TOTO S

                           

Berulang kali saya memandangi dua foto keluarga itu dengan rasa tak percaya. Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Akan tetapi, media sosial membuat foto mereka jadi viral.

Keduanya foto keluarga biasa-biasa saja. Yang satu berpose di ruang tamu, seperti laiknya keluarga Muslim di Indonesia. Satunya lagi berpose di depan patung Yesus di sebuah gereja. Mungkin setelah pembaptisan bayi yang masih digendong sang ibu.

Saya yakin kedua keluarga itu tidak saling kenal. Masing-masing menjalani hidup sehari-hari. Namun, tangan nasib mempertemukan mereka dalam peristiwa naas pada Minggu pagi lalu, 13 Mei 2018, di Surabaya.

Kita sudah tahu jalan ceritanya. Pagi itu sang ayah, Dita Oepriarto, melepas istrinya, Puji Kuswati, bersama kedua putri mereka, Fadila Sari dan Pamela Rizkita, di depan GKI (Gereja Kristen Indonesia) Jalan Diponegoro. Lalu Dita melaju dan menabrakkan mobilnya yang berisi bom ke GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya), sementara istri dan kedua putrinya meledakkan diri mereka di kompleks GKI Diponegoro.

Pada saat hampir bersamaan, kedua putranya, Yusuf Fadil dan Firman Halim, dengan berboncengan motor membawa bom melaju ke arah Gereja Santa Maria Perawan Tak Bercela. Mereka berusaha menerobos gereja, tapi dihadang Aloysius Bayu Rendra Wardhana yang—pada hari naas itu—menjadi sukarelawan penjaga keamanan.

Motor meledak, tetapi tindakan berani Bayu menyelamatkan banyak orang yang sedang beribadah. Ia sendiri menjadi korban, meninggalkan istri dan kedua anaknya, termasuk bayi yang baru dibaptis. Pada Minggu pagi itu, tangan nasib mempertemukan keluarga Dita dan Bayu.

Teror selalu menakutkan. Karena itu, banyak orang memprotes tagar #KamiTidakTakut yang biasanya viral di media sosial setiap kali aksi teror melanda negeri ini. Tagar tersebut dianggap semacam ilusi untuk menyelubungi rasa takut yang ditebarkan oleh aksi teror.

Namun, menurut saya, yang jauh lebih mengkhawatirkan dan menebarkan rasa takut adalah fakta ini: semua aksi gelombang teror di Surabaya dilakukan oleh keluarga! Tidak hanya yang terjadi di tiga gereja di atas, juga di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, dan di Mapolrestasbes Surabaya. Ketiga aksi itu dilakukan oleh tiga keluarga berbeda!

Tentu saja fakta mengejutkan ini mencuatkan pertanyaan krusial: apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga di Indonesia? Mengapa ketiga keluarga itu mengambil jalan nekat, menyediakan diri mereka—termasuk anak-anak mereka—sebagai alat bom bunuh diri? Bukankah selama ini lingkungan keluarga dianggap sebagai "goa garba" paling hakiki di mana anak-anak tumbuh kembang dalam asuhan kasih sayang?

Ada banyak upaya untuk menjelaskan fenomena itu, walau hasilnya tidak memuaskan dan malah menimbulkan rangkaian pertanyaan lain. Seorang teman, misalnya, lewat laman Facebook mengingatkan bahwa "keluarga teroris" bukanlah hal baru. Berbagai riset yang dilakukan, seperti oleh Della Porta (1995) tentang kelompok teroris Brigade Merah menunjukkan, 298 dari 1.214 anggota kelompok itu memiliki hubungan keluarga, baik sebagai orangtua, suami, istri, anak, maupun saudara. Begitu juga para pelaku bom Bali di Indonesia (2002) adalah kakak beradik: Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron.

Dalam kasus di Surabaya, penjelasan yang sempat beredar bahwa keluarga Dita Priyanto pernah pergi ke Suriah untuk mendukung ISIS/NIIS. Namun, penjelasan itu kemudian dibantah pihak Polri. Ini mengindikasikan fenomena yang jauh lebih mengkhawatirkan: gejala "radikalisasi" yang mengarah pada tindakan teror justru berlangsung di dalam keluarga itu sendiri! Jika indikasi ini benar, jelas kita menghadapi tantangan mahaberat untuk melawan terorisme.

Tiga tantangan krusial

Indikasi yang tecermin dari profil keluarga Dita menunjukkan, perang melawan terorisme bukan sekadar bagaimana menyelesaikan RUU Anti-Terorisme yang mangkrak selama dua tahun karena perdebatan tak kunjung selesai di DPR. Ada banyak dimensi lain yang perlu mendapat perhatian kita.

Setidaknya ada tiga dimensi tantangan yang patut diperhatikan. Pertama, dimensi legal-formal. Sangat jelas kita membutuhkan UU Anti-Terorisme itu, yang akan memberi pihak keamanan payung hukum untuk bertindak lebih efektif. Pada saat bersamaan, kita juga perlu mengawasi proses penyelesaian dan penerapannya agar UU tersebut tidak menjadi alat penguasa ala Internal Security Acts (ISA).

Namun, soalnya lebih dari itu. Indikasi profil keluarga Dita mengajarkan kepada kita: akar persoalan terorisme justru terletak pada proses radikalisasi yang, boleh jadi, berlangsung dalam hubungan keluarga. Sayang sekali dalam soal ini, sejauh saya tahu, belum ada kajian serius mengenai profil keluarga Indonesia di masa kini, terutama kajian yang melihat pola-pola perubahan relasi sosio-psikologis di dalam keluarga.

Dimensi kedua itu merupakan tantangan bagi lembaga-lembaga kajian dan universitas. Kini kita sangat butuh kajian-kajian tentang profil keluarga di Indonesia agar mampu memahami proses-proses pewarisan nilai, pandangan, maupun sikap hidup yang pada akhirnya membentuk anak- anak di masa depan. Apalagi, kita tahu, proses-proses itu makin rumit sekarang, terutama dengan makin meluasnya pemakaian media sosial serta penyebaran kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian.

Akhirnya, dimensi ketiga, menyodorkan tantangan pada lembaga-lembaga masyarakat sipil, baik itu lembaga keumatan maupun forum-forum pertemuan antar-warga atau bahkan antar-keluarga. Mereka ditantang untuk merumuskan ulang pesan-pesan keagamaan yang lebih toleran, saling menghargai, dan mempraktikkannya dalam hubungan sosial sehari-hari. Proses-proses sosial itu, menurut saya, akan jauh lebih menentukan dalam perang melawan terorisme ketimbang ada tidaknya UU Anti-Terorisme.

Terorisme adalah musuh kita bersama. Dan, yang dipertaruhkan kini adalah keluarga kita!