Tragedi berdarah dalam kasus napi terorisme di Mako Brimob serta "bom bunuh diri" di Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari lalu, dengan motif apapun, adalah perbuatan keji yang harus kita kutuk bersama.
Bangsa ini kembali berduka dan kita semua ikut bela sungkawa yang dalam, seraya berdoa semoga keluarga yang ditinggalkan kuat serta tabah menghadapi ujian berat ini dan arwah para prajurit Polri yang gugur dalam tugas serta korban tak berdosa lain dapat tempat disisi-Nya.
Presiden Jokowi bersama sejumlah pejabat tinggi, elite negeri ini serta tokoh masyarakat dari berbagi penjuru Tanah Air, juga ramai-ramai mengutuknya, sambil mengajak segenap anak bangsa untuk bersatu padu memerangi terorisme. Lebih dari itu, Presiden juga siap menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) manakala pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme oleh DPR RI tak selesai pada Juni mendatang.
Sudah barang tentu menjadi kewajiban kita semua untuk bersatu padu di bawah komando pemerintah untuk menumpas terorisme dan juga radikalisme sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, bisa saja pemerintah memprakarsai terbentuknya gerakan kekuatan rakyat terorganisasi, seperti yang pernah ditempuh TNI (AD) dalam memerangi DI/TII dan menumpas G30S/PKI di masa lalu.
Tetapi dari sisi waktu, cara itu sangat tak tepat untuk dilaksanakan saat ini. Bagaimanapun kita sudah memasuki tahun politik untuk persiapan Pemilu 2019, jangan sampai niat mulia ini justru menjadi bumerang yang bisa mendiskreditkan pemerintah.
Maka satu-satunya pilihan yang bisa segera dikerjakan adalah dengan mengoptimalkan peran alat kelengkapan negara yang membidangi urusan keamanan yaitu TNI, Polri, BIN dan juga BNPT serta kementerian dan lembaga pemerintah terkait lain. Dengan dukungan masyarakat luas maka upaya pencegahan maupun penanggulangan terorisme dan radikalisme niscaya akan efektif.
Terkait keperluan tersebut, maka satu hal yang terlebih dahulu harus kita pahami bersama adalah bagaimana realitas negeri ini dalam mengatur sistem keamanan nasional (siskamnas). Sudahkah sistem keamanan yang ada mampu menjamin keamanan bagi segenap anak bangsa dan penduduk lain, termasuk menghadapi ancaman terorisme?
Di sisi lain, sebagai negara demokrasi maka kita harus menerapkan norma baku yang berlaku secara universal di mana keamanan ditempatkan sebagai output dari sistem sipil (beradab) dan karenanya dalam menghadapi masalah keamanan haruslah diselesaikan oleh aparatur sipil dan dengan cara-cara sipil.
Namun demikian, ketika cara-cara sipil dan oleh orang sipil (termasuk polisi) gagal atau dipastikan akan gagal dan apalagi dipastikan bakal jatuh korban, maka saat itu pula harus beralih menjadi porsi militer untuk menanganinya dan dengan menggunakan cara-cara militer (supremasi militer).
Kerancuan siskamnas
Membicarakan sistem keamanan yang tergelar untuk kekinian, tidak bisa lepas dari proses panjang bagaimana Orde Baru selama 34 tahun mengelola keamanan nasional (kamnas). Melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 dan UU No 20 Tahun 1982, ABRI sebagai modal dasar pembangunan nasional mempunyai dua fungsi yaitu bidang pertahanan keamanan (hankam) dan sosial politik.
Fungsi hankam sebagaimana dimaksudkan di atas adalah peran tunggal bidang pertahanan keamanan, sama sekali bukan menggabungkan dua peran yang masing-masing mandiri yaitu bidang pertahanan dan peran bidang keamanan, menjadi satu fungsi yaitu pertahanan dan keamanan.
Padanan istilah hankam pada era Orde Baru pada sejumlah negara adalah National Security atau Kamnas. Hal ini dapat dibuktikan di mana Panglima ABRI adalah penanggung jawab tunggal keamanan nasional yang di dalamnya termasuk urusan bidang "keamanan dan ketertiban masyarakat" (kamtibnas) yang menjadi salah satu tugas Polri, sementara kedudukan Polri sendiri secara struktural berada di bawah Mabes ABRI.
Sayang sekali di era reformasi, para penyusun sejumlah perundang-undangan yang mengatur keamanan begitu saja memisah fungsi hankam menjadi dua, bidang pertahanan menjadi tugas TNI dan keamanan menjadi tugas Polri. Polri kemudian diberi tugas menangani keamanan dalam negeri (kamdagri) sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 dan 5 UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Lebih jauh peran Polri yang di awal era reformasi sudah dirancang sebagai bagian dari law and justice system berbelok seolah hendak mengganti peran TNI-AD di era Orde Baru dengan sejumlah pembatasan, khususnya hal-hal yang tak sesuai cita rasa demokrasi.
Maka pertanyaan kedua yang harus dijawab: dari kewenangan, kekuatan dan kemampuan serta gelar mana yang bisa menjamin Polri akan mampu menangani persoalan kamdagri? Sementara, Pasal 13 hingga 19 tak mengatur kewenangan Polri untuk melakukan perlawanan terhadap kombatan dan operasi intelijen untuk melakukan penggalangan, apalagi kontraintelijen.
Sementara, spektrum persoalan kamdagri—mulai dari pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, hingga pemberontak bersenjata dan juga hakikat ancaman terorisme serta radikalisme— tak semuanya bisa ditangani dengan cara-cara dan tindakan kepolisian.
Di sisi lain, dalam pengaturan keamanan yang mengancam kemanusiaan dan kecepatan bertindak, UU yang ada belum mengatur hubungan antara Polri, TNI, BIN dan sejumlah kementerian serta lembaga lainya, bahkan dengan Kemenko Polhukam sendiri belum diatur secara terintegrasi dalam satu kesatuan sistem keamanan, agar negara segera hadir untuk memberi jaminan keamanan, khususnya terhadap persoalan yang tak mungkin bisa ditangani oleh sipil termasuk Polri dengan cara-cara sipil, dan apalagi kalau dipastikan bakal timbul korban jiwa.
Lantas dari sistem keamanan yang mana, negara akan mampu memberi jaminan keamanan terhadap warga bangsa dan penduduknya?
Begitu terjadi masalah kemanusiaan, apalagi jika dibarengi jatuhnya korban jiwa seperti tragedi bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, tak ada pejabat lain yang harus bertanggung jawab kecuali Kapolri. Sementara, Menko Polhukam sendiri secara politik juga harus menanggung beban tanggung jawab tersebut.
Tata ulang siskamnas
Mengambil hikmah dari tragedi berdarah di atas, maka disamping persoalan RUU Tindak Pidana Terorisme, kini saat yang tepat bagi negara dengan segala kewenangan yang sah yang ada pada dirinya, untuk segera menata ulang sistem keamanan nasional yang mampu merangkai dan mengintegrasikan seluruh alat kelengkapan negara yang menangani keamanan dalam sebuah sistem yang valid, yang dapat diuji secara obyektif rasional akan mampu mewujudkan jaminan keamanan bagi segenap anak bangsa dan penduduk lainnya, tanpa harus melanggar norma-norma demokrasi.
Adapun inti penataan sistem keamanan yang dimaksudkan di atas adalah perlunya pengaturan ulang kewenangan komando dan tanggung jawab serta hubungan yang terintegrasi segenap kementerian dan lembaga yang berkompetensi di bidang keamanan yang ada dalam sebuah totalitas sistem keamanan.
Bangsa ini perlu segera membentuk Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas) yang diberi kewenangan untuk menentukan siapa yang akan menangani persoalan keamanan, khususnya yang berdampak pada masalah kemanusiaan serta perlunya kecepatan bertindak, apakah menjadi porsi sipil termasuk Polri ataukah diserahkan kepada TNI untuk mengatasinya.
Khusus dalam persoalan terorisme, Wankamnas juga berwenang untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang bersifat persuasif, edukatif dan preventif sekaligus untuk mengakomodasi keberadaan dan peran BNPT.
Dan hal yang tak kalah penting lainnya adalah bagaimana pemerintah mengembangkan kebinekaan melalui siar agama apapun yang mendasarkan pada pemahaman ayat secara kontekstual dan sesuai dengan "asbababun nuzul" atau riwayat yang membarengi turunnya ayat, bukan pemahaman secara tekstual semata yang terkadang membuat agama justru menjadi sumber malapetaka kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar