KOMPAS/ALIF ICHWAN

Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/18). mengesahkan RUU atas Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) dan pimpinan DPR.

Teror bom kembali menyulut duka bangsa. Teror bom dengan modus baru menyertakan perempuan dan anak makin menyesakkan dada.

Sampai kapan bangsa Indonesia harus berkutat dengan masalah ini?

Spirit Pancasila

Guna mengakhiri aksi teror itu, masyarakat perlu membangun narasi alternatif. Artinya, saat orang lain menebar ancaman, maka masyarakat perlu menguatkan simpul kedamaian dan persatuan. Masyarakat Indonesia perlu menoleh spirit kebangsaan Pancasila dalam menguatkan spirit kebangsaan dan kenegaraan.

Pancasila mengamanatkan dalam sila kedua: "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Amanat itu perlu dimaknai dalam upaya membangun kemanusiaan berbasis keadilan dan keadaban. Masyarakat perlu mendorong narasi-narasi tandingan untuk membentuk arus teror yang kian menggurita.

Narasi tandingan alternatif itu perlu menjadi agenda keumatan. Hal ini dikarenakan pelaku tindak kekerasan telah berjejaring dan merasa punya kesamaan nasib. Kesamaan nasib yang kemudian ditumpahkan dengan membangun narasi kebencian itu perlu dilawan dengan membangun kebajikan bagi semua.

Kebencian perlu dilawan dengan kebajikan yang dilakukan dengan tulus. Kebajikan yang diwartakan dengan penuh ketulusan dan harapan untuk memuliakan kemanusiaan akan bertemu dalam arus sadar. Artinya, ketulusan dan kebaikan yang dilakukan oleh banyak orang akan menggerus kebencian yang digelorakan oleh segelintir orang.

Semakin menguatnya nalar kebencian dan dendam itu karena mayoritas yang baik diam (silent majority). Saat umat manusia yang waras diam dan tak melakukan gerakan untuk menandingi narasi kekerasan, maka yang ada di tengah masyarakat adalah bara amarah dan dendam. Bara itulah yang membakar harmoni sosial dan muncullah disintegrasi bangsa.

Tentu kondisi itu tidak kita inginkan. Umat mayoritas yang waras perlu berjejaring dan menyuarakan secara lantang narasi kebaikan. Narasi itu perlu terus diviralkan agar menjadi laku masyarakat. Masyarakat perlu dipengaruhi alam bawah sadarnya bahwa kebaikan akan mengalahkan keburukan. Kebaikan dan kebenaran akan memenangi pertarungan. Sebagaimana janji Allah dalam  Al Quran surat Al-Isra (17: 81).

Melalui kerja kemanusiaan bersama itu kita akan keluar dari perangkap teror. Teror yang terjadi di Surabaya, dan banyak tempat lain di Nusantara, akan jadi perangkap dan mengurung kesadaran akal waras jika tak ada umat yang membangun narasi alternatif. Apalagi kalau masyarakat sekadar melakukan serangkaian seremonial mengutuk kekerasan tanpa kerja keadaban. Aksi mengutuk dengan beragam acara perlu didukung oleh kegiatan lain yang dapat mengangkat kembali martabat kemanusiaan manusia. Tanpa itu, aksi seremonial hanya akan mudah hilang dan tak berbekas.

Selain sila kedua, Pancasila juga memuat rumusan hebat yang termaktub dalam sila ketiga: "Persatuan Indonesia". Saat seseorang telah memiliki ketulusan pelayanan kepada kemanusiaan, maka persatuan adalah hal yang mudah. Persatuan hanya dapat dibangun atas dasar saling percaya. Kepercayaan yang dilandasi tekad kebersamaan akan menjadi fondasi utama persatuan.

Persatuan Indonesia juga akan terbangun atas niat dan tekad bahwa bangsa ini terbangun dari serpihan rasa kepemilikan bersama. Bangsa ini dibangun dari tetesan keringat dan kucuran darah warga bangsa tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Semua berperan penting dalam mewujudkan dan mengisi kemerdekaan.

Persatuan Indonesia pun menjadi ikrar bersama bahwa kebangsaan dan kenegaraan perlu dibangun atas visi yang sama, yaitu membangun Indonesia sejahtera lahir dan batin. Jika ada kelompok yang mencoba mengusik itu, masyarakat perlu sadar dan bangkit untuk melakukan perlawanan. Perlawanan itu merupakan wujud kecintaan terhadap cinta Tanah Air dan masa depan bangsa, bukan atas dasar kebencian.

Fikih antiterorisme

Selain itu, kelompok agamawan perlu juga membangun narasi alternatif dengan membangun fikih antiterorisme. Beberapa waktu lalu, Muhammadiyah telah berusaha merumuskan fikih itu dengan serangkaian kegiatan.

Fikih antiterorisme perlu secara cepat diwartakan kepada masyarakat. Pewartaan itu perlu didukung oleh aksi-aksi nyata menutup celah munculnya radikalisme dan terorisme. Salah satunya dengan penyantunan dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat.

Narasi alternatif dalam pemikiran perlu didukung aksi nyata dengan pendampingan ekonomi bagi mereka yang "terduga" terpapar radikalisme dan terorisme. Penguatan ekonomi umat menjadi narasi alternatif dalam upaya mencegah munculnya bibit terorisme. Aksi nyata LazisMu yang melakukan pendampingan terhadap bekas narapidana terorisme dan mereka yang rentan dapat diadopsi oleh lembaga lain.

Saat mereka telah kuat secara ekonomi, maka akses sosial politik akan lebih mudah terbangun. Terorisme merupakan bentuk frustrasi seseorang dalam mewujudkan kehidupan. Pilihan mati dan takut hidup—meminjam istilah Ahmad Syafii Maarif—itu karena sering kali masyarakat belum memberi ruang lebar bagi mereka untuk berkarya. Saat mereka mampu berkarya di segala bidang, maka hidup menjadi pilihan bijak untuk generasi berani hidup.

Upaya di atas perlu segera diinisiasi di semua lini. Ketika teror telah kian menggurita merusak tatanan kebangsaan, maka selayaknya masyarakat bersatu padu melakukan langkah-langkah kecil yang dapat menjadi gerakan besar untuk membangun narasi alternatif melumpuhkan terorisme. Masyarakat harus tegak berdiri dan terus menyuarakan: kami tidak takut!