TOTO SIHONO

            

Beberapa hari lalu beredar surat pengantar Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Sekretaris Negara yang memuat pandangan pemerintah atas RUU Masyarakat Adat inisiatif DPR. Intinya, meski tidak dinyatakan secara eksplisit, RUU itu dianggap tidak perlu.

Ada tiga alasannya. Pertama, sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat. Kedua, RUU berpeluang mengakui kepercayaan yang belum diatur selama ini. Ketiga, pelaksanaan UU akan membebani keuangan negara.

Namun, beberapa hari kemudian beredar pula surat susulan dari Menteri Dalam Negeri yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri. Surat susulan ini pada intinya merevisi surat sebelumnya, dan menegaskan bahwa pemerintah mendukung dan melaksanakan kebijakan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Jokowi.

Empat persoalan

Alih-alih menolak pembahasan, inilah saatnya pemerintah membayar tunai utang konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28i Ayat (3) UUD 1945, sekaligus membayar janji politik Jokowi-JK hampir empat tahun lalu.

Ada empat alasan untuk itu. Pertama, meski makin banyak peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat, kenyataannya mekanisme pengakuan dan perlindungan justru jadi beragam dan adakalanya tidak berkesesuaian satu sama lain.

Kedua, faktanya, masih ada hak masyarakat adat yang belum jelas pengakuannya. Salah satunya adalah hak spiritualitas.

Hal ini telah mendorong sejumlah pihak untuk mengajukan judicial review atas Pasal 61 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 64 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, yang telah diputus melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

Pada intinya putusan MK menyatakan bahwa kata agama dalam berbagai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Bahkan, meski sudah ada putusan MK No 97/2016 itu, proses pengaturannya pada sistem administrasi kependudukan masih dalam polemik.

Penetapan subyek

Ketiga, model peraturan perundang-undangan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ada saat ini menganut logika hukum yang lebih berorientasi pada pengenalan dan penetapan subyek; dan proses penetapan subyek melalui proses politik di parlemen di tingkat daerah mendahului pengakuan obyek dan jenis hak.

Logika hukum yang demikian tidak selamanya cocok dengan realitas sosio-antropologis hubungan antara subyek, obyek, dan jenis hak yang berkaitan dengan kapasitas subyek untuk masuk ke dalam proses-proses politik di parlemen daerah. Alih-alih mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, yang terjadi adalah "membunuh masyarakat adat" itu sendiri (Zakaria, Kompas, 18/4/2018).

Model pengakuan yang seperti ini tidak hanya akan membebani biaya negara (pusat dan daerah), tetapi lebih-lebih lagi akan membebani masyarakat adat itu sendiri. Faktanya, dari belasan hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga tahun 2017, semua mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat sipil yang mendapatkan dukungan dana dari luar negeri. Sampai kapan proses ini akan dibiarkan terus berlanjut?

Padahal, keragaman subyek, obyek, dan jenis hak masyarakat adat yang beragam dapat saja bermuara pada logika hukum yang berbeda pula. Pengakuan hak-hak yang bersifat publik tentunya memerlukan syarat yang berbeda dengan pengakuan hak-hak yang bersifat perdata.

Misalnya, jika pengakuan hak yang diakui itu mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publik, seperti hak untuk melaksanakan pemerintahan, pengadilan, dan juga kewenangan atas properti yang bersifat publik, maka mekanisme pengakuannya haruslah melalui penetapan kebijakan seperti peraturan daerah. Hal ini diperlukan karena pengakuan itu akan bermuara pada hak untuk menyelenggarakan kewenangan yang bersifat publik dan menggunakan sumber daya negara.

Namun, jika itu menyangkut pengakuan hak masyarakat hukum adat yang lebih bersifat privat dan/atau yang bersifat keperdataan, baik komunal maupun perseorangan, seperti tanah dan hutan adat misalnya, cukup langsung melalui proses pengadministrasian yang dilakukan instansi teknis terkait saja, karena itu susunan masyarakat adat yang bersifat privat itu dapat diperlakukan  sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni, 2017).

Keempat, sebagaimana yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada pula pengaturan lanjutan berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini yang menghambat pelaksanaan pengakuan dan perlindungan itu sendiri.

Sampai hari ini tidak ada desa adat sebagai salah satu wujud pengakuan hak asal-usul/hak tradisional masyarakat adat yang dimungkinkan oleh UU Desa yang baru itu yang telah diregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri.

Salah satu alasan pemerintah menolak membahas RUU Masyarakat Adat adalah karena Kementerian Dalam Negeri sudah memberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015 sebagai tindak lanjut dari keberadaan UU Desa adalah cermin ketidakpahaman pada UU Desa itu sendiri.

Mengurai benang kusut

RUU Masyarakat Adat sebelumnya sudah pernah jadi agenda legislasi nasional pada masa pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sebagaimana diketahui, RUU ini kemudian gagal ditetapkan. Mudah ditebak hal ini dapat terjadi karena para pihak sebenarnya masih ragu apakah keberadaan undang-undang dimaksud memang akan menyelesaikan masalah yang ada atau tidak.

Namun, tidak begitu dengan pasangan Jokowi–JK. Lobi politik saat Pemilihan Presiden 2014 telah membawa wacana perlunya instrumen hukum untuk mengatasi empat problem yang dihadapi dalam memenuhi amanat konstitusi yang sudah lama tertunda itu kembali masuk ke dalam agenda politik nasional. Perlu diakui, di samping penetapan hutan adat yang relatif masih kecil itu, realisasi janji Nawacita terkait kepentingan masyarakat adat ini masih jauh panggang dari api.

Konsensus nasional

Maka, baik atas dasar amanat penderitaan masyarakat adat yang telah berlangsung lebih dari 70 tahun maupun janji Nawacita, inilah momentum yang paling pas untuk menemukan konsensus nasional yang dapat diterima para pihak.

DPR sudah menyediakan rancangannya. Di kamar sebelahnya, DPD, konon juga sudah merampungkan draf yang dianggapnya lebih cocok. Organisasi masyarakat sipil bersama kelompok dampingannya sudah lebih awal siap dengan tawaran-tawarannya. Termasuk perlunya kelembagaan khusus yang mengurus masalah masyarakat adat ini dari pusat hingga daerah dan adanya kompensasi pada masyarakat adat yang telah dirugikan, yang kemudian dikhawatirkan akan membebani keuangan negara.

Betapa pun semua itu barulah berupa tawaran yang perlu dirundingkan lebih lanjut. Maka, daripada lari dari tanggung jawab, saatnya pemerintah tampil sebagai calon pelaksana kebijakan berani maju dengan alternatif solusi yang mungkin untuk dilaksanakan di masa depan.

Kita harus berani melangkah untuk mengurai benang kusut ini. Upaya itu harus dimulai dengan mengundangkan RUU Masyarakat Adat.