KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Siswa dan guru dari berbagai sekolah mengikuti karnaval budaya Dugderan di kawasan Simpang Lima, Senin (14/5/2018). Karnaval tersebut mengangkat tema kebersamaan dan kerukunan di tengah keberagaman masyarakat Kota Semarang.

Sebagai orang yang sehari-hari terlibat dalam sektor ekonomi kreatif yang menggeliat maju dan dipenuhi anak-anak muda berbakat, saya selalu melihat masa depan Indonesia dengan penuh optimisme. Di sektor yang saya geluti, misalnya, para pengamat meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu raksasa e-dagang dunia setelah China (Goldman Sachs, 2018). Dalam gambar yang lebih besar, para pengamat juga memperkirakan, perekonomian Indonesia akan terus tumbuh sehingga jadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030 (McKinsey, 2012) atau bahkan keempat di dunia pada 2050 (PwC, 2017).

Rangkaian teror bom di Surabaya, 13-14 Mei 2018, yang diikuti beberapa insiden penyerangan terhadap aparat kepolisian, membuka kembali mata saya bahwa Indonesia yang maju, berdaya, dan sejahtera masih memerlukan perjuangan yang tidak kecil. Jalan masih panjang. Ramalan-ramalan penuh optimisme tersebut bisa saja buyar jika kekuatan kebencian menemukan jalan untuk menghancurkan bangunan kebangsaan bernama Indonesia ini.

Mendorong kebinekaan di sektor perekonomian

Terorisme tidak akan kalah jika kita justru makin terpecah. Di tengah kepulan asap tragedi, tak jarang malah kita saling menyalahkan siapa penyebab meledaknya teror ini. Hal ini malah membantu kelompok pengibar kebencian untuk memecah belah masyarakat. Momen ini seharusnya membuat kita bersatu dengan coba saling berempati. Alih-alih saling menyalahkan, mari kita mencoba melihat apa yang bisa kita lakukan untuk mencabut akar-akar terorisme.

Sebagaimana telah dipaparkan oleh banyak cendekiawan, kita hanya bisa mengalahkan terorisme jika kita mampu menanam benih-benih keberagaman. Dengan demikian, tentu penting untuk mendukung segenap upaya untuk mengajarkan toleransi dan empati terhadap yang berbeda melalui pendidikan atau berbagai kampanye penyadaran. Meski demikian, di luar pendidikan dan kampanye-kampanye tersebut, saya percaya bahwa ada satu agenda besar yang harus mulai kita lakukan sebagai gerakan bersama: mendorong keberagaman di tempat kerja.

Sebagai orang yang terlibat dalam sektor perekonomian dan bergaul dengan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari usaha kecil sampai konglomerat, saya melihat sebuah gejala yang barangkali dapat berkontribusi pada mudahnya gagasan intoleran menyebar di masyarakat. Di sejumlah perusahaan yang saya temui, keberagaman merupakan hal yang sulit ditemukan.

Tentu saja hal yang wajar jika orang mengembangkan bisnis, atau membuat perusahaan rintisan, lalu memilih dan menempatkan orang yang dikenal dengan baik dari segi kapasitas maupun kedekatan personal pada posisi-posisi strategis pada perusahaan tersebut. Namun, karena sebagai manusia kita memiliki lingkaran pergaulan terbatas, biasanya kita akan menempatkan orang-orang yang memiliki "kemiripan lingkaran pergaulan" dengan kita sehingga biasanya jajaran elite perusahaan kemudian secara sadar maupun tidak jadi komunitas yang seragam. Meskipun saya tidak memiliki data penelitian yang menyeluruh, saya mengamati kecenderungan bahwa perusahaan yang didirikan oleh seseorang dengan identitas tertentu biasanya memiliki jajaran manajemen yang berasal dari identitas tertentu itu pula.

Ini berlaku untuk berbagai kelompok identitas, baik agama maupun identitas yang lain. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan kadang menjadi "gelembung-gelembung" tempat orang-orang dengan identitas yang cenderung seragam merawat ketakutan-ketakutan mereka pada yang berbeda.

Untuk itu, sebagai salah seorang pelaku bisnis di Indonesia, saya percaya bahwa ada hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah kecenderungan ini. Saat membangun bisnis atau merekrut orang, termasuk di level pimpinan, mari kita meletakkan keberagaman sebagai salah satu pertimbangan yang utama. Benar bahwa sistem merit harus dijunjung, tetapi jangan lupa bahwa kadang-kadang kita juga memiliki bias preferensi. Karena itu, kita bisa membantu kampanye keberagaman dengan benar-benar membuka pintu keberagaman di perusahaan-perusahaan atau organisasi-organisasi kita.

Tidak hanya itu, upaya membangun masyarakat yang saling memahami ini juga hanya bisa dilakukan jika kita juga terbiasa untuk "membangun jembatan". Sebagai contoh, para pimpinan perusahaan yang kaya raya mungkin perlu membiasakan anak-anaknya bergaul dengan masyarakat biasa dan tidak menempatkan mereka di lingkungan yang steril sejak kecil.

Kebinekaan kunci kemajuan

Tidak hanya membantu kita mengikis akar terorisme dan menumbuhkan semangat kebinekaan, saya juga percaya bahwa keberagaman di tempat kerja juga akan menghadirkan ekonomi yang lebih kokoh dan maju. Dalam Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance and Why They Fall (2007), Profesor Amy Chua dari Yale University, AS, melacak bangkit dan runtuhnya kekuatan-kekuatan besar dunia. Ia menemukan bahwa salah satu faktor utama yang mendorong kemajuan kekuatan-kekuatan besar itu adalah penerimaan dan dukungan mereka pada keberagaman.

Inilah yang membuat kerajaan-kerajaan dan negara-negara besar tersebut kemudian mampu memanfaatkan semua potensi yang dimiliki oleh rakyatnya, sekaligus membangun ikatan sosial yang kokoh. Sebaliknya, Chua juga menemukan bahwa salah satu tanda-tanda keruntuhan negara-negara besar tersebut adalah ketika intoleransi mulai tumbuh dan merajalela sehingga rakyatnya tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok yang saling mencurigai satu sama lain.

Kita tentu tidak ingin negeri yang kita cintai ini layu sebelum maju. Mendorong keberagaman, termasuk di tempat kerja, adalah salah satu kunci untuk menghindari bencana tersebut. Dengan mendorong keberagaman di tempat kerja, kita mengampanyekan Pancasila dengan aksi nyata.