Deindustrialisasi sudah menjebak Indonesia sepan- jang 15 tahun terakhir. Kontribu- si industri manu- faktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus merosot, dari 28,34% pada 2004 menjadi 21,01% pada 2014, lalu 20,99% (2015), 20,51% (2016), dan 20,16% (2017).

Industri manufaktur adalah proses produksi via mekanisasi (menggunakan mesin) untuk mengubah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi yang memiliki nilai jual dalam skala besar atau produksi massal. Kelebihannya adalah bahwa industri manufaktur andalan akan mampu menyerap tenaga kerja yang besar dengan kapasitas produksi yang diutamakan untuk ekspor.

Namun, dengan sejarah industri manufaktur Indonesia yang berangkat sebagai substitusi impor, faktanya kemudian porsinya ternyata lebih besar untuk pasar domestik. Tercatat kapasitas ekspornya hingga kini hanya sekitar 40%. Lebih kecil dibanding ekspor produksi manufaktur Malaysia (62%), India (55%), serta Thailand dan Vietnam (73%). Masalah lain, sektor manufaktur hanya mampu menorehkan tingkat pertumbuhan  yang selalu di bawah PDB.

ANTARA/KHAIRIZAL MARIS

Pekerja menyelesaikan produksi pakaian jadi di pabrik olahan pakaian jadi C59, Bandung, Jawa Barat, Senin (19/2). Pemerintah mencatat produk olahan pakaian jadi menyumbang ekpor sebesar Rp90 triliun dari total nilain ekspor US$ 125 miliar dengan negara tujuan utama adalah China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura.
Antara/Khairizal Maris
19-02-2018

Lihat saja, sepanjang 2011-2017, rata-rata pertumbuhan industri manufaktur sebesar 4,82%, sedangkan pertumbuhan PDB rata-rata 5,39%. Namun sumbangan industri manufaktur yang seperlima PDB tersebut masih terbilang sebagai kontribusi terbesar dibanding sektor pertanian dan perdagangan yang masing-masing hanya 13%. Meskipun disayangkan, dalam hal penyerapan tenaga kerja, manufaktur di posisi keempat, setelah pertanian, perdagangan, dan sektor jasa kemasyarakatan.

Padahal, di era 1990-an, industri manufaktur Indonesia masih berjaya dengan pertumbuhan 11 persen per tahun dan menguasai 4,6 persen industri manufaktur dunia. Tetapi kejayaan itu kian surut dan saat ini industri manufaktur Indonesia hanya mampu tumbuh sekitar 4-5 persen per tahun. Otomatis, Indonesia sebagai negara terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak di ASEAN belum dapat menguasai perdagangan kawasan. Indonesia hanya dijadikan pasar oleh negara tetangga, terutama dari produk-produk manufaktur. Akibatnya neraca perdagangan Indonesia sering kali defisit.

Mesti berbenah

Dengan kata lain, tantangan yang dihadapi industri manufaktur sangat berat. Apabila perhatian kebijakan terhadap sektor ini tak ditingkatkan secara masif dan signifikan, dikhawatirkan gejala de-industrialisasi yang belakangan sudah mulai berlangsung, lambat laun akan jadi kenyataan.

Kekhawatiran terhadap rendahnya daya saing industri manufaktur bukan saja berdampak pada perdagangan, lebih dari itu juga berdampak pada perekonomian. Struktur ekonomi jadi kian rapuh karena hanya didukung perkembangan sektor yang kurang menyerap tenaga kerja formal dan cenderung menyerap pekerja informal.

KOMPAS/HAMZIRWAN

Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri merekam video blog bersama peserta dan instruktur pemagangan pabrik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Karawang International Industrial City (KIIC), Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/3). Presiden Joko Widodo menjadikan tahun 2018 sebagai momentum menyiapkan sistem pembangunan modal manusia yang kompeten dan produktif melalui pelatihan vokasi.

Indonesia akan sulit maju jika sektor informal terlalu besar karena produktivitas ekonomi sulit berkembang. Jadi, pemerintah harus benar-benar fokus memikirkan langkah-langkah untuk melakukan reindustrialisasi,  termasuk aneka rupa insentif, apa pun bentuknya. Karena insentif akan jadi motor yang bisa menggerakkan investasi, terutama insentif untuk sektor manufaktur yang akan menghangatkan kembali mesin-mesin sektor industri. Jika tidak,  peningkatan konsumsi dalam negeri, misalnya, hanya akan diisi produk-produk impor yang akan mempertebal kocek negara importir sebagaimana biasanya terjadi selama ini.

Imbasnya sampai hari ini tentu sudah kita lihat dan rasakan. Dari sisi ekspor, misalnya. Meskipun ekspor Indonesia yang terbesar ditujukan ke negara-negara anggota ASEAN, total neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan negara-negara sekawasan ternyata selalu mencatatkan defisit. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam rentang 2000-2015 Indonesia pernah mencapai surplus neraca perdagangan hanya pada tahun 2011. Setelah itu defisit neraca perdagangan cenderung semakin melebar dari tahun ke tahun. Dari sembilan negara anggota ASEAN, perdagangan Indonesia hanya surplus terhadap Filipina, Myanmar, Kamboja dan Laos.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Teknologi Gadget – Sejumlah pekerja lulusan Axioo Class Program sedang mengecak komponen yang di gunakan untuk laptop. Produsen gadget Axioo membangun pabrik ke-3 di Jalan Inspeksi PAM Cakung, Jakarta Timur, Kamis (8/12). Pembangunan pabrik ini bertujuan memproduksi dan merakit produk berupa smartphone, tablet, laptop, desktop dan memory serta mengembangkan teknologi informasi dan menjadikan Indonesia sebagai basis industri teknologi informasi di asia.
Kompas/Alif Ichwan (AIC)
08-12-2016

Kemudian, secara keseluruhan, kinerja total ekspor Indonesia—baik migas maupun nonmigas—dalam enam tahun (2011-2016) memang mengalami penurunan drastis, yakni dari 203.495,6 juta dolar AS menjadi sekitar 144.433,5 juta dolar AS atau turun 29,02%. Dalam periode yang sama, impor juga turun dari 177.435,6 juta dolar jadi 135.650,7 juta dolar atau turun 23,5%. Nah, penurunan laju ekspor yang lebih besar daripada laju impor menyebabkan surplus neraca perdagangan Indonesia turun dari 26.061,1 juta dolar jadi 8.782,8 juta dolar. Di sisi lain,  ekspor nonmigas di periode sama turun 18,9% dari 162.019 juta dolar jadi 131.346,5 juta dolar.

Sementara impor nonmigas hanya turun 14,5% atau turun dari 136.734 juta dolar menjadi 116.925,9 juta dolar. Akibatnya surplus neraca perdagangan nonmigas turun dari 25.283,5 juta dolar pada 2011 jadi 14.420,6 juta dolar pada 2016. Data menunjukan, tujuan ekspor nonmigas Indonesia didominasi negara-negara ASEAN, yakni mencapai 22,3% pada 2015. Pangsa ekspor nonmigas ke negara-negara ASEAN meningkat dibandingkan tahun 2011 yang hanya mencapai 20,7%. Namun nilai ekspornya turun 20,2% atau turun dari sekitar 42.098,9 juta dolar (2011) jadi 33.577 juta dolar (2015).

Proses produksi pelumas di pabrik baru PT Pertamina Lubricants di Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/12). Pabrik pelumas terintegrasi terbesar di Asia Tenggara ini memiliki kapasitas total 270 juta liter per tahun atau setara dengan penggantian pelumas untuk lebih dari 67,5 juta mobil. Pabrik ini menghasilkan produk minyak pelumas dalam kemasan botol (lithos), pail, drum, dan bulk.
Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
08-12-2015

Perkembangan serupa terlihat pada dua bulan berturut-turut sejak awal tahun,  bahkan sejak Desember 2017. BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 670 juta dolar pada Januari 2018. Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara antara lain China, Thailand.  Secara umum,  memang ada surplus 182 juta dolar di sektor non- minyak dan migas pada Januari. Kendati demikian,  impor pun naik sehingga tercatat defisit neraca perdagangan 670 juta dolar pada Januari 2018. Adapun untuk nonmigas, surplusnya 182 juta dolar, yang kemudian terkoreksi dengan adanya defisit migas.

Ambil langkah strategis

Sebenarnya, neraca perdagangan Indonesia sudah defisit sejak Desember 2017. Pada Desember 2017, Indonesia tercatat defisit 0,27 miliar dolar, yang dipicu defisit sektor migas 1,04 miliar dolar. Namun, ketika itu, neraca perdagangan sektor nonmigas surplus 0,77 miliar dolar sehingga secara keseluruhan masih tercatat surplus. Kondisi di bulan Februari pun ternyata masih tetap sama.  BPS merilis hasil neraca perdagangan per bulan Februari 2018 yang mengalami defisit sebesar 0,12 miliar dolar AS. Melalui hasil ini, neraca perdagangan Indonesia sudah tiga kali mengalami defisit secara berturut-turut sejak akhir 2017 lalu.

Para karyawan menata potongan-potongan kayu sengon untuk bahan baku papan "barecore" di pabrik PT Nagabhuana Aneka Piranti di Wonogiri, Jawa Tengah, Selasa (22/11). Indonesia mengekspor papan barecore ke sejumlah negara di antaranya Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia.
Kompas/Erwin Edhi Prasetya (RWN)
22-11-2016

Risiko pahit lainnya, kondisi neraca perdagangan seperti itu membuat Indonesia mencatatkan net international investment position negatif lebih dari 400 miliar dolar alias mempunyai net external liabilities  atau benar-benar negara dengan neraca sebagai negara debitor. Artinya, jika ekspor kian melemah, terutama dari produk-produk industri manufaktur, kapasitas bayar utang Indonesia akan semakin melemah,  mengingat di satu sisi rasio pajak Indonesia sangat rendah dan sulit bertumbuh, di sisi lain kekuatan ekspor internasional Indonesia pun kurang menjanjikan dan semakin keropos (akibat deindustrialisasi).

Walhasil, kesempatan untuk mendapatkan devisa yang berlipat kian menjauh. Oleh karena itu mengapa banyak pihak berpendapat bahwa utang Indonesia berada di atas fondasi ekonomi yang semakin keropos. Untuk itu,  tak bisa tidak,  pemerintah harus mengambil langkah-langkah sangat strategis untuk membangun ulang sektor industri kita (reindustrialisasi)  dan secara perlahan melakukan pembenahan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional agar bisa dinikmati secara adil dan merasa oleh masyarakat. Pun bisa membawa Indonesia semakin berdaya saing di kancah internasional.  Semoga

ZULKIFLI HASAN, KETUA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Kompas, 7 Mei 2018