Peraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Asing, merupakan isu sentral demo buruh pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei 2018.
Perpres ini dipandang memudahkan bagi masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. Padahal, jika dicermati secara mendalam, perpres ini justru lebih ketat mengatur tentang penggunaan TKA, jika dibandingkan dengan Perpres No 72 Tahun 2014 tentang hal yang sama.
Syarat lebih ketat
Setidaknya ada lima ketentuan persyaratan yang lebih ketat pada Perpres No 20 Tahun 2018 jika dibandingkan dengan Perpres 72 Tahun 2014. Ketentuan tersebut antara lain soal dokumen yang harus dilengkapi, prosedur izin perpanjangan penggunaan TKA, jaminan pemberi kerja dan kewajiban perlindungan.
Perpres No 72 Tahun 2014, tidak mengatur tentang pembatasan jabatan tertentu. Sementara, Perpres No 20 Tahun 2018, mengatur TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu. Di samping itu, kementerian/lembaga terkait menentukan syarat kualifikasi dan kompetensi, atau melarang TKA untuk jabatan tertentu.
Ketentuan lain yang cukup ketat adalah tentang isi atau data dalam Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Dalam Pasal 7 Perpres No 72 Tahun 2014 diatur isi RPTKA meliputi: alamat perusahaan; nama perusahaan; jabatan; lokasi kerja; jumlah TKA; dan/ atau kewarganegaraan.
Data tersebut lebih sederhana dibandingkan dengan isi RPTKA pada Pasal 7 Perpres No 20 Tahun 2018 yang meliputi: alasan penggunaan TKA, jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan, jangka waktu penggunaan TKA; dan penunjukan tenaga kerja
Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan.
Ketentuan ini berarti mewajibkan pemberi kerja sudah harus memiliki perencanaan yang lebih rapi dan sudah harus mempersiapkan tenaga kerja Indonesia yang akan menjadi pendamping TKA.
Selain itu, Perpres No 20 Tahun 2018 mengatur syarat permohonan pengesahan RPTKA yang harus melampirkan sejumlah dokumen. Dokumen dimaksud meliputi surat izin usaha dari instansi yang berwenang; akta dan keputusan pengesahan pendirian dan/atau perubahan dari instansi yang berwenang; bagan struktur organisasi perusahaan, surat pernyataan untuk penunjukan Tenaga Kerja Pendamping dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kerja; dan surat pernyataan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai kualifikasi jabatan yang diduduki TKA.
Sementara, dalam Perpres No 72 Tahun 2014, ketentuan ini tidak diatur.
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa Perpres No 20 Tahun 2018 jauh lebih ketat adalah soal prosedur perpanjangan. Jika peraturan sebelumnya mengatur izin perpanjangan cukup diterbitkan kepala daerah, gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk, pada perpres baru, izin perpanjangan harus disampaikan kepada menteri.
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa Perpres No 20 Tahun 2018 lebih ketat adalah kewajiban pemberi kerja untuk menjamin keberadaan TKA dan kewajiban untuk memberikan jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketentuan ini, dapat dijadikan sebagai modal bagi pemerintah Indonesia, dalam diplomasi ketenagakerjaan, agar negara lain juga mengatur kewajiban memberikan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Pengecualian dan kemudahan
Ketentuan dalam Perpres No 20 Tahun 2018 yang dipermasalahkan oleh berbagai pihak adalah soal pengecualian kewajiban memiliki RPTKA, hilangnya kewajiban menurus Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dan kemudahan dalam keadaan darurat.
Pasal 43 Undang-Undang Tenaga Kerja (UU No 13 Tahun 2003) mengatur tentang pengecualian kewajiban memiliki RPTKA, yaitu tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. Pada Perpres No 72 Tahun 2014, pengecualian kewajiban memiliki RPTKA berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, dan badan-badan internasional.
Sementara, pada Perpers No 20 Tahun 2018 pengecualian memiliki RPTKA berlaku bagi: pemegang saham yang menjabat sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA, pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.
Ketentuan tentang pengecualian kewajiban memiliki RPTKA bagi pemegang saham yang menjabat sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA sebagaimana diatur dalam Perpres No 20 Tahun 2018 memang tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun, UU tersebut juga tidak mengatur tentang larangan memberlakukan pengecualian kewajiban memiliki RPTKA bagi pemilik saham.
Ketentuan pengecualian kewajiban memiliki RPTKA bagi TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemerintah, juga tidak diatur dalam UU No 13 Tahun 2003, namun UU tersebut mengatur pengecualian bagi instansi pemerintah.
Selain itu, ketentuan yang juga dipermasalahkan adalah tidak diaturnya tentang Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dalam Perpres No 20 Tahun 2018. UU No 13 Tahun 2003 tidak mengatur tentang IMTA, melainkan mengatur tentang Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA).
Dalam penjelasan Pasal 43 Ayat (1) disebutkan bahwa rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing (RPTKA) merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Sebutan IKTA, berubah menjadi IMTA. Dalam Perpres No 20 Tahun 2018, IMTA berubah menjadi kewajiban bagi pemberi kerja untuk menyampaikan data tentang TKA yang akan bekerja yang kemudian akan diterbitkan nofitifikasi.
Pada pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, pemberi kerja TKA dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama dua hari kerja setelah TKA bekerja. Menteri atau pejabat yang ditunjuk, mengesahkan paling lama satu hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Tantangan dalam ketentuan ini adalah mempertegas jenis-jenis dan situasi yang dianggap sebagai situasi darurat dan mendesak.
Lebih memberikan kejelasan
Perpres No 20 Tahun 2018 dinilai dapat memberikan kejelasan bagi investor atau pemberi kerja dan bagi pemerintah daerah. Bagi investor, kejelasan tentang waktu yang dibutuhkan untuk mengurus syarat dan prosedur pengurusan izin penggunaan TKA akan memberi kepastian dalam melakukan usaha.
Bagi pemerintah penegasan kewajiban penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan dan persyaratan melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA, akan memberikan peluang bagi ribuan orang muda Indonesia untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya, sehingga pada gilirannya akan memperbesar peluang untuk memperoleh kesempatan kerja.
Di samping itu, pengaturan dan pembagian dana kompensasi penggunaan TKA, akan memudahkan pemda memprediksi penerimaan pendapatan bukan pajak dan memperbaiki perencanaan pembangunannya.
Sebelumnya, dana kompensasi tak diatur dalam perpres dan tak ada kejelasan pembagian dana kompensasi bagi pemda. Kini, perpres baru ini menentukan dana kompensasi penggunaan TKA, yang dibayarkan pada tahun ke dua dan seterusnya, merupakan pendapatan pemda. Artinya, pemda dapat menghitung besar dana yang akan diterima.
Dana kompensasi yang harus dibayar untuk tiap penggunaan TKA saat ini adalah 100 dollar dollar AS per bulan per orang dan dibayar sekaligus di muka dalam satu tahun. Artinya, jika ada 100 orang TKA, maka pada tahun kedua masa kerja TKA, pemda sudah dapat memperkirakan pemasukan untuk (APBD)-nya, 1.200 x 100 orang, dikalikan nilai tukar rupiah pada saat itu. Katakanlah, nilai tukar dolar terhadap rupiah saat ini Rp 13.000 maka dalam satu tahun pemda akan memperpleh 1.200 dollar AS x 100 orang x Rp 13.000.00 = Rp 1.560.000.000.
Dengan dana ini, pemda seharusnya dapat memanfaatkannya untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi pekerja Indonesia yang ada di daerahnya.
Tuntutan cabut perpres
Beberapa kelompok demo buruh dalam rangka Hari Buruh 2018, menyerukan dicabutnya Perpres No 20 Tahun 2018.
Seandainya, pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, dan kembali ke Perpres 72 Tahun 2014, siapakah yang akan memperoleh keuntungan atau manfaat?
Benarkah buruh yang berdemo akan memperoleh manfaat, dari dicabutnya perpres tersebut? Hanya merekalah yang tahu.
Yang jelas, buruh yang berseru untuk cabut Perpres 20 Tahun 2018, tak akan pernah mengalami kerugian bila perpres benar-benar dicabut. Tetapi yang pasti, kerugian akan dialami oleh ribuan orang muda Indonesia dan pemda. Ribuan orang muda yang sedianya berpeluang menjadi tenaga pendamping dan meningkatkan kapasitasnya, tak lagi ada kepastian. Harapan bagi pemda untuk meningkatkan pendapatan APBD-nya pun, akan lenyap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar