TOTO SIHONO

20 TAHUN REFORMASI

Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk berbenah. Kuncinya ada pada kemauan politik pemerintah. Dalam rentang waktu tersebut, kita telah beberapa kali berganti presiden, dengan semangat reformasi dan demokrasi mengalir dalam tiap-tiap sendi sistem pemerintahan.

Reformasi membuka pintu- pintu untuk menyelesaikan permasalahan masa lalu dan membangun wacana-wacana konstruktif untuk masa depan. Fondasi utama agar dimungkinkan hal seperti ini dilakukan adalah terjadinya perubahan relasi dan kekuatan politik antara negara dan masyarakat sipil. Kemampuan negara untuk mendikte masyarakat, serta mengekang dan membungkam yang dilakukan rezim Orde Baru pada kebebasan masyarakat, lalu penggunaan aparat untuk menopang kekuasaan, dimentahkan oleh semangat reformasi.

Kebebasan ini kita dapat sebagai konsekuensi dari perimbangan kekuatan antara masyarakat sipil dan negara. Alhasil, negara tidak lagi memiliki kuasa sendiri untuk menghegemoni masyarakat dan mencengkeram kebebasan sipil. Dengan kebebasan inilah kemudian masyarakat sipil mampu mengawasi kinerja pemerintah, dan mengkritisi jika terdapat penyalahgunaan wewenang dan perihal tugas yang dijalankan aparat. Mengawasi dan mengkritisi pemerintah menjadi suatu hal yang sangat diperlukan dalam masa demokrasi.

Ketika Orde Baru berkuasa, negara berada pada posisi lebih kuat daripada masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki kemampuan untuk meredam gerakan masyarakat sipil. Kondisi ini biasa disebut otoritarianisme atau relasi zero-sum. Perubahan relasi yang disebabkan oleh menguatnya masyarakat sipil dan melemahnya rezim merupakan salah satu proses demokratisasi. Ketika perimbangan kekuatan di antara dua kekuatan terjadi (negara-sipil), yang terjadi kemudian adalah sebuah konsolidasi antara negara dan masyarakat sipil, serta muncullah relasi positif-sum (Samuel Huntington, 1995). Terciptanya check and balance antara masyarakat sipil dan negara dimulai dari hal ini sehingga konsolidasi demokrasi dapat bergulir.

Adanya perubahan relasi antara negara dan masyarakat membawa angin segar untuk proses demokrasi dan konsolidasi demokrasi yang konstruktif. Dengan begitu, hal-hal yang belum selesai dalam agenda reformasi sudah sepatutnya segara diselesaikan untuk menciptakan pemerintahan dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Belum selesai

Beberapa hal yang belum selesai dalam agenda reformasi adalah persoalan penegakan supremasi hukum dan penghapusan dwifungsi ABRI (TNI). Dua hal ini berkaitan dengan salah satu poin penting dalam Nawacita, yaitu turunan dari Nawacita nomor empat, bahwa pemerintah menghormati HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Narasi besar dalam Nawacita nomor empat tersebut adalah memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Jika kita amati, narasi ini secara jelas dan terang memiliki relevansi dengan salah satu agenda reformasi tadi, yaitu penegakan supremasi hukum. Semangat reformasi tampak dalam Nawacita. Namun, semangat tentu akan tinggal sesuatu yang formal jika tidak terdapat implementasi di dalamnya.

Pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu boleh jadi salah satu poin yang tak boleh dilewatkan dalam agenda reformasi. Mulai dari kasus Munir, Trisakti, Semanggi, penculikan aktivis 1998, dan masih banyak lagi. Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak boleh "tersandera" oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan pada masa lalu.

Di sisi lain, pengungkapan kasus HAM pada masa lalu juga mendapat tempat dalam irisan salah satu tuntutan reformasi, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI. Kasus-kasus HAM pada masa lalu sulit dilepaskan dari keterlibatan aparat negara dalam duduk persoalannya, seperti kasus penculikan aktivis 1998 dan pembunuhan Munir.

Selama kasus itu belum diselesaikan, selama itu pula TNI dan Polri (dulu ABRI) akan tersandera "dosa" masa lalu. Citra dua alat negara ini akan selalu dibayangi persoalan HAM pada masa lalu. Lebih jauh, bukan cuma menyandera nama institusi, melainkan juga menyandera orang per orang yang telah menjadi purnawirawan beserta karier politiknya.

Perlu diselesaikan

Salah satu bagian dari Nawacita ini bisa menjadi titik masuk dalam upaya reformasi hukum dan TNI kita. Reformasi hukum agar semua warga negara diperlakukan sama dan setara, tidak ada warga negara yang kebal hukum. Dengan begitu, penyelesaian kasus HAM pada masa lalu menandakan supremasi hukum tengah dijalankan. Mengungkap dan menyelesaikan kasus tersebut menandakan aktualisasi semua orang diperlakukan sama di mata hukum, siapa pun dia.

Kemudian, reformasi TNI agar TNI dapat fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Reformasi TNI bukan hanya soal pemutusan hubungan antara TNI dan politik praktis atau penghapusan dwifungsi ABRI, melainkan juga sampai pada penyelesaian kasus-kasus terdahulu yang melibatkan TNI di dalamnya. Hal ini juga berlaku bagi Polri. Pembersihan atas rekam jejak menjadi yang penting dalam rangka reformasi secara holistik dan komprehensif.

Selama kasus HAM pada masa lalu belum selesai, TNI akan mendapat dua akibat. Pertama, profesionalitas dan citra TNI berpotensi surut, terutama pada waktu yang berkaitan dengan peringatan hari HAM. Kasus-kasus pada masa lalu tersebut akan selalu muncul dan ditagih di permukaan. Kedua, citra buruk sebagai pelanggar HAM akan melekat pada TNI secara institusi ataupun perseorangan, termasuk purnawirawan. Akibatnya akan signifikan, yaitu memungkinkan terjadinya penyanderaan politik, serta upaya-upaya untuk memolitisasi hal ini guna menghancurkan elektabilitas.

Hal-hal yang belum selesai dalam reformasi harus diselesaikan. Garis demarkasi antara reformasi dan pemerintah tidak boleh ada. Termasuk Nawacita, jangan sampai dipisahkan dengan cita-cita reformasi. Setiap pemerintahan harus dan wajib bersifat berkelanjutan, yang artinya tidak ada lagi politik cuci tangan atau politik cuci piring antarmasa pemerintahan.