita Oepriyanto, yang rela menjadi martir sekeluarga dengan meledakkan diri di tiga gereja di Surabaya, tidak bisa dibaca mewakili tradisi Islam mana pun di Indonesia. Seseorang yang hidup dalam Islam tradisi tidak akan mengingkari eksistensi komunalistik yang dimilikinya. Ia tak mungkin menyakiti masyarakat yang ia warisi kebaikan-kebaikannya. Islam tradisional berangkat dari adat dan resam yang didapatkan dari leluhurnya, bukan semata normativitas teks-teks agama. Abstraksi perilakunya tak mungkin menyimpang dari masyarakat.

Tradisi Islam lokal sama sekali tidak bersentuhan dengan konsep "tanpa kompromi", melainkan merekonsiliasi pelbagai nilai dan keyakinan yang telah tumbuh hidup sebelumnya. Tradisi shalat Tarawih kilat di Blitar, permainan bola api pada malam Ramadhan, praktik kenduri sawah, kenduri laut adalah wujud hibridisasi kultural dan keyakinan yang bukan saja menoleransi perbedaan penafsiran di dalam Islam, tetapi juga di luar itu.

Dalam konsep antropolinguistik Melayu-Sumatera, ada pola sapaan yang menunjukkan semangat inklusi kepada "orang asing". Mereka yang datang tidak menjadi yang lain (the others), tetapi diri sendiri (the self).  Engkau dan Aku menjadi Kita. Sering dalam percakapan sehari-hari ketika menyebut kelompok migran di datang ke daerahnya: "orang kita Jawa", "orang kita Ambon", "orang kita Bugis", dan sebagainya. Tidak terjadi politik eksklusi yang belakang hari menjadi politik diskriminasi, intimidasi, dan intoleransi, sepanjang yang datang menghargai kultur dan adat istiadat setempat dan tidak melunjak!

Dalam tradisi, agama juga bisa tumbuh dengan kelenturannya. Islam tradisional adalah konteks lokal yang lolos memilih jalan interpretasi agama secara tepat.

Tradisi Islam Nusantara yang dipuji selama ini sebagai perekat kebangsaan karena memiliki nilai integratif, yaitu dimensi puitik, yang mengoperasionalisasi "seni kemungkinan" bagi "dunia yang serba tidak mungkin". Busana, foklor, peribahasa, kesenian, dan perayaan menjadi jalan puitis mengupayakan agama nan jauh di sana menjadi dekat dan dingin di sini.

Memang, secara teologis, tradisi terlihat sesuatu yang "duniawi" atau "bidah", tetapi karena itu pula ia bisa memperlihatkan sisi manusiawi dari agama. Bahwa, beragama itu menyelamatkan dan bukan menyesatkan. Masalah besar dikecilkan, masalah kecil dilupakan.

Jika saat ini ada kerinduan kembali pada Islam toleran yang menjadi citra diri bangsa Indonesia, tak lain karena kita rindu akan tradisi yang lamat-lamat mulai hilang dalam perilaku harian kita. Padahal, dengan cara itu kita bergembira dan memperjuangkan martabat kehidupan bersama. Bukan malah memilih jalan sunyi, meledakkan diri, dan mati tak berguna.