Pada 22 Januari lalu President AS, Donald Trump, memutuskan untuk memasang tarif impor mesin cuci dan panel tenaga surya (solar panels), masing- masing sebesar 50 persen dan 30 persen.

Soedradjad Djiwandono

Awal Maret, AS memutuskan akan memasang tarif tinggi untuk impor semua produk baja dan aluminium, dan keputusan tersebut diikuti dengan kenaikan tarif impor lebih dari 1.300 produk China senilai 50 miliar dollar AS, satu bulan kemudian. Alasannya karena China dianggap melakukan praktik perdagangan yang tidak adil terhadap komoditas AS, sehingga menghasilkan defisit neraca perdagangan AS terhadap China sebesar 375 miliar dollar AS tahun lalu.

AFP PHOTO/BRYAN R SMITH

Presiden AS Donald Trump berpidato dalam tayangan televisi saat para pedagang bekerja pada sesi penutupan pasar bursa saham New York di New York AS, 8 Maret 2018 lalu. Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor baja dan aluminium, yang dikhawatirkan bakal memicu perang dagang global.

Langkah tersebut langsung dibalas oleh China: awal Februari dengan investigasi anti dumping untuk sorgum dan makanan ternak; serta awal April dengan memasang tarif impor lebih dari seratus produk AS, termasuk kedelai, pesawat terbang, otomotif dan produk-produk lain.

China juga mengajukan protes terhadap AS melalui jalur Dispute Settlements di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam jalur ini pertikaian perdagangan antar anggota diselesaikan melalui pembahasan dalam WTO untuk dicarikan jalan keluarnya, dan kalau tidak ada kesepakatan akan diselelsaikan melalui pengadilan banding.

Di antara pengaturan perdagangan dunia dalam lembaga multilateral yang dianggap tidak efisien ini, kinerja Dispute Settlements dinilai paling efektif. Dari pengaduan masalah perdagangan melalui mekanisme ini setiap tahun, rata-rata 50 persen dapat diselesaikan dengan baik.

Lomba kenaikan tarif impor antara kedua raksasa ekonomi dunia ini menyangkut nilai perdagangan sekitar 100 miliar dollar AS, suatu jumlah yang tidak bisa diremehkan. Karena itu, tidak salah orang mempertanyakan apakah hal tersebut merupakan perang tarif atau lebih luas lagi, perang dagang?

Meskipun pemberitaan di media banyak menggunakan istilah tersebut, berbagai pendapat dan pernyataan dari kedua pemerintahan, AS dan China, tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa yang berkembang adalah perang tarif, apalagi perang dagang.

AFP PHOTO

Foto file yang diambil pada tanggal 18 Januari 2018 ini menunjukkan seorang pekerja China memotong baja di Qingdao di provinsi Shandong timur China. Meskipun ada tentangan sengit dari dalam Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump pada tanggal 1 Maret 2018 mengumumkan akan mengenakan tarif untuk impor baja dan aluminium, yang berpotensi memicu terjadinya perang dagang dengan produsen besar dan juga China.

Secara konsep juga belum dapat dikatakan telah terjadi perang tarif atau perang dagang. Yang jelas, keputusan-keputusan kenaikan tarif tersebut memang tak langsung berlaku, masih satu setengah bulan dari bulan April keputusan itu menjadi efektif berlaku, kalau tidak ada perubahan sebelumnya.

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross maupun Kepala Perwakilan dagang AS (USTR) Robert Lighthizer mengatakan masih ada waktu untuk melakukan negosiasi. President China Xi Jinping pada waktu menyampaikan sambutan di suatu konferensi ekonomi Bo'ao di Hainan— yang dikatakan sebagai jawaban China terhadap pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengatakan bahwa China akan tetap melaksanakan kebijakan ekonomi terbuka.

GETTY/AFP/NATALIE BEHRING

Para buruh mengisi baja pesanan untuk dikirim ke Pacific Machinery & Tool Steel Company, Pacific Northwest, pada 6 Maret 2018 di Portland, Oregon. Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa dia bermaksud memberlakukan tarif impor baja dan aluminium, yang memicu kekhawatiran bahwa tindakan semacam itu dapat memicu perang dagang.

Bahkan, secara spesifik ia menyebutkan akan lebih terbuka terhadap industri otomotif AS. Dalam pertemuan Bank Dunia dan IMF, April lalu, di Washington DC, Menkeu AS Steven Mnuchin menyebutkan akan berkunjung ke Beijing membahas masalah peningkatan tarif impor yang sedang dalam proses.

Dari perkembangan di atas nampaknya memang keputusan-keputusan tentang peningkatan tarif impor ini merupakan alat untuk mengajukan tuntutan kepada China agar mengurangi ketimpangan neraca perdagangan bilateral mereka yang besar dan meningkat. Dengan kata lain, merupakan bagian dari tawar-menawar untuk perundingan mengatasi pertikaian perdagangan dan karena itu bukan perang tarif. Dan pasar pun tidak menjadi panik meskipun mengalami gejolak.

Perang dagang merugikan semua

Akan tetapi, kalau bukan perang tarif, tentunya bukan juga perang dagang? Kalau yang digunakan sebagai ukuran adalah besarnya nilai perdagangan yang tersangkut, contoh dalam sejarah dari perang dagang melalui perang tarif adalah apa yang dilakukan oleh AS tahun 1930 yang dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Waktu itu AS meningkatkan tarif impor 20.000 produk terhadap semua negara.

Setelah Kanada dan banyak negara mitra dagang AS di seluruh dunia melakukan langkah serupa, dalam waktu singkat ekspor AS turun sampai 60 persen dan perang dagang yang juga diikuti dengan perang devaluasi mata uang itu—beggar thy neighbors' policy—sangat drastis mendorong krisis ekonomi, dimulai dari krisis pasar modal Wall Street tahun 1929 –the Great Crash – menjadi depresi ekonomi tahun 1930 yang melanda ekonomi seluruh dunia, dikenal sebagai the Great Depression.

REUTERS/LEAH MILLIS

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan pernyataan pengenaan tarif untuk baja dan alumunium impor. Ia menandatangani pernyataan itu, Kamis (8/3/2018) lalu di Gedung Putih, Washington DC.

Aneh juga bahwa ekonom sangat suka menggunakan istilah "great" untuk hal-hal yang sebenarnya tidak ada hebatnya. Coba disimak, "the great crash" adalah istilah yang digunakan untuk menamakan krisis pasar modal Wall Street tahun 1929, "the great depression" untuk depresi tahun 1930-an, "the great moderation" untuk perekonomian AS yang stabil dan bertumbuh sejak media 1980-an sampai sebelum krisis keuangan global tahun 2008. Dan terakhir "the great recession" untuk resesi berkepanjangan sejak krisis keuangan global 2008/2009 sampai tahun lalu. Padahal apa yang pantas digambarkan sebagai 'great' dari hal-hal tersebut?

Kembali kepada pembahasan kita, dibanding perkembangan setelah keluarnya Smoot-Hawley Act, apa yang berlangsung beberapa minggu terakhir antara AS-China jelas bukan perang tarif, apalagi perang dagang. Meskipun demikian, surat kabar Financial Times melukiskannya sebagai tembakan pertama (untuk perang dagang) sudah dilancarkan. Kekhawatiran ini ditekankan lagi oleh Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde baru-baru ini dalam sambutannya pada pertemuan kedua lembaga Bretton Woods, IMF dan Bank Dunia di Washington DC minggu lalu.

Di Eropa, geliat ekonomi yang disambut baik semua pihak tahun 2017 dikhawatirkan tak akan berlanjut tahun ini, terutama karena kekhawatiran kemungkinan terjadinya perang dagang dari pertikaian antar dua raksasa ekonomi dunia ini.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Tumpukan batang alumunium di pabrik peleburan alumina milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum di Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, Selasa (5/12). Hasil olahan alumina menjadi alumunium menaikkan nilai tambah dari 300-350 dollar AS per ton alumina menjadi lebih dari 2.000 dollar AS per ton alumunium. Sementara ini, Inalum mengimpor alumina dari Australia atau di pasar tunai (spot).
Kompas/Aris Prasetyo (APO)
05-12-2017

Pertikaian dagang antar negara juga bukan hal yang baru. Tetapi negara-negara yang bertikai selalu berupaya menyelesaikannya melalui perundingan dan kesepakatan, apakah bilateral atau regional maupun multilateral. Pertikaian perdagangan AS dengan Jepang tahun 1980 sampai awal 1990-an sebenarnya cukup menegangkan, akan tetapi tidak juga berkembang menjadi perang dagang seperti tahun 1930-an. Pertikaian tersebut diselesaikan dengan berbagai kesepakatan, termasuk bilateral, seperti pengendalian ekspor sementara (temporary export restraints) Jepang ke AS dan tindakan Pemerintah Jepang mendorong peningkatan konsumsi dalam negeri.

Selain itu juga dilakukan kesepakatan yang menyangkut negara-negara lain dalam apa yang dikenal sebagai Plaza Accord tahun 1985. Dalam kesepakan ini Jepang, Jerman Barat, Perancis dan Inggris melakukan intervensi di pasar valas secara terkoordinasi untuk menurunkan nilai tukar dollar AS terhadap yen dan mata uang lain dengan maksud membantu AS mengurangi defisit neraca perdagangannya.

Yang jelas sejarah telah menunjukkan bahwa dalam perang dagang tidak ada perekonomian yang diuntungkan, justru sebaliknya semua rugi seperti yang terjadi dalam depresi 1930-an. Karena itu semua negara berkeinginan untuk ikut menghindarkan terjadinya

Beberapa catatan

Kalau disimak, konsep dan teori perdagangan, yang dilakukan President Trump memang nampaknya kurang dipikirkan efektif-tidaknya untuk dilakukan guna mencapai yang diinginkan. Mengurangi defisit perdagangan bilateral tanpa menyadari penyebab utamanya—bahwa dalam sistem keterkaitan proses produksi rantai pasokan menyangkut impor bahan baku dan komponen untuk dapat melaksanakan ekspor barang jadi—penerapan tarif impor tidak bisa menyelesaikan masalah lemahnya ekspor dan kuatnya impor AS dari dan ke China.

Di lain pihak, China bermain cerdik menggunakan peralatan sama (tarif impor) tetapi sangat jeli memilih produk yang dikenakannya. Ini menunjukkan kesiapan China yang lebih baik dalam adu kuat ini. Ini bisa disimak, misalnya dari keputusan China meningkatkan tarif impor kedelai. Impor kedelai China dari AS tahun lalu bernilai 20 miliar dollar AS. Suatu jumlah yang cukup berarti bahkan buat AS, apalagi dalam makna politik, karena produsen kedelai di AS adalah para petani yang merupakan basis pendukung Presiden Trump. Tarif impor tinggi yang dikenakan China akan mengurangi impor kedelai dari AS yang akan memukul para petani produsen pendukung Trump.

Impor kedelai China meningkat sangat besar sepuluh tahun terakhir, bukan hanya karena konsumsi tahu yang meningkat, tetapi konsumsi daging yang meningkat terus karena naiknya pendapatan masyarakat. Kedelai adalah bahan utama makanan ternak, yang peningkatannya luar biasa karena konsumsi daging terus naik.

Sudah banyak dibahas di masyarakat mengenai bagaimana dampak dan implikasi dari pertikaian dagang AS-China ini buat Indonesia. Pemerintah sudah melihatnya sebagai tantangan tetapi sekaligus juga peluang. Tentu, memasuki pasar China menjadi pemamsok kedelai merupakan salah satu peluang yang terbuka. Tetapi untuk itu perlu kerja keras dan berpikir jernih mengingat sampai kini kita masih banyak impor bahan untuk tempe-tahu ini. Demikian juga dengan komoditas lain yang dapat didorong ekspornya.

Bagaimana dengan baja dan aluminium? Kiranya ini merupakan contoh yang harus diwaspadai karena ekspor kedua produk ini dari China tentu mencari pasaran baru kalau dipersulit masuk AS. Imbangan antara produk yang mungkin menjadi lebih murah untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur kita harus dikaitkan dengan ekspor Indonesia dalam kedua produk ini yang menghadapi pesaing baru.