TOTO SIHONO

                    

Keyakinan berlebihan terhadap ketangguhan apa yang disebut dengan Islam Indonesia dan mitos kegagalan Islam transnasional di negeri ini telah membuat kita salah menilai tentang persebaran pemikiran gerakan-gerakan itu dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia. Keyakinan berlebihan akan tangguhnya Islam Indonesia dalam membendung arus keislaman baru telah membuat kita terlena.

Faktanya, gagasan-gagasan Islam transnasional itu telah menyebar, masuk ke dalam relung kehidupan keberislaman sebagian orang Indonesia saat ini. Jika dicermati, ekspresi pikiran-pikiran gerakan Islam transnasional itu sesungguhnya sudah demikian terlihat cukup lama di ruang publik demokratis Indonesia.

Ruang publik demokratis kita sejak 19 tahun lalu memang memberikan kebebasan berekspresi berbagai arus keislaman, termasuk yang anti-demokrasi dan anti-keindonesiaan. Masifnya penggunaan media-media baru telah melipatgandakan penyebaran pikiran-pikiran itu di ruang publik kita. Ekspresi pikiran-pikiran gerakan Islam transnasional itu sangat menonjol dalam aktivisme Islam, baik di dunia virtual maupun nyata. Hal ini lebih terlihat lagi ketika sebagian umat Islam di Indonesia menyikapi persoalan-persoalan kontroversial seperti isu penistaan agama, menguatnya calon pemimpin dari minoritas, pembubaran ormas Islam, dan rentetan aksi bom bunuh diri belum lama ini.

Retorika dan pikiran-pikiran Islam transnasional yang dimaksudkan itu mencerminkan pandangan berikut. Pertama,  simplistic model of Islam dengan mengembalikan segala persoalan langsung ke bunyi tekstual Al Quran dan hadis. Kedua, mudah melakukan ekslusi teologis terhadap praktik-praktik keislaman Indonesia pada umumnya atau kelompok Islam lain dengan penyebutan bidah, syirik (penyekutuan Tuhan), tersesat, dan kafir. Ketiga, tidak ramah terhadap perbedaan dan keragaman. Keempat, mengagungkan budaya Timur Tengah dan meremehkan tradisi Islam di Nusantara. Kelima, yang sangat penting adalah rendahnya komitmen dan loyalitas terhadap negara-bangsa Indonesia.

Aktivisme keislaman dengan ciri-ciri itu tampak menonjol dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Itu jelas bukan ciri dari keislaman Indonesia yang cenderung ramah dengan keragaman, kaya akan warna dan fitur tradisi serta simbol, ramah dengan perbedaan, dan berkomitmen kuat pada keindonesiaan. Bahkan, umat Islam Indonesia menjadikan keislaman dan keindonesiaan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan.

Hampir 20 tahun masa reformasi adalah masa bangkit dan berkembangbiaknya gagasan-gagasan Islam transnasional di Indonesia. Oleh karena itu, tak mengejutkan jika beberapa tahun terakhir dampaknya sangat terasa dalam kehidupan bersama kita. Seperti sesuatu yang mengejutkan baru saja terjadi. Padahal, itu adalah buah logis dari proses panjang demokratisasi "liar" selama dua dekade ini. Benturan yang sangat tajam di bawah antara kelompok-kelompok Islam "Indonesia" dan Islam yang bernuansa transnasional sekarang terjadi di mana-mana.

Sulit dibendung

Menguatnya media-media baru, terutama media sosial, membuat penyebaran pikiran dan ekspresi Islam transnasional hampir tak mungkin dibendung di ruang demokratis kita. Para eksponen Islam transnasional bisa memanfaatkan suasana ini untuk melakukan penetrasi mendalam dalam kehidupan bangsa ini. Tak hanya di kota, tapi juga hingga ke desa-desa. Baik itu melalui perjumpaan langsung para tokoh hingga penggunaan berbagai media seperti radio, televisi, Facebook, Twitter, dan Whatsapp.

Seolah tiba-tiba di perkampungan-perkampungan  di Tanah Air muncul kelompok-kelompok kecil orang yang mengusung semangat keislaman yang anti-keindonesiaan dan anti- praktik Islam Indonesia. Mereka sangat aktif, agresif, dan tegas menuding kesalahan-kesalahan umat Islam lainnya. Demokrasi "liar" dua dekade ini telah memberikan buahnya, yaitu menguatnya kelompok-kelompok yang anti-demokrasi dan anti-Indonesia di dalam masyarakat kita.

Lebih celaka lagi, ideologi Islam transnasional yang datang ke Tanah Air cenderung lahir dari wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah. Karakter keislamannya pun adalah bernuansa konflik, baik dengan sesama Muslim maupun dengan yang lain. Secara umum, model keislaman ini tidak ramah terhadap demokrasi, negara bangsa, dan tradisi lokal. Penerimaan terhadap proses demokrasi biasanya hanya dalam konteks yang menguntungkan mereka, yaitu ketika ada political opportunity untuk merebut kekuasaan melalui pemilu.

Komitmen mereka terhadap keindonesiaan juga sangat rendah; untuk tidak dikatakan tak ada. Jika memiliki komitmen, setidaknya di permukaan, loyalitas mereka sering kali ganda, yaitu kepada negara-bangsa sekaligus kepada negara imajiner yang mereka cita-citakan.

Apakah benturan antara Islam Indonesia dan Islam transnasional yang terasa kian luas ini akan mengoyak sendi-sendi kehidupan bangsa ini? Kekhawatiran semacam itu jelas ada, apalagi benturan itu semakin muncul ke permukaan dan cenderung makin liar. Kehadiran negara tak bisa ditunda-tunda lagi. Kegamangan hanya akan semakin membawa kepada meluasnya persoalan dan memburuknya keadaan.

Hal yang sangat penting lain saat ini adalah konsolidasi Islam moderat di Tanah Air dan juga pembangunan jejaring yang kuat dengan Islam moderat di seluruh dunia Islam. Mayoritas umat Islam adalah moderat, baik di Indonesia maupun di negara lain. Tetapi, mayoritas itu diam, pasif, bahkan terpecah oleh perebutan kepentingan antar-elite mereka. Jika ada respons, maka respons itu terasa sporadis. Oleh karena itu, saat ini adalah momentum yang tepat untuk memulai kembali konsolidasi Islam moderat itu. Egoisme kelompok selama ini harus disingkirkan demi kepentingan masa depan Islam Indonesia dan bangsa ini.