REUTERS/THOMAS PETER

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Xi Jinping di Beijing, China, 9 November, 2017.

Delegasi AS dan China mengakhiri pertemuan di Beijing. Pertemuan itu tampaknya belum memberikan hasil konkret selain komitmen untuk melanjutkan pembicaraan.

Perhatian besar diberikan oleh berbagai kalangan terhadap pertemuan delegasi AS dengan delegasi China tersebut. Berlangsung pada Kamis-Jumat (3-4/5/2018), pertemuan dinilai tak hanya menjadi ajang untuk menegosiasikan ancaman tarif impor yang dilancarkan tiap-tiap pihak, tetapi juga menjadi sinyal mengenai arah strategi setiap negara.

Pembicaraan delegasi AS dengan delegasi China merupakan bagian dari rangkaian kejadian setelah munculnya ancaman perang dagang di antara kedua negara. Perseteruan dagang terjadi sejak Presiden Donald Trump mengumumkan rencana penerapan tarif impor hingga 150 miliar dollar AS atas produk-produk China, terutama yang berteknologi tinggi. Beijing "membalas" dengan mengumumkan rencana penerapan tarif impor atas sejumlah produk, seperti kedelai, asal AS. Dilaporkan, pihak yang terancam terdampak atas tarif impor produk pertanian ialah masyarakat pendukung Trump.

Penerapan tarif oleh AS dilihat banyak kalangan telah merusak perdagangan bebas yang selama ini berjalan. Lewat penerapan tarif impor baja dan aluminium, misalnya, Washington berhasil memaksa sejumlah negara untuk bernegosiasi sendiri-sendiri dengan Pemerintah AS.

Dalam situasi itulah berlangsung pertemuan antara delegasi AS, yang antara lain terdiri atas Menteri Keuangan Steven Mnuchin, dan delegasi China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Liu He. The Wall Street Journal menulis, Washington memberi Beijing daftar "tuntutan" yang perlu dipenuhi guna menghindari perang dagang. Tuntutan meliputi, antara lain, pengurangan ketidakseimbangan perdagangan kedua negara. China harus mengatasi defisit yang dialami AS sebesar 200 miliar dollar hingga akhir 2020. China diminta pula menghentikan dukungan pemerintah negara itu terhadap industri teknologi tinggi mereka.

Sebelum ini Washington menekan perusahaan-perusahaan AS untuk tidak menjual produk Huawei dan ZTE, dua raksasa penghasil ponsel dan perlengkapan telekomunikasi asal China, karena diklaim dapat digunakan untuk mematai-matai warga AS. Langkah ini jelas akan menghambat China yang ingin menjadi negara utama dalam produk teknologi, seperti dinyatakannya lewat program "Made in China 2025". Lewat kebijakan ini, China hendak bertransformasi dari pembuat sepatu olahraga dan pakaian jins menjadi penghasil barang teknologi tinggi.