"Kita harus mencari persamaan di antara berbagai paham yang berbeda. Marilah kita menjadi masyarakat yang moderat dan menerima perbedaan."
Imam Besar Al-Azhar Mesir Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb
Seruan Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb di atas mestinya kita tempatkan tak hanya pada aras moral, juga struktural. Yaitu, suatu kewarganegaraan yang memperlakukan semua warga secara sama dengan menghormati perbedaan khas masing-masing.
Kewarganegaraan bineka yang dimaksud adalah ketika negara memberikan hak yang sama tanpa membedakan kepada seluruh warga negara. Tak hanya berbasis individu, tetapi juga hak-hak kolektif terhadap tradisi dan keyakinan yang berbeda.
Bagi penulis, tantangan ini penting untuk dicari jawabnya mengingat hal ini memberikan implikasi langsung terhadap hak pelayanan publik warga negara, adil atau tak adil. Dan sebaliknya, hal ini juga mengisyaratkan pelayanan publik sejatinya bukan hanya masalah teknis kepemerintahan, melainkan mengharuskan adanya basis ideologi dan cara pandang untuk terbangunnya tata kelola pemerintahan yang adil.
Perlu jawaban
Perubahan global yang ditandai arus deras migrasi memberikan implikasi pada arus perubahan ikutannya, budaya, sosial, ekonomi, dan politik dengan menembus batas-batas negara. Dalam hal ini, Islam terlibat aktif, baik sebagai mayoritas yang terimplikasi arus migrasi itu maupun sebagai pelaku migrasi yang mendorong perubahan bagi mayoritas native.
Kecenderungan fenomena radikalisme dan kekerasan berbasis agama (violence extremism) ikut menyelinap dalam proses perubahan tersebut, baik karena ketidaksiapan mayoritas atas arus deras migran maupun lambannya adaptasi minoritas atau migran atas tradisi mapan dalam mayoritas.
Di lain pihak, di banyak bagian masyarakat justru imigran yang berhasil menjadi mayoritas dominan dan tumbuh menjadi hegemon yang mendiskriminasi native. Sulitnya penghayat kepercayaan untuk mendapatkan perlakuan setara dalam kewarganegaraan di Indonesia menjadi contoh yang mencolok dalam hal ini.
Kecenderungan diskriminasi ini bisa dilacak dari doktrin supremasi dalam dimensi sosial agama. Secara keyakinan tentu pemeluk agama bisa atau bahkan harus merasa paling benar bagi agamanya, tetapi hal itu tak boleh diterapkan dalam kewarganegaraan karena akan berimpikasi langsung pada ketidakadilan. Sementara ketidakadilan adalah musuh Islam itu sendiri.
Radikalisme dan kekerasan berbasis agama pada dasanya berakar pada anggapan supremasi pada aras sosial politik ini.
Timbal balik
Tuntutan akan kesetaraan hak-hak kolektif yang sama harus diarahkan bahkan kepada tradisi Eropa atau Barat pada umumnya yang notabene sebagai negara maju. Sebagian kaum imigran Islam di Barat kini menuntut diakuinya tradisi Islam yang dibawa oleh mereka menjadi bagian dari tradisi lokal Eropa, mengingat mereka sudah turun-temurun di sana dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Eropa historis itu sendiri. Dan, sekarang Eropa sedang menuju perubahan ke arah itu.
Akomodasi terhadap hak-hak kolektif ini di Eropa jelas akan meredakan ketegangan "Perang Budaya" antara Islam dan tradisi lokal di Eropa dan akan meredakan kecenderungan radikalisme. Karena akomodasi itu akan menunjukkan kerendahan hati untuk mengikis perasaan supremasi sekularisme Eropa. Dengan demikian, kesetaraan kewarganegraan yang berbasis pada hak-hak kolektif berlaku untuk semua pihak atau global juga.
Kabar baiknya adalah bahwa dengan tuntutan tersebut, Muslim Eropa juga menggunakan argumentasi hak-hak kolektif ini yang semula menentang ideologi hak asasi manusia (HAM) berbasis keyakinan agamanya. Titik temu seperti inilah sesungguhnya yang harus dicari sebagai basis kesamaan dan menghormati perbedaan yang disebut Ath-Thayeb di atas.
Islam Nusantara
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, di lain pihak, dalam forum bersama Syekh Ath-Thayeb di PBNU itu memberikan tawaran Islam Nusantara sebagai jalan untuk Islam wasatiyah sebagaimana dimaksud oleh Ath-Thayeb.
Islam Nusantara yang berbasis pada cara pandang NU dalam nasionalisme Indonesia memperlihatkan evolusi yang konsisten yang berujung pada pengakuan kesetaraan warga negara dengan berbasis pada hak-hak kolektif tersebut. Ia bahkan dalam sejarah harus berhadapan dengan ideologi supremasi Islam yang hendak memasygulkan keindonesiaan ataupun berhadapan dengan otoritarianisme Orde Baru yang mengklaim Demokrasi Pancasila, tetapi terjerumus pada penyeragaman dan pemaksaan.
Presiden Gus Dur, misalnya, telah mengimplementasikan cara pandang Islam Nusantara ini dengan mengangkat kelompok-kelompok minoritas tertindas seperti Khonghucu juga konflik Aceh dan Papua dengan pemerintah pusat ke dalam kesetaraan hak-hak kolektif ini.
Aceh yang mayoritas Muslim dan Papua yang mayoritas Kristen dan Agama Lokal tidak membuat presiden Gus Dur memperlakukannya secara berbeda dalam penyusunan Undang-Undang Otonomi Khusus yang merupakan cermin dari penghormatan terhadap hak-hak kolektif tersebut.
Komunitas NU dengan Islam Nusantara-nya tampaknya terus memperkuat cara pandang dan implementasi dari legasi Presiden Gus Dur tersebut meskipun masih menyisakan tantangan, misalnya pada status Penghayat Kepercayaan tersebut. Tantangan Islam Nusantara berikutnya adalah mengarusutamakan apa yang sudah dilakukan Gus Dur tersebut dan membujuk kelompok supremasi Islam ke ideologi kesetaraan tersebut.
Ahmad Suaedy Anggota Ombudsman RI
Kompas, 17 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar