Babak baru perjalanan sejarah Malaysia dimulai pasca-Pilihan Raya, 9 Mei. Tak hanya kepemimpinan politik, tetapi juga rezim mengubah tatanan sosial-politik negeri itu.
Perdana menteri baru, walau sesungguhnya pemain lama, Mahathir Mohamad, dilantik menjadi PM ke-7 Malaysia. Barisan Nasional, koalisi yang sudah 60 tahun berkuasa, lengser diganti koalisi oposisi Pakatan Harapan.
Tak ayal, pergantian rezim ini memunculkan spekulasi angin perubahan di Asia Tenggara. Beberapa pihak di dalam negeri mulai menyandingkan kemenangan oposisi Malaysia dengan kemungkinan hal tersebut terjadi pada Pemilu 2019.
Di luar pandangan spekulatif itu, Michael Vatikiotis, Direktur Kawasan Asia dari Centre for Humanitarian Dialogue, menerawang dari sudut pandang positif. Perubahan di Malaysia, menurut dia, akan mengantarkan pemimpin seperti Hun Sen di Kamboja, junta militer di Thailand, tetapi akan mendinamisasi kawasan Asia Tenggara karena pimpinan Pakatan Harapan diisi oleh orang-orang yang berpikiran progresif dan moderat seperti Wan Azizah dan Tian Chua.
Indonesia dan Filipina akan memperoleh manfaat, terutama jika Anwar Ibrahim kemudian dilantik menjadi perdana menteri. Anwar, aktivis gerakan Islam sejak muda (Angkatan Belia Islam Malaysia) berpandangan moderat, kosmopolit, dan diyakini akan bergandeng tangan dengan Pemerintah Indonesia dan Filipina dalam meredam pengaruh dan aksi para ekstremis.
Betulkah perubahan di Malaysia akan merembet pada negara-negara Asia Tenggara lain? Mari kita melihat perubahan rezim di Asia Tenggara dalam linimasa yang lebih panjang. Kawasan ini turut mengalami apa yang diistilahkan Samuel Huntington sebagai gelombang demokratisasi. Bermula pada awal 1970-an di Spanyol dan Portugis, perubahan lalu merembet ke Amerika Latin dan Asia. Asia Tenggara mengalami "efek domino" diawali dengan tumbangnya Ferdinand Marcos (1986) melalui revolusiPeople Power atau dikenal dengan nama EDSA Revolution Filipina. Pada akhir 1986, Vietnam kemudian meluncurkan kebijakan reformasi struktural yang dinamakan sebagai Doi Moi (terjemahan bebas: renovasi).
Sebetulnya, pada 8 Agustus 1988 (dikenal dengan istilah 8888), gabungan mahasiswa, pemuda, dan pekerja di Burma berhasil memaksa junta militer mengadakan pemilu. Walau oposisi NLD di bawah Aung San Suu Kyi memenangi pemilu, hasilnya dianulir oleh junta. Selang empat tahun kemudian, pemuda dan mahasiswa di Thailand berhasil membuat rezim militer kembali ke barak dan menyerahkan kepemimpinan ke politikus sipil. Dan, ujungnya, Indonesia pun terkena gelombang reformasi membuat Soeharto turun dari singgasana yang telah dikuasainya selama 32 tahun.
People Power atau "Color Revolutions" pada gelombang ketiga telah membebaskan negara-negara Asia Tenggara dari rezim militer atau otoritarian. Malaysia justru pada 1998 dan 1999 terkena demam reformasi dari Indonesia. Sayang, saat itu BN dan UMNO yang dikendalikan Mahathir Mohamad belum tergantikan. Rakyat Malaysia harus menunggu dua dekade untuk bisa menjungkalkan UMNO dan masuk dalam gelombang keempat demokratisasi.
Jika ada yang mengatakan Melayu Spring akan menerpa Indonesia, tentu pendapat ini luput memperhatikan sejarah perubahan di Asia Tenggara dalam lini masa sejak 1980-an. Jika ada negara di Asia Tenggara yang akan "terinspirasi" dari hasil Pilihan Raya Malaysia, kemungkinan besar adalah Kamboja yang Juli ini akan menggelar pemilu.
Melayu Spring atau Arab Winter?
Arab Spring, istilah yang dilekatkan pada perubahan rezim di jazirah Arab, merupakan gelombang keempat demokratisasi. Ilmuwan sosial seperti Sidney Tarrow dan Charles Tilly (2007) menawarkan konsep untuk memahami terwujudnya perubahan rezim. Mereka berargumen tipologi rezim sangat menentukan proses dan hasil gerakan perubahan. Tarrow dan Tilly membagi empat kuadran tipe rezim otoriter atau demokratis serta rezim dengan kapasitas rendah atau tinggi. Kapasitas rezim merujuk kemampuan mengontrol teritori dan tingkat kesolidan rezim. Rezim otoriter dan dengan kapasitas tinggi mampu meredam gerakan rakyat dengan cara represif dan cenderung brutal. Kegagalan saffron revolution yang melibatkan biksu di Burma bukti betapa junta militer memiliki kemampuan represif meredam dan mematahkan people power.
Pergantian rezim umumnya berhasil jika terjadi pada rezim otoriter berkapasitas rendah. Skandal, baik korupsi maupun pemilu, membuka peluang gerakan massa menyeruak karena kemampuan rezim mengendalikan teritori dan menggunakan instrumen kekerasan terbatas. Belum lagi jika secara internal timbul keretakan di kalangan elite. Bergulirnya Arab Spring menunjukkan adanya political opportunity structure ditambah dukungan eksternal, maka perubahan rezim jadi keniscayaan.
Namun, pascapergantian rezim di jazirah Arab, yang muncul kemudian adalah fenomena Arab Winter, terminologi yang disodorkan ilmuwan sosial dari Universitas Warsawa. Musim Dingin Arab terjadi karena kembalinya penguasa otoritarian, mencuatnya konflik horizontal atau bahkan perang saudara dikombinasi dengan ketidakmampuan rezim mengelola pemerintahan.
Indonesia tak dalam persimpangan Melayu Spring ataupun Arab Winter. Kita tidak mengalami musim semi yang kerap berulang seperti Thailand maupun Filipina, karena komitmen semua kelompok sosial-politik untuk memperdalam demokrasi. Ditambah kapasitas pemerintah mengelola pemerintahan kategori tinggi sehingga pembangunan sosial dan ekonomi berjalan sesuai harapan. Kondisi ini menempatkan Indonesia tetap dalam khatulistiwa musim panas, tidak dipersimpangan siklus menuju musim semi (spring) atau bahkan musim dingin (winter).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar