KOMPAS/HANDINING

Trias Kuncahyono, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas

Pemindahan Kedutaan Besar Amerika di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, mulai 14 Mei 2018 lalu oleh para pendukung Presiden AS Donald Trump dan Israel, disebut sebagai peristiwa bersejarah yang sudah ditunggu sejak 70 tahun silam. Dan, diyakini oleh Trump sebagai langkah awal untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.

Bahkan Hagit Yaso, perempuan penyanyi berdarah Yahudi Ethiopia yang tampil dalam acara tersebut menyanyikan lagu Od Yavo Shalom Aleinu, damai beserta kita. Hagit Yaso seolah yakin bahwa pemindahan kedutaan itu akan mendatangkan perdamaian.

Sementara bagi Israel, pemindahan Kedutaan AS itu memang menjadi perayaan sesungguhnya dari Yom Yerushalayim atau Hari Yerusalem. Yakni, hari kembalinya orang-orang Yahudi ke situs suci di Kota Suci pada tahun 1967, yakni setelah perang.

Akan tetapi, bagi orang Palestina, seperti dikatakan Saeb Erakat, seorang pejabat senior Palestina, pemindahan itu sebagai "tindakan bermusuhan begitu keji melawan hukum internasional". Erakat juga menyebut pemerintah Trump mendorong "anarki internasional" dan "meneguhkan pendudukan Israel dan kolonialisme".

AFP PHOTO / AHMAD GHARABLI

Pemandangan Kubah Batu (Dome of the Rock) di kompleks Masjid al-Aqsa, Kota Tua Jerusalem, 27 Maret 2018.

Keputusan pemindahan itu adalah sebuah tindakan unilateral dan tidak sah dalam perspektif hukum internasional. Trump juga seperti memberikan hadiah bagi Israel tanpa ada konsesi ataupun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Israel.

Keputusan Trump tentu menerjang netralitas tradisional yang selama ini diperankan AS berkait dengan masalah status Jerusalem. Para presiden AS pendahulu Trump—Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama—menahan diri untuk tidak melakukan tindakan seperti yang sekarang dilakukan Trump, meskipun sudah diperjanjikan dalam kampanye.

Keputusan Trump tentu menerjang netralitas tradisional yang selama ini diperankan AS.

Mereka akhirnya mempertimbangkan bahwa langkah seperti itu dapat menggerogoti kebijakan AS di Timur Tengah, juga merusak peran AS dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Dan, tidak tertutup kemungkinan dapat memicu kekerasan bukan hanya di Timur Tengah tetapi juga terhadap AS.

AFP PHOTO / NICHOLAS KAMM

Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat kabinet di Gedung Putih, Washington DC, AS, 9 April 2018.

Masuk akal karenanya, kalau sebagian besar negara sekutu AS di Eropa termasuk Inggris dan Perancis serta negara Timur Tengah—Mesir dan Arab Saudi–tidak menghadiri peresmian kedutaan baru itu. Mereka tetap mendukung resolusi PBB terkait status hukum Jerusalem yang belum final. Yang hadir hanya 14 anggota Kongres—semua dari partai Republik dan hanya satu orang Yahudi.

Lebih lanjut, Trump justru mengatakan, "pemerintahnya tidak mengambil sikap terhadap isu status final apa pun termasuk perbatasan khusus dari kedaulatan Israel di Jerusalem."

Lalu, apa artinya pemindahan kedutaan dan pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel? Sikap Trump masih tidak jelas meski mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada hari Rabu 6 Desember 2017 dan telah memindahkan kedutaannya (Shai Feldman and Khalil Shikaki: 2017).

Trump tidak mengacu pada "Jerusalem bersatu" seperti yang selalu dikatakan atau diklaim oleh para pemimpin Israel, yang ingin tetap menguasai wilayah sekitar Jerusalem dimana tinggal sekitar 300.000 orang Palestina. Trump juga menegaskan tetap mempertahankan "status quo" situs-situs kota suci, termasuk tempat-tempat suci umat Muslim.

KOMPAS/ TOTOK WIJAYANTO

Suasana diskusi terbatas yang membahas tentang "Masa Depan Palestina Paska Keputusan Donal Trump"di kantor Pusat ICMI, Jakarta, Rabu (20/12/2017). Diskusi menghadirkan pembicara Ketua umum ICMI Jimly Asshiddiqie, Wartawan Senior Kompas Trias Kuncahyono, Intelektual Muda NU Zuhairi Misrawi, dan Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri ICMI Muhammad Najib.

Menarik untuk dicatat, mengapa dua negara kunci di Timur Tengah—Arab Saudi dan Mesir—tidak banyak bereaksi terhadap pemindahan kedutaan itu. Arab Saudi yang harus menghadapi agresivitas dan langkah-langkah Iran di Suriah dan Yaman, harus mendukung kebijakan pemerintahan Trump untuk mendapat dukungan Washington dalam menghadapi Teheran.

Sementara pemerintah Jenderal Abdel-Fatah el-Sissi di Mesir yang menghadapi masalah politik dan ekonomi membutuhkan dukungan luar. Dalam kudeta tahun 2013, Sissi mendapat dukungan keuangan dari negara-negara Teluk dan dukungan politik Washington. Karena itu, Kairo tidak dapat menentang langkah yang dilakukan Washington dan Riyadh.

Itulah sebabnya, Palestina merasa ditinggalkan Arab.

Itulah sebabnya, Palestina merasa ditinggalkan Arab. Padahal, bagi bangsa Palestina, keputusan Trump itu dirasa menyakitkan. Apalagi pemindahan kedutaan dilakukan sehari menjelang peringatan 70 tahun Nakba, malapetaka, pembersihan etnis Palestina dan penghancuran total masyarakat Palestina pada tahun 1948.

Nakba terjadi sehari setelah Israel memproklamasikan diri sebagai negara, 14 Mei 1948. Antara tahun 1947 dan 1949, paling tidak 750.000 orang Palestina dari 1,9 juta penduduk Palestina dipaksa mengungsi, keluar dari Palestina. Pasukan Zionis menguasai 78 persen wilayah Palestina, menghancurkan sekitar 530 desa dan kota, membunuh sekitar 15.000 orang Palestina, dan melakukan "pembersihan etnis" (Naom Chomsky: 2002).

Karena itu, sungguh masuk akal kalau pecah demonstrasi besar-besar, yang menurut berita diikuti 400.000 orang, di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Israel pada hari peringatan Nakba.

Demonstrasi itu sebagai bentuk perlawanan terhadap Israel dan keputusan Trump. Walau kemudian, demonstrasi itu berubah menjadi bencana, tragedi bangsa Palestina karena tindakan keras dan kejam tentara Israel. Akibatnya, setidaknya 61 orang tewas dan 2.400 orang Palestina terluka.

AFP PHOTO/ABBAS MOMANI

Pengunjuk rasa berlari menghindari tabung gas air mata yang ditembakkan pasukan Israel dalam bentrokan di Ramallah, Tepi Barat, Minggu (10/12/2017). Demonstrasi mengecam keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Palestina juga berlangsung di sejumlah kota di dunia.

Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan: Apakah yang dinyanyikan Hagit Yaso, Od Yavo Shalom Aleinu "damai beserta kita" akan menjadi kenyataan atau sebaliknya? Sebab, pemindahan kedutaan itu laksana palu godam yang menghajar jembatan perdamaian, dan akan menghentikan proses perundingan perdamaian.

Pemindahan kedutaan itu laksana palu godam yang menghajar jembatan perdamaian

Masa Kegelapan
Sejarah banyak bercerita dan membuktikan, tidak mudah menyelesaikan masalah Jerusalem. Baru pada bulan Juli 2000 di Camp David, AS, masalah Jerusalem dibicarakan secara langsung dalam perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina (sesuai mandat Kesepakatan Oslo). Ketika itu, AS tampil sebagai mediator.

Adalah PM Israel Ehud Barak, lewat Presiden AS Bill Clinton, yang mengajukan proposal penyelesaian masalah Jerusalem kepada Pemimpin Palestina Yaser Arafat. Dalam proposal itu, Israel akan menyerahkan kepada Palestina sebagian besar daerah pinggiran Jerusalem Timur, kedaulatan atas wilayah Muslim dan Kristen di Kota Lama, dan "penjagaan" atas situs-situs suci Yudaisme, Bukit Kuil (Dore Gold: 2007).

Kota Jerusalem

Akan tetapi, KTT Camp David itu gagal. Tawaran Barak ditolak Arafat. Clinton kepada Barak lewat telepon mengatakan, "…untuk pertama kalinya presiden Amerika mengajukan usulan berdasarkan Resolusi 242 dan 338 Dewan Keamanan PBB. Hampir sepenuhnya memenuhi tuntutan Palestina, dan Arafat bahkan menolak untuk menjadikan usulan tersebut sebagai landasan perundingan, (bahkan ia) berjalan ke luar ruangan, dan dengan sengaja beralih ke terorisme." (The Guardian, 23 Mei 2002).

Sejak itu, hanya sekali—hingga kini—persoalan Jerusalem dibahas lagi secara langsung. Yakni pada tahun 2018, dalam pertemuan antara PM Israel Ehud Olmert dan Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. (Lior Lehrs: 2013).

Terlihat bahwa tidak mudah menyelesaikan masalah Jerusalem. Bisa dikatakan, masalah Jerusalem tidak kunjung selesai sejak internasionalisasi Jerusalem setelah Majelis Umum PBB pada tahun 1948 menerbitkan Resolusi 181 yakni tentang Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan for Palestine).

KOMPAS/ TRIAS KUNCAHYONO

Sepanjang Sabtu (17/1/2009) petang kemarin, pesawat-pesawat tempur Israel membombardir kota Rafah. Dalam tempo 10 menit tak kurang dari lima bom dijatuhkan. Aksi pemboman berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Sebuah ledakan keras terjadi di dekat tembok perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza. Tak lama kemudian, 45 ambulans membawa korban keluar dari Jalur Gaza masuk ke Mesir lewat Pintu Gerbang Rafah.

Menurut Resolusi 181, Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum(entitas terpisah). Artinya, tidak menjadi bagian Arab ataupun Israel meski Palestina dibagi dua: bagian Arab dan bagian Israel.

Jerusalem, dengan demikian, ada di bawah rezim internasional khusus dan dikelola oleh Dewan Perwalian atas nama PBB. Tentang status Jerusalem sebagai corpus separatum itu ditegaskan kembali oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 303 (1949) meski tidak pernah putus.

Yang terjadi justru sebaliknya. Pada 30 Juli 1980, Knesset (Parlemen) Israel secara sepihak mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa Jerusalem ibu kota Israel (Haaretz, 15 Mei 2018). Keputusan tersebut ditentang Palestina dan masyarakat internasional. Karena tindakan itu adalah, sebuah pelanggaran hukum internasional.

Akan tetapi, sebagaimana biasanya, Israel tidak peduli dan tetap menyatakan kota terbesar di Bumi Palestina—tetap sebagai ibu kotanya. Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 478 (20 Agustus 1980) mengecam tindakan Israel itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam pertemuan di Fez, Maroko (20 September 1980) juga mengecamnya, dan juga oleh opini dunia (Henry Cattan: 1980).
Keputusan Israel itu telah mengobarkan ketegangan serta mengancam perdamaian dan keamanan.

KOMPAS/ KRIS MADA

Duta Besar Amerika Serikat Joseph Donovan mengumumkan hasil pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (7/12/2017) malam di Tangerang, Banten. Retno memanggil Donovan untuk menerima sikap Indonesia terkait pengumuman AS yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel

Status Jerusalem hingga kini masih menjadi sumber konflik. Jerusalem bahkan menjadi "jantung" konflik Israel dan Palestina. Kedua belah pihak mengakui, Jerusalem sebagai isu utama dan sumber utama legitimasi politik.

Kedua belah pihak mengakui, Jerusalem sebagai isu utama dan sumber utama legitimasi politik.

Tanpa adanya penyelesaian Jerusalem, konflik kedua belah pihak tak akan dapat diselesaikan. Sementara Kedutaan AS saat ini berlokasi di kota yang lingkungannya termasuk wilayah yang diduduki tahun 1967.

Secara demografis dan geografis, Jerusalem memang sudah terbagi. Ada wilayah yang dihuni orang Yahudi; ada wilayah yang dihuni orang Palestina. Jerusalem juga sulit dibagi karena ketiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—memiliki tempat-tempat suci di kota itu.

Terlebih lagi, tempat-tempat penting dan suci ketiga agama itu letaknya berdekatan satu sama lain. Akan tetapi, peta demografi tersebut tidak mudah diubah menjadi peta politik (Alan Dershowitz: 2005).

KOMPAS/ NINA SUSILO

Presiden Joko Widodo menyampaikan kecaman keras atas pengakuan sepihak pemerintah Amerika Serikat atas Jerusalem sebagai ibukota Israel. Presiden menyampaikan keterangan ini di Ruang Teratai, Istana Bogor, Bogor, Kamis (7/12/2017).

Dengan kata lain, tidak akan pernah ada resolusi mengenai konflik Israel-Palestina atau Israel-Arab yang dapat berjalan dan memberikan hasil tanpa solusi konsensual dan masuk akal mengenai masalah Jerusalem (Amnon Ramon, ed: 2010).

Hal itu berarti, berakhir tidaknya konflik di kawasan itu akan sangat bergantung pada penyelesaian masalah Jerusalem. Ini menegaskan betapa sentralnya isu Jerusalem dalam penyelesaian konflik Arab-Israel atau Palestina-Israel.

Berakhir tidaknya konflik di kawasan itu akan sangat bergantung pada penyelesaian masalah Jerusalem.

Karena itu, langkah AS memindahkan kantor kedutaannya, ke depan akan semakin mempersulit proses perdamaian. Bukannya membawa fajar baru bagi proses perdamaian, keputusan Trump justru sebaliknya membawa proses perdamaian ke waktu senja.

Buku karya wartawan Kompas, Trias Kuncahyono tentang Jerusalem.

Catatan: