REUTERS/ITALIAN PRESIDENTIAL PRESS OFFICE

Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte (kanan) menggelar pertemuan dengan Presiden Italia Sergio Mattarella di Istana Quirinal Palace, Roma, Italia, Minggu (27/5/2018). Conte mundur setelah Mattarella menolak kabinet yang disusun pemerintahan Conte.

Italia kerap kali mengalami krisis politik yang berujung pada pergantian pemerintahan. Namun, krisis kali ini akan mengancam zona euro di Eropa.

Italia akan melaksanakan pemilu sela setelah pemerintahan baru gagal terbentuk pascapemilu Maret 2018. Selama lebih dari 11 pekan, Italia berada dalam kondisi "parlemen menggantung" karena partai politik peserta pemilu tidak mampu membentuk koalisi, akibat perbedaan mendasar pada program kerja.

Baru pekan lalu dua partai yang meraih suara terbanyak, Partai Populis 5 Bintang dan Partai Ekstrem Kanan Liga, sepakat untuk berkoalisi. Namun, koalisi kedua partai ini mencemaskan pasar keuangan internasional karena program kerja yang populis, anti-euro, anti-imigran, dan yang mengkhawatirkan, akan membuat anggaran negara jomplang.

Terkait itu, Presiden Italia Sergio Mattarella menolak susunan kabinet yang di dalamnya terdapat nama Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi. Alasannya, Mattarella ingin stabilitas ekonomi terjaga, sementara Savona sangat anti-euro dan memiliki agenda agar Italia meninggalkan mata uang euro dan kembali ke lira.

Oleh karena koalisi menolak bersepakat, Mattarella kemudian menunjuk pejabat Perdana Menteri (PM) Carlo Cottarelli untuk membentuk pemerintahan sementara sampai pemilu yang kemungkinan akan dilaksanakan sekitar Juli-Agustus.

Krisis politik Italia telah membuat pasar keuangan Eropa guncang dan mata uang euro melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Pelaksanaan pemilu sela kemungkinan tidak akan mengubah komposisi pemenang pemilu, bahkan kubu ekstrem kanan diperkirakan akan semakin kuat. Sampai-sampai pengamat menyamakan pemilu sela sebagai "referendum Italia terhadap zona euro".

Namun, mungkinkah Italia yang menjadi salah satu pendiri Uni Eropa meninggalkan euro atau bahkan blok Uni Eropa (UE)? Semua analisis menunjukkan bahwa jika Italia keluar dari zona euro negeri itu akan mengalami instabilitas ekonomi, bukan saja karena devaluasi mata uang, tetapi juga karena pertumbuhan ekonomi Italia yang rendah, tingginya angka pengangguran dan utang yang saat ini mencapai 250 miliar euro.

Persoalannya, kadang masyarakat lebih mengedepankan emosi daripada logika ketika membuat pilihan politik. Hal inilah yang dimanfaatkan partai-partai populis yang menggaungkan slogan "kedaulatan sendiri", "menolak dominasi Brussels", dan slogan populer lainnya untuk memengaruhi pilihan. Bahkan, jika kita sedikit kilas balik, hasil referendum Brexit pun pada 2016 diperkirakan akibat pilihan yang cenderung emosional daripada logis, akibat bombardir pemberitaan yang mengeksploitasi isu ancaman migran.