Indonesia Corruption Watch merilis temuannya soal rendahnya hukuman terdakwa korupsi. Rata-rata hukuman korupsi hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Rendahnya vonis hakim sejalan dengan rendahnya tuntutan jaksa kasus korupsi sepanjang 2017. ICW menghitung tuntutan rata-rata jaksa terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan. Besarnya kerugian negara tidak sebanding dengan tuntutan pengembalian uang pengganti. Menurut catatan ICW, kerugian negara akibat korupsi Rp 29,4 triliun, sementara uang pengganti yang diputuskan hakim hanya Rp 1,4 triliun. Hanya 4,91 persen!
Temuan ICW paling tidak menggambarkan betapa tidak seriusnya elite bangsa memberantas korupsi. Korupsi masih dipandang sebagai oli dari pembangunan ekonomi. Pembagian komisi dari transaksi bisnis dipandang sebagai hal biasa. Mungkin hanya Komisi Pemberantasan Korupsi yang serius memberantas korupsi meski dukungan elitenya pun lemah.
Hukuman badan, apalagi terlalu ringan, tidak memberikan efek jera tanpa perampasan aset hasil korupsi. Dimensi perampasan aset hasil korupsi melalui tindak pidana pencucian uang inilah yang mau kita dorong. Hukuman badan haruslah ditambah dengan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik ataupun perampasan aset hasil korupsi.
Dari kacamata ekonomi, tanpa perampasan aset hasil korupsi, terpidana korupsi masih bisa membiakkan uang korupsi yang berhasil mereka sembunyikan. Berada di penjara, terdakwa korupsi masih bisa menikmati dan "membeli" suasana di penjara sambil menikmati hasil korupsi yang berhasil dia sembunyikan.
Aspek perampasan hasil korupsi melalui tindak pidana pencucian uang inilah yang mau kita dorong untuk ditegakkan terhadap terpidana korupsi. Tentunya akan ada gugatan soal hak asasi manusia terdakwa korupsi, tetapi harus juga disadari akibat dari praktik korupsi, rakyat juga merasakan dampaknya.
Pemberantasan korupsi membutuhkan kepemimpinan yang kuat, bukan kepemimpinan yang mengedepankan citra personal. Kepemimpinan yang kuat, yang mendukung penuh eksistensi KPK memberantas korupsi. Kepemimpinan yang terlalu banyak mengandalkan citra personal hanya akan memunculkan sinisme publik. Kita melihat Presiden Joko Widodo punya modal untuk memberantas korupsi. Hanya masalahnya, apakah agenda pemberantasan korupsi masih ada dalam agenda pemerintahan yang dipimpinnya.
Retorika korupsi banyak diproduksi. Korupsi kuat dalam retorika, tetapi lemah dari sisi implementasi. Kita angkat kembali Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 14 September 1965, berjudul "Pentjolengan Ekonomi". "Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi….Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah 'pembitjaraan lagi' tapi tindakan kongkrit. Tangkap mereka, adili, hukum, gantung, tembak!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar