KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

.Anggota Brimob berjaga-jaga di tempat kejadian kerusuhan di Rumah Tahanan Cabang Salemba, Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5/2018). Dalam kerusuhan itu, lima polisi gugur dan satu tahanan terorisme tewas.

Insiden berdarah di Rumah Tahanan Negara Cabang Salemba di Markas Komando Brimob merupakan sebuah gejala bahwa pengelolaan institusi pemasyarakatan Indonesia masih penuh dengan persoalan.

Dari kacamata penyebab, seharusnya premis tunggal dalam insiden itu disingkirkan.  Persoalan "gesekan" antara warga binaan dengan warga binaan atau warga binaan dengan petugas sudah berulang kali terjadi. Pemerintah perlu lebih terbuka mengungkap akar permasalahan sehingga solusi yang dirancang menjadi tepat sasaran.

Paradigma sistem peradilan pidana Indonesia menempatkan "orang" sebagai sentris. Padahal, dalam kejahatan tidak hanya terdapat pelaku, tetapi juga barang bukti ataupun aset yang terkait dengan tindak pidana.

Paradigma yang fokus pada "orang" ini bukan berarti tanpa persoalan. Menurut laman data Ditjen Pemasyarakatan, hingga April 2018 penghuni lembaga pemasyarakatan berjumlah 243.466 orang. Sementara kapasitas hunian hanya berjumlah 124.076 orang. Ada selisih (overcrowded) sekitar lebih dari 100 persen.

Belum lagi situasi perbandingan rasio sumber daya manusia dengan jumlah warga binaan. Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, per Januari 2018, secara total hanya terdapat 27.381 anggota staf (termasuk sipir/petugas pemasyarakatan). Angka ini cukup jauh selisihnya dengan jumlah warga binaan, yaitu sekitar 1:10. Kondisi demikian memicu banyak persoalan, terutama soal kualitas hidup, korupsi, potensi konflik, hingga pembibitan benih kejahatan baru.

Tata kelola

Secara praktik, terdapat dualisme pengelolaan tempat penahanan, yaitu di rumah tahanan (rutan) dan di kantor penegak hukum. Padahal, secara hukum, Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengamanatkan penahanan salah satunya hanya berada di rutan.

Benar terdapat pengecualian di mana rutan belum terbentuk, menteri dapat menetapkan tempat tahanan kepolisian, kejaksaan, atau tempat lain menjadi cabang rutan. Ketentuan ini diatur pada Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Perlu diperhatikan, ketentuan ini bersifat kondisional. Terdapat kondisi sebelum terbentuknya rutan di bawah pengelolaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Waktu 35 tahun sejak ketentuan itu diterbitkan seharusnya cukup menjadi alasan penahanan sepenuhnya dilakukan di bawah kendali rutan, bukan penegak hukum.

Idealnya terdapat pemisahan yang tegas antara lokasi penahanan dengan pembinaan narapidana (lembaga pemasyarakatan/lapas). Tujuan dari penahanan dan pembinaan narapidana sangat berbeda. Penahanan ditujukan bagi tahanan yang belum diputus bersalah, tetapi dianggap perlu dikekang sementara waktu demi kepentingan pemeriksaan. Sementara pembinaan narapidana ditujukan bagi orang yang sudah diputus bersalah untuk dibina dan selanjutnya dikembalikan kepada masyarakat.

Dengan tetap mempertahankan lokasi penahanan di kantor penyidik, potensi penyalahgunaan wewenang akan semakin terbuka lebar. Dalam hal ini prinsip  two eyes is better than one eye berlakuMekanisme saling kontrol antara rutan dan penyidik akan tercipta. Dampaknya, praktik penyalahgunaan wewenang, seperti praktik penyiksaan, dapat diminimalkan.

Pengelolaan barang bukti

Secara hukum dan kelembagaan, institusi yang bertanggung jawab mengelola "orang" ini cukup kuat. Secara hukum, pembinaan "orang" diatur secara spesifik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ditambahkan bahwa secara kelembagaan, yang bertanggung jawab adalah setingkat direktur jenderal di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kontras dengan pengurusan barang bukti, yang saat ini masih dikelola setingkat direktur di bawah direktur jenderal. Secara hukum, pengaturannya sangat terbatas pada beberapa pasal di KUHAP dan PP No 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Dari pengaturan yang terbatas itu, secara hukum penyimpanan barang bukti dilakukan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan (Rupbasan). Dengan demikian, terdapat dua pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini, yaitu penegak hukum sebagai penanggung jawab yuridis dan Rupbasan sebagai penanggung jawab administratif.

Namun, ketentuan ini dalam praktik sering kali disimpangi. Selain alasan-alasan lain, sisi kepraktisan menjadi argumentasi utama tidak dipenuhinya ketentuan ini. Barang bukti yang melekat pada berkas tahanan sewaktu-waktu diperlukan untuk dibawa ke muka persidangan demi kepentingan pembuktian. Oleh karena itu, penyimpanan di Rupbasan dianggap tidak mendukung dari sisi kepraktisan.

Akibatnya, keberadaan barang bukti menjadi tersebar. Sebagian terdapat di Rupbasan, sebagian lagi terdapat di kantor penegak hukum, dalam hal ini penyidik atau penuntut umum. Dengan kondisi pencatatan yang tidak optimal, potensi penyalahgunaan barang bukti menjadi sangat besar.

Meski di sisi lain, harus diakui, mendorong penyimpanan barang bukti secara penuh di Rupbasan juga dapat menimbulkan persoalan. Secara kelembagaan, Rupbasan tidak selalu ada di kabupaten/kota sebagaimana seharusnya amanat Pasal 26 PP No 27/1983. Secara kapasitas pun, Rupbasan belum cukup efektif mengelola barang bukti. Artinya, ada persoalan kapasitas dari Rupbasan dalam menjalankan tanggung jawab ini.

Reformasi sistemik

Pemerintah mengemban tanggung jawab untuk memecahkan persoalan ini secara tuntas. Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan adalah sebagai berikut.

Pertama, melakukan filterisasi arus orang ke dalam rutan dan lapas. Hal ini dapat dimulai dari melakukan evaluasi terhadap semua ketentuan yang memuat ancaman pidana di atas lima tahun. Tidak benar secara hukum, tetapi dalam praktik muncul persepsi untuk tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun harus ditahan. Selain itu, pemerintah perlu lebih mengontrol setiap rancangan undang-undang yang memuat ancaman pidana.

Penyaringan arus orang ke dalam rutan dan lapas juga dapat dilakukan dengan membuka mekanisme penyelesaian di luar mekanisme peradilan pidana. Seleksi terhadap perkara pidana tertentu yang tidak selalu berujung pada mekanisme pidana, urgen untuk diciptakan.

Kedua, langkah ini perlu diiringi pembenahan desain sistem peradilan pidana yang dilengkapi dengan mekanisme uji. Penahanan tidak boleh hanya jadi domain penyidik, tetapi harus diobyektifikasi pihak ketiga yang independen, yaitu pengadilan.

Ketiga, pemerintah harus meratifikasi Protokol Optional Konvensi Anti Penyiksaan (OPCAT). Ratifikasi ini akan membuka mekanisme assessment terhadap kondisi penahanan saat ini, termasuk rekomendasi perubahannya secara obyektif. Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No 5/1998. Ditambah lagi, Indonesia sudah menyetujui rekomendasi Universal Periodic Review di bawah Dewan HAM PBB untuk meratifikasi OPCAT.

Keempat, pemerintah perlu melakukan relokasi tempat penahanan. Lokasi penahanan disentralistik pada rutan di bawah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Lokasi rutan dan lapas sebaiknya juga dipisahkan secara tegas karena tujuannya berbeda.

Kelima, pemerintah perlu melakukan perombakan tata kelola terhadap Rupbasan. Tata kelola barang bukti perlu dituangkan dalam produk undang-undang yang spesifik. Rupbasan perlu dikuatkan kapasitasnya dengan menaikkannya menjadi setingkat direktorat jenderal.

Langkah ini tentu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Namun, tanpa mengambil langkah maju untuk mereformasi rutan dan Rupbasan, maka potensi konflik terulang kembali dapat dengan mudah terjadi seperti membalikkan telapak tangan.