Pancasila sejatinya adalah jalan tengah bagi Indonesia di tengah pergulatan dunia yang terbelah dalam kutub-kutub kepentingan dan ideologi.

Sebagai jalan tengah, Pancasila merupakan kesadaran (ideologis) keindonesiaan kontemporer. Akar sejarahnya telah menancap lama, membumi dalam benak tiap founding father bangsa Indonesia, tak terkecuali segenap komponen rakyat di masa-masa menentukan, 1926-1945.

"Jalan tengah" dalam hal ini adalah karakter "monodu- alis" dalam menjalankan Indonesia sebagai suatu organis- me negara. Karakter "monodualis" berarti bahwa negara Indonesia tak menganut fanatisme paham ideologis kanan maupun kiri. Konsekuensinya jelas tegas: fundamental- isme, radikalisme, dan anasir totalitarianisme tak akan pernah cocok, apalagi menolong bangsa dan negara ini, dalam menempuh takdir sejarahnya sebagaimana tercatat dalam Pancasila.

Pancasila sebagai bentuk genuine persatuan dan gotong royong, semua entitas pendiri negara Indonesia telah setuju bahwa bangsa Indonesia tak hanya merdeka secara kedaulatan wilayah, tapi juga ideologi atau cara pandang.

Ideologi Indonesia merdeka adalah Pancasila. Ia berfungsi sebagai mata-baca dan rujukan "model" bagi pemerintah dan entitas rakyat menghadapi tantangan perubahan tiap zamannya. Di situlah sikap dan pilihan "monodualis" dalam cara pandang Indonesia yang bebas aktif, nonblok dalam hubungan internasional.

Dalam penataan urusan ekonomi politik dalam negeri, ia tecermin dalam UUPA 1960 bahwa sistem agraria Indonesia tak menganut kapitalisme (ada batas maksimum pemilikan), tak juga menganut sosialisme-komunisme (tetap diakui hak milik pribadi). Dalam sosio-kultural, agama dan adat dalam posisi menerima pemerintah yang sah dan hukum nasional yang berlaku di negara Indonesia. Hubungan di antaranya berdasarkan hukum dan demokrasi dalam Pancasila dan UUD 1945.

Tahun politik, 2018-2019, tak layak dan tak pantas berjalan di luar jalan tengah keindonesiaan. Kemajuan politik hanya berarti meningkatnya kecerdasan politik masyarakat: makin berbudayanya masyarakat berpolitik.

Sabiq CarebesthPenyair, Tinggal di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur


Nasib Pensiunan

Saya selaku pensiunan PNS, yang tiap bulan menerima pensiun Rp 1.591.600, mohon perbaikan nasib kepada pemerintah karena pensiun kami jauh di bawah UMR/UMP.

Harga bahan pokok setiap waktu naik. Pertama saya dapat pensiun, ayam potong Rp 20.000 per kg dan telur Rp 18.000 per kg. Sekarang harga hampir dua kali lipat, sementara uang pensiun belum berubah.

Nasib kami jauh dibandingkan dengan buruh. Mereka muda, bisa demonstrasi. Kami uzur, tak berdaya, pasrah dengan keadaan. Pemerintah, tolong, kami masih ingin hidup agak layak.

E Harris AchadiatJalan Kopral Hanafiah, Ogan Ilir, Sumatera Selatan

 

Sabar

Dalam Surat kepada Redaksi, Kompas, 7 Mei, Bapak Martono kecewa atas uang pengembalian Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan PNS. Beberapa pensiunan di lingkungan kami mengalami hal sama: gigit jari atau kecele. Ketika saya urus, pihak bank cari nama saya sampai ke pusat: tidak ada.

Dulu waktu gaji mulai dipo- tong Bapertarum (1993), saya sudah persiapan pensiun. Beberapa teman pensiunan lain juga tak menerima pengembalian dengan sebab berbeda-beda. Ada yang lucu, suami-istri pensiunan, pekerjaan sama; suaminya menerima pengembalian Rp 2 juta, istrinya hanya Rp 400.000.

Karena kasusnya beda-beda, kami yang tak menerima uang pengembalian Bapertarum hanya bisa saling menemani sabar. Semoga Tuhan Yang Mahakaya kasih rezeki melalui cara lain.