Waspada Berlebihan
Pasca-serangan teroris di Surabaya, keamanan ditingkatkan di berbagai lokasi umum, terutama di ibu kota DKI Jakarta. Misalnya saja, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan tempat umum lainnya.
Ternyata bukan hanya tempat umum yang ditingkatkan keamanannya, melainkan juga jalan umum yang merupakan fasilitas publik. Akibatnya, sebagai pengguna jalan, saya dirugikan. Waktu tempuh yang biasanya saya butuhkan untuk tiba di kantor di bilangan Thamrin adalah sekitar 40 menit dari rumah di daerah Kelapa Gading, tetapi beberapa hari terakhir ini waktu tempuh menjadi lebih dari satu jam.
Belakangan saya mengetahui bahwa penyebab utamanya adalah karena Jalan Madiun—persis di depan rumah dinas Wakil Presiden—ditutup untuk umum, bukan hanya kendaraan bermotor, melainkan juga pejalan kaki. Jalan Madiun terlihat dipenuhi pasukan bersenjata, padahal di sekitar Jalan Madiun banyak tempat umum untuk warga beraktivitas, seperti tempat jajanan rakyat di Sunda Kelapa, rumah ibadah, dan perkantoran.
Penutupan Jalan Madiun menyebabkan kemacetan di sekitar Jalan Diponegoro, Imam Bonjol, Taman Suropati, dan Sunda Kelapa.
Penutupan jalan ini bukan kali pertama. Dua tahun lalu, pasca-tragedi bom Sarinah, juga berlangsung penutupan untuk beberapa waktu.
Apakah pengamanan yang terkesan berlebihan ini selalu harus dilakukan pasca-tragedi? Kenapa tidak dilakukan tindakan preventif? Saya membaca, serangan teroris di beberapa belahan dunia dilakukan dengan element of surprise, bukan saat keamanan meningkat.
Nico Hansen, Jalan Kaparinyo, Kelapa Gading Timur, Jakarta 14240
Terjebak Menabung
Pada 29 April 2018, saat di Lotte Mart Kelapa Gading, ada promosi pembukaan rekening tabungan deposito Rp 15 juta, ditahan Rp 1.250.000 selama 6 bulan dan sisanya selama 1 tahun, dengan bonus voucer MAP Rp 1 juta di booth OCBC NISP.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk membuka rekening tersebut pada hari Sabtu, 5 Mei 2018, di booth Mal Taman Anggrek. Saya dibantu petugas bernama Sarotun, saya sapa dengan Mbak Sarah.
Tanggal 5 Mei itu juga saya dapat kartu ATM (nonaktif) dan menyetor Rp 15 juta ke rekening penampung nomor 306800000060 atas nama GNC CBO Jakarta Direct Sales.
Saya menggunakan nomor 3 (Three) saya 0895336386xxx sebagai nomor di aplikasi. Nomor ini telah saya pakai selama bertahun-tahun dan teregistrasi resmi atas nama saya. Nomor ini juga saya gunakan sebagai kontak kartu kredit dan tabungan dari beberapa bank lain dan tidak pernah ada masalah.
Menurut Mbak Sarah, dalam 1-2 hari kerja sejak penyetoran, saya akan dihubungi OCBC NISP untuk tindak lanjut. Hari Selasa, 8 Mei 2018, Mbak Sarah melalui pesan Whatsapp menyatakan bahwa OCBC tidak dapat menelepon ke provider 3 untuk klarifikasi data saya. Saya diminta memberikan nomor lain, yang tidak saya miliki.
Sampai Jumat, 11 Mei 2018, saya hanya diberi dua opsi oleh Mbak Sarah: Ganti nomor ke provider lain atau rekening tabungan saya dibatalkan dan saya kena penalti Rp 1.250.000.
Menurut saya, kedua opsi merugikan sehingga saya minta supaya dana dikembalikan utuh. Sebaliknya, saya akan mengembalikan voucer MAP Rp 1 juta, ATM, buklet, yang saya dapat dari OCBC NISP. Namun, permintaan saya ditolak.
Saya minta penjelasan dari OCBC NISP, ada sengketa apa antara pihak bank dan provider 3 sehingga saya yang dirugikan seperti ini?
Jika sistem OCBC tidak bisa mengakui 3 sebagai nomor provider yang sah, mengapa sistemnya tidak diperbarui?
Kini, uang saya sebesar Rp 15 juta ditahan di OCBC NISP. Melalui surat pembaca ini, saya meminta uang saya dikembalikan dan saya menolak mengganti nomor saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar