Serangan bom bunuh diri di mapolres dan sejumlah gereja di Surabaya yang melibatkan anak-anak dan perempuan membuat kita terhenyak. Kita tak percaya ada orangtua yang tega mengorbankan anak-anaknya untuk ideologi kekerasan yang diyakininya sebagai kebenaran. Anak-anak dididik dengan paham radikal oleh orangtuanya dan di jadikan martir bom bunuh diri.
Sebenarnya, banyak faktor yang dapat menyumbang benih-benih radikalisme terhadap anak atau siswa sekolah. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, ajaran agama di sekolah, sampai sistem pendidikan yang membuat anak didik tak mampu menyaring informasi yang mereka konsumsi.
Penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga antiterorisme menunjukkan kalangan siswa sangat rentan terpapar paham radikal. Pertama, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri.
Hasilnya mencengangkan: 48,9 persen siswa bersedia terlibat aksi kekerasan yang terkait dengan agama dan moral. Survei yang dirilis 2011 ini juga menunjukkan 63,8 persen siswa bersedia terlibat dalam penyegelan rumah ibadat penganut agama lain.
Kedua, survei yang dilakukan Setara Institute terhadap siswa SMA di Jakarta dan Bandung pada 2016 menunjukkan 2,4 persen siswa masuk dalam kategori intoleran aktif atau radikal dan 0,3 persen siswa berpotensi menjadi teroris.
Ketiga, pada 2017, mahasiswa pascasarjana Universitas Paramadina, Marwan Idris, meneliti hubungan artikel radikal terhadap sikap siswa. Hasilnya, siswa yang terpapar artikel radikal Islam meningkatkan radikalisme di kalangan siswa.
Penelitian dalam bentuk eksperimen ini dilakukan terhadap 75 siswa SMA. Setelah diberikan artikel yang berisi tentang konten radikal, terjadi peningkatan intensi atau kehendak siswa untuk melakukan perbuatan radikal.
Siswa SMA mudah dihasut konten berita Islam radikal karena minimnya literasi media. Literasi ini sangat dipengaruhi pengetahuan siswa terhadap materi yang dibaca serta kemampuan melakukan konfirmasi atau verifikasi konten berita.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan mengenai pemahaman terhadap agama yang dibaca secara kontekstual. "Basic knowledge" ini bisa menyaring informasi apa yang harus disikapi dan tidak disikapi, sehingga potensi untuk terkontaminasi radikalisme ini dapat diminalkan.
Indikasi dari radikalisme adalah memahami teks Al Quran sebagai sesuatu yang literal sesuai isi dan redaksinya, monopoli kebenaran atas penafsiran Al Quran, memandang sesat kelompok lain yang tidak sealiran, dan memiliki kecenderungan menolak keberagaman.
Siswa rentan terpapar
Saya pernah berdiskusi mendalam dengan alumni yang pernah terpapar radikalisasi ketika masih menjadi siswa SMA, namun kemudian berhasil melepaskan diri karena sadar ada yang keliru dengan ajaran yang diterima. Dia mengaku direkrut oleh sesama alumni sekolahnya, kakak kelas yang sempat dikenalnya. Dalam prosesnya, alumni tersebut kemudian juga membawa beberapa orang lainnya yang bukan alumni dari sekolah tersebut.
Dia menceritakan, berdasarkan proses radikalisasi di sekolah yang dialaminya, sedikitnya ada empat tahap yang dilalui. Pertama, tahap pendekatan. Tahap ini prosesnya memakan waktu cukup lama, bisa enam bulan. Pendekatan dilakukan secara personal, sesuai kebutuhan target yang didekati.
Target yang memiliki masalah keuangan, akan dibantu keuangan. Kalau target memiliki kesulitan pelajaran eksak maka diberi les privat agar bisa menguasai materi pelajaran. Kalau target memiliki masalah pengasuhan karena orangtuanya tidak harmonis, maka akan diberi perhatian dan kasih sayang.
Kedua, tahap perekrutan. Setelah berbulan-bulan pendekatan, biasanya target akan sangat dekat dan memercayai sang tutor yang dianggap telah menjadi pahlawan baginya karena mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi target. Kepercayaan inilah yang membuat target mudah direkrut, karena selama pendekatan, target dengan tutor rutin bertemu dan kerap melakukan kajian dengan kelompok kecil, biasanya tak lebih dari lima siswa.
Pada tahap inilah, target juga dipengaruhi untuk tak mengikuti upacara bendera, kalaupun mengikuti, diminta tak melakukan hormat bendera karena dianggap haram. Target umumnya tetap upacara, namun tak hormat bendera dan juga tidak ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Rekrutmen ini umumnya menyasar adik-adik kelas di sekolahnya dengan pendekatan melalui kegiatan ekstrakurikuler kerohanian. Biasanya mengisi kajian-kajian jumat. Kajian ini kerap sulit dipantau oleh guru pembina ekskul kerohanian karena umumnya kajiannya terdiri dari beberapa kelompok kecil.
Guru pembina juga kerap kali memasrahkan dan memercayakan kajian rutin Jumat ke pihak lain seperti alumni atau narasumber lain yang dicarikan oleh alumni atau pengurus ekskul kerohanian.
Ketiga, tahap pembaiatan, upacara pengangkatan atau pelantikan yang ditandai dengan pengucapan janji atau sumpah. Pembaiatan biasanya dihadiri banyak orang dan yang dibaiat pun cukup banyak. Tujuan pembaiatan adalah memberi semangat kebersamaan dalam perjuangan sekaligus pengikatan diri karena disertai pengucapan sumpah atau janji.
Keempat, tahap pembinaan. Tahap ini perwujudan janji atau sumpah dalam perjuangan yang kemudian dikenal sebagai "Amaliyah Jihad", dengan program dan aktivitas berupa penggalangan dana, perekrutan anggota baru, Idat (pelatihan), Fai (perampokan), Ightilayat (pembunuhan) dan Istimata (bunuh diri).
Pencegahan dan partisipasi aktif guru
Ada kepala sekolah menceritakan, di sekolahnya ada seorang guru matematika yang tidak bersedia mengajar materi "probabilitas" di kelasnya padahal ada dalam kurikulum. Saat ditanya alasannya, si guru menyatakan probabilitas itu adalah peluang, peluang itu berarti judi. Sementara pemahaman si guru, judi itu haram sehingga mengajarkan probabilitas juga haram. Pandangan sempitnya membuat ia sudah merugikan ratusan siswanya, karena tak mendapatkan materi pelajaran probabilitas.
Saat saya mengikuti pelatihan guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) dan guru agama yang di selenggarakan oleh LSM yang peduli dengan HAM dan keragaman, saya melihat sendiri ada guru yang menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya saat acara pembukaan.
Faktanya, di beberapa sekolah—walau jumlahnya kecil—juga ditemui guru-guru yang menolak upacara dan hormat bendera. Padahal sebagai guru, yang bersangkutan seharusnya mendidik anak bangsa mencintai bangsanya dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan, bukan malah jadi model buruk nasionalisme sempit.
Kabarnya, pelaku bom bunuh diri Dita Oepriyanto yang menyerang tiga gereja di Surabaya dengan melibatkan istri dan keempat anaknya, ketika masih duduk di bangku SMA sudah menolak mengikuti upacara bendera. Namun, pihak sekolah terkesan melakukan "pembiaran", bukan membina, menangani dan meluruskan cara berpikirnya. Akhirnya 30 tahun kemudian, Dita menjadi pelaku teror bom bunuh diri, bahkan menyertakan istri dan anak-anaknya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan pendidikan toleransi kepada seluruh guru. Sekolah perlu lebih aktif melibatkan guru-guru ilmu sosial yang bisa melihat alternatif lain dari kondisi sosial yang berkembang, selain melakukan transfer pentingnya menghargai perbedaan dan keragaman.
Para guru juga perlu dibangun kepekaannya ketika menjumpai hal-hal yang diindikasi merupakan benih intoleransi di lingkungan sekolah. Misalnya, ketika mengetahui ada siswa yang menyebut kafir, thogut, jihad, mati syahid, dan sebagainya, seharusnya guru tidak membiarkan, namun si siswa perlu didekati, diajak dialog dan dibina dengan pendekatan kelembutan dan kasih sayang.
Ada seorang kepala sekolah di Jakarta yang menceritakan pengalamannya saat menjumpai seorang siswa yang mengenakan kaos bertuliskan Arab gundul yang jika diartikan adalah ajakan jihad. Si kepala sekolah kemudian mengajak si siswa tersebut mengobrol santai, dengan lemah lembut kepala sekolah menanyakan nama dan kelas si anak, hobinya, tempat tinggalnya, orangtuanya, aktivitasnya dan di mana beli kaos seperti yang dikenakannya.
Tiga hari kemudian, kepala sekolah itu mengundang orangtuanya dan menceritakan perjumpaan dengan sang anak, sampai perihal kaos ajakan jihad yang dikenakan sang anak. Orangtuanya kaget dan tak mengetahui perihal kaos tersebut.
Kemudian, si orangtua bersedia bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mendalami aktivitas kajian agama anaknya di luar sekolah serta membaca berbagai catatan kajian agamanya. Beberapa minggu kemudian, kedua orangtua siswa itu datang ke sekolah dan mengucapkan terima kasih. Ternyata dari penelusuran yang mereka lakukan, anaknya dipengaruhi oleh ajaran radikalisme.
Kasus-kasus tersebut membuktikan sekolah-sekolah kita rentan terpapar radikalisasi. Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama sudah seharusnya menyusun program untuk mencegah dan membentengi sekolah dari paham radikal. Sekolah harus menjadi tempat yang strategis untuk memperkuat nasionalisme, nilai-nilai kebangsaan dan menyemai keragaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar