ANTARA FOTO/SHERAVIM

Petugas kepolisian menuangkan minyak ke ember saat membersihkan Pantai Banua Patra dari minyak yang memenuhi pesisir pantai di Balikpapan, Kaltim, Senin (2/4/2018). Pasca kebakaran pipa minyak bawah air Balikpapan-Penajam Paser Utara di Teluk Balikpapan yang terjadi pada Sabtu (31/3/2018), pesisir pantai dan permukiman di pinggir laut Kota Balikpapan tercemar tumpahan minyak.

Ekosistem abiotik dan biotik di Teluk Balikpapan tengah berjuang menghadapi pencemaran minyak mentah Pertamina Refinery V Balikpapan, obyek vital nasional yang berproduksi untuk kepentingan nasional. Proses hukum kasus pencemaran seluas 12.987 hektar di sekitar Teluk Balikpapan berlangsung sejak Kamis (26/4/2018). Polda Kaltim telah menetapkan ZD, nakhoda kapal MV Ever Judger, sebagai tersangka atas kelalaiannya yang memicu kebocoran.

Pencemaran lingkungan di obyek vital nasional migas karena kelalaian atau kesengajaan pihak ketiga bukanlah hal baru. Dalam skala kecil, kegiatan illegal tapping atau penggesekan pipa minyak oleh masyarakat atau kelompok bisnis tertentu merupakan contoh gangguan faktor eksternal dalam menjaga keberlanjutan obyek vital nasional.

Sudahkah pemerintah mengadopsi paradigma "safety and sustainability" dalam regulasi tata kelola obyek vital nasional? Salah satu prinsip utamanya adalah kejelasan peran dan partisipasi berbagai aktor, baik dalam tahap pencegahan, tanggap darurat, maupun pemulihan.

Kaji ulang regulasi 

Sambil menunggu proses hukum, kita juga dapat melihat peristiwa ini sebagai sebuah bentuk krisis regulasi (regulatory crisis).

Krisis regulasi adalah suatu kejadian yang menunjukkan urgensi pembaruan regulasi karena regulasi yang ada tidak mampu atau tidak relevan untuk mencapai tujuan regulasi (Hutter dan Bostock, 2017).

Dalam konteks relasi politik regulator dan publik, krisis regulasi dapat mengancam kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap regulator. Publik melihat regulator tidak mampu menjalankan fungsi utama untuk mengantisipasi dan mengelola risiko obyek vital nasional.

Saat ini, regulasi pengamanan obyek vital nasional merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Keppres ini memberi amanah kepada Polri sebagai partner pengelola obyek vital nasional untuk pengamanan.

Dalam kondisi tertentu, Polri dapat meminta bantuan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pengamanan bersama. Mekanisme dan prosedur pengamanan obyek vital nasional oleh Polri tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang pemberian bantuan pengamanan pada obyek vital nasional tertentu.

Keamanan keselamatan

Regulasi pengamanan obyek vital nasional masih melihat keamanan dan keselamatan (safety)sebagai domain pengelola dan aparatur keamanan. Realitas menunjukkan, keamanan, dan keselamatan obyek vital nasional merupakan areal persinggungan antara internal pengelola dan kondisi eksternal, seperti sosial ekonomi masyarakat, situasi politik dan aktivitas pelaku bisnis. Standar internal keamanan perlu kondisi eksternal yang mendukung (enabling factor) untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan obyek vital nasional.

Keberlanjutan adalah konsep penting dalam tata kelola keamanan fasilitas berisiko tinggi terhadap lingkungan. Sejak 2006, DNV.GL, lembaga sertifikasi keselamatan (safety), menggeser paradigma dari safety and security menjadi safety and sustainabiliy (www.dnvgl.com).

Pada standar Internasional Sustainability Rating System (ISRS) edisi kedelapan yang diperkenalkan tahun 2009, DNV.GL membangun sistem tata kelola khusus untuk keberlanjutan instalasi yang memiliki risiko tinggi adanya kebakaran, meledak, dan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti Refinery V Balikpapan.

Memastikan keberlanjutan obyek vital nasional berisiko tinggi tidak lagi menjadi domain internal pengelola, melainkan juga partisipasi publik. Kekosongan partisipasi publik inilah yang perlu ditekankan dalam pembaruan regulasi obyek vital nasional.

Publik dan juga pelaku bisnis di lingkungan obyek vital nasional diwajibkan mengetahui risiko dan tata perilaku saat berada di kawasan obyek vital nasional. Misalnya, awak kapal-kapal yang melintasi kawasan obyek vital nasional berisiko tinggi perlu mendapatkan safety induction dan menandatangani surat kesediaan (consent form) untuk mematuhi seluruh petunjuk keselamatan dan keberlanjutan objek vital.

Siapa pihak yang bertanggung jawab mengedukasi dan memastikan aktivitas publik mematuhi(comply)prosedur tata kelola obyek vital nasional? Jawabannya adalah berbagi peran antara regulator dan pengelola obyek vital nasional. Pengelola wajib mengedukasi publik dan membangun petunjuk perilaku keselamatan.

Sementara regulator (pemerintah daerah atau otoritas tertentu) berkewajiban memastikan publik patuh terhadap prosedur keselamatan yang ada. Pemerintah pusat memiliki otoritas untuk memonitor apakah pengelola dan pemerintah daerah telah melaksanakan kewajibannya.

Momentum bersama

Rehabilitasi lingkungan dan sosial menjadi agenda penting pascapencemaran. Dalam perspektif positif, bencana ini dapat menjadi momentum berbagai pihak untuk berkomitmen pada keberlanjutan ekosistem biotik dan abiotik di lingkungan obyek vital nasional. Pertamina Refinery V Balikpapan dapat belajar dari saudara kandungnya Pertamina Refinery VI Balongan yang mengalami hal sama pada 2008.

Seperti halnya Teluk Balikpapan, pecahnya pipa laut Pertamina Refinery VI Balongan juga memicu pencemaran laut di kawasan Indramayu dan sekitarnya. Wilayah Pantai Karangsong merupakan salah satu daerah paling terdampak. Pencemaran ini menghancurkan ekosistem pantai dan memutus rantai ekonomi masyarakat.

Saat ini, jejak pencemaran dan kesengsaraan masyarakat di Pantai Karangsong tidak tampak lagi. Pantai berganti jadi hutan mangrove yang hijau dan menyejahterakan masyarakat. Menurut data Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2016, pengembangan wisata hutan Mangrove oleh Pertamina Refinery VI Balongan berdampak baik pada lingkungan dan masyarakat.

Hutan mangrove ini mampu menyerap CO2 sebesar 68,67 ton per hektar dan menjadi rumah 37 spesies burung, salah satunya termasuk kategori kritis. Dari sisi masyarakat, pengembangan wisata mangrove ini mampu meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat pengelola hingga Rp 1,1 miliar pada 2016.

Pengembangan wisata hutan mangrove merupakan salah satu program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Pertamina Refinery VI Balongan.

Keberhasilan Pertamina Refinery VI Balongan ini tidak terlepas dari dukungan KLHK melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Proper adalah salah satu kebijakan voluntary lingkungan yang diakui dunia (Asfah, 1996; Blackman et al.,2004; Garcia et al.,2007) dan menjadi pendekatan efektif untuk memantau komitmen perusahaan terhadap lingkungan dan sosial.

Berbagi peran dan kerja sama antarpihak ini urgen untuk memperbarui regulasi obyek vital nasional. Tanpa kejelasan peran dan kerja sama antarpihak, proses rehabilitasi lingkungan dan sosial sulit diwujudkan.