Dalam sejarah penyebaran dan pengajaran Islam di tanah Jawa, dari sekian banyak kota, bisa dikatakan Pati termasuk "tlatah" para wali.

Tanahnya menyimpan banyak layon ulama kinasih Allah, termasuk Syekh Jangkung yang makamnya ada di selatan kota.

Saridin nama kecilnya. Dia hidup pada abad ke-16 atau ke-17. Tidak ada angka pasti, tetapi dikisahkan bahwa dia jadi kakak ipar Sultan Agung yang memerintah Mataram pada abad ke-17. Tutur tinular menyebutkan ia berdarah biru. Konon, garis silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dia juga terbilang sebagai cucu Sunan Kalijaga dari Sunan Muria. Dalam cerita ketoprak, ia ditampilkan hidup berkekurangan dan dilecehkan kakak iparnya, Branjung.

Yang tipikal dari karakter Saridin ialah kejujurannya yang tanpa reserve. Tatkala diinterogasi dalam kasus pembunuhan Branjung yang tak disengaja, Saridin bicara apa adanya, yang justru membuahkan vonis mati dari penguasa Pati. Berkat keajaiban, dia selamat dari tali gantungan, lalu berkelana mencari diri sejati.

Tokoh eksentrik

Dia tidak mewariskan petuah dengan narasi adiluhung. Lisannya hanya menyuarakan bahasa rakyat kebanyakan. Keluguan adalah pembawaannya, seakan- akan dia tidak ngeh dianugerahi keunggulan supranatural: iduneidu geni, ludahnya ludah api. Apa pun yang dia ucapkan pasti terjadi.

Ketika nyantri di pedepokan Pangeran Kudus, keturunan Sunan Kudus—ada yang menyebut itu Sunan Kudus sendiri—pagi-pagi, Saridin menguras selokan di belakang kulah. Para santri heboh melihat Saridin menangkapi ikan yang berkecimpung di comberan dan melaporkan hal itu kepada Pangeran Kudus. Kemudian terjadi dialog yang menarik antara guru dan murid.

Ketika ditanya kenapa di saluran air itu ada ikan, Saridin menjawab lugas, tanpa motif pamer: "Saben ana banyu, mesthi ana iwake." Lantas, Pangeran Kudus menyorongkan kendi. Untuk menguji pernyataan Saridin, dia bertanya apakah di air kendi itu ada ikan. Saridin menjawab: ada, dan itu benar. Juga, tatkala disodorkan buah kelapa dengan pertanyaan yang sama, lagi-lagi postulat Saridin terbukti: "Di mana ada air, di situ ada ikan." Kelapa dibelah. Dari dalam airnya, ikan wader berlompatan.

Figur Saridin adalah pasemon tentang citra insan selaku titah, hamba, yang dalam tutur orang Jawa tidak sepantasnya adigang-adigung-adiguna. Ia tak memanfaatkan "kesaktiannya" buat menggagahi hukum alam atau mengeksploitasi sesama demi kepentingan pribadinya. Dengan ikhlas dia menjalani hidup sebagai fakir. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia berikhtiar dengan kedua tangannya. Diolok-olok orang bodoh pun dia tidak tersinggung. Diburu sesama santri yang iri hati, dia hanya lari menghindar.

Dalam kalbunya, kalimat Syahadat bukan sekadar ikrar beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Kesaksian itu dihayati menjadi gerak hati, pikiran, dan perilaku. Konon, saat Pangeran Kudus menyuruh dia mengucapkan dua kalimat Syahadat, Saridin justru pergi ke luar dan memanjat pohon kelapa, lantas terjun. Ia tidak cedera sama sekali. Sang guru menjabarkan kepada para santri bahwa Saridin tak sekadar bersyahadat di bibir, tetapi dengan seluruh dirinya. Dia pasrah dan tawakal secara total kepada Tuhan. Muslim dalam pengertian kafah. Kesempurnaan iman membuat apa yang dia pikirkan dan yakini menembus batasan dimensi dan mewujud materi, sebagaimana postulatnya: "Saben ana banyu, mesthi ana iwake."

Dalam setiap agama banyak tokoh eksentrik dan eksentrisitas tampaknya jalan yang nyaman bagi Saridin, sebagaimana jalan Sunan Kalijaga sendiri. Islam tumbuh subur di Nusantara berkat penghargaan atas keunikan tiap-tiap pribadi dalam penghayatan keyakinannya tanpa merusak syariat yang baku. Syariat tidak membelenggu pribadi beriman untuk berkembang dalam spiritualitas dan kedekatan personal dengan Tuhannya.

Uniknya, kronik tentang tokoh-tokoh spiritual atau agama di Nusantara, nyaris tiada figur yang bebas dari bumbu mitos. Riwayat jadi hikayat. Kita pun sukar memilah fakta dari fiksi. Di Bawean, saya mendengar cerita tentang Maulana Umar Mas'ud. Tatkala dia datang, dari kejauhan orang melihat kapal besar. Setelah mendekati pantai, bahtera itu bersalin rupa jadi ember, dan tiang layarnya tongkat sang wali. Para pujangga tidak mempersoalkan hal ini. Yang ditekankan sahibul hikayat terutama pemuliaan sang tokoh dan pengajaran budi pekerti bagi penyimak tembang, serat, atau babad.

Dikisahkan bahwa Saridin dijangkung, diayomi, dibimbing oleh spirit Sunan Kalijaga. Itulah sebabnya, dia terkenal dengan julukan Syekh Jangkung. Pada suatu hari, ia diperintahkan tapa ngrombang, menghanyutkan diri di laut, dengan dua butir kelapa sebagai pelampung. Saridin pasrah dan ikhlas melaksanakan dawuh sang guru.

Di titik ini kita dapat memetik hikmah dari perjalanan Syekh Jangkung menggapai ilmu sejati demi kehidupan sejati. Saridin adalah kita. Sunan Kalijaga yang menjangkungi Saridin adalah hati nurani yang jadi reseptor sinyal suci Ilahi yang membimbing kita tanpa perantara.

Simbolisme puasa

Tapa ngrombang Saridin dapat dimaknai sebagai simbolisme puasa, yang dalam syariat Islam diwajibkan selama Ramadhan. Tirakat di samudra juga tercatat dalam legenda Sunan Kalijaga alias Syekh Melaya sendiri. Boleh jadi, ini semacam parafrase bagi ajang cobaan nan luas dan dalam, diterpa gelombang, serta kengerian maut yang mengintai. Betul-betul menguji tingkat kepasrahan seorang hamba untuk menggapai tauhid sejati.

Dua kelapa Saridin di samudra pelambangan sahur dan iftar (buka) kita. Kalau kedua kelapa itu menyelamatkan Saridin dari bahaya tenggelam, maka sahur dan iftar mengamankan kita dari ekses kelaparan di luar kewajiban syariat puasa.

Laut Saridin adalah ruang khalwat tanpa dinding yang memisahkan dia dari keramaian dunia. Adapun ruang khalwat kita di relung batin. Misykat bagi cahaya kecil yang mendambakan Mahacahaya. Ceruk pengasingan kalbu dari rangsangan berseteru.

Menilik hakikatnya, puasa kita tidak lebih ringan daripada tapa Saridin. Yang membuat figur ini tampak istimewa adalah imannya yang paripurna sehingga ia bebas membuat postulat dan Tuhan mengizinkan dia menyibak hakikat. Bukan sebab dia setara Gusti Pangeran Sejati, tapi semata-mata karena Allah sudah mencintai sang titah. Dia mencintai hamba-Nya dengan cara yang tidak tergapai akal di ruang personal yang unik menurut kepribadian yang bersangkutan. Anugerah yang tidak bisa diintervensi, apalagi dipersekusi, oleh orang lain.