Saya ini lagi berpikir, apakah yang dimaksud dengan darah daging itu sama dengan mereka yang akan mencintai, mendukung, membela saya dalam situasi dan kondisi apa pun juga. Bukan hanya diartikan bahwa darah daging itu berarti kandung semata, seperti yang saya baca di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Darah vs air
Beberapa hari lalu, saya membaca di sebuah akun media sosial seorang wanita, yang menjelekkan ibunya di ruang publik dan malah mensyukuri kalau ibunya mendapat musibah. Karena menurut cerita yang dibeberkan di akunnya itu, ibunya sering melakukan kekerasan secara fisik dan nonfisik kepadanya sejak kecil.
Tragedi di antara darah daging sebetulnya bukan hal yang baru saya baca. Saya percaya kalau Anda sekalian juga pernah membaca ada seorang anak yang tega membunuh orangtuanya, atau seorang bapak memerkosa anak kandungnya sendiri.
Dalam sebuah penerbangan, saya menyaksikan film yang menceritakan seorang gadis remaja yang menceritakan masa kecilnya yang disetubuhi ayahnya, dengan sepengetahuan istrinya sendiri, dan sang istri membiarkan suaminya melakukan hal itu.
Tayangan dalam film dan pengakuan seorang wanita di media sosial di atas membuat saya kepikiran sampai beberapa hari dan kemudian berpikir kalau darah daging itu tak menjamin apa-apa. Maksud saya, bisa jadi ada darah daging yang akan membela, melindungi, tetapi ada kemungkinan tidak sama sekali.
Ataukah darah daging itu hanya sebuah istilah saja yang berarti kandung, seperti yang saya tuliskan di atas, dan tak ada kaitannya sama sekali dengan tanggung jawab di antara darah daging itu sendiri. Jadi, di dunia ini ada darah daging yang membela, melindungi, dan mencintai, atau sebaliknya memerkosa dan membunuh.
Kemudian, saya teringat akan pepatah yang berbunyi blood is thicker than water, yang artinya hubungan dan loyalitas dalam sebuah ikatan keluarga adalah ikatan yang terkuat dan terpenting dibandingkan ikatan dalam sebuah pertemanan. Terus bagaimana dengan kasus-kasus seperti yang saya tulis di atas?
Apa yang sejatinya dimaksud dengan ikatan keluarga yang terkuat dan kental itu? Apakah itu dukungan penuh dari kepala dan anggota keluarga dalam segala situasi? Apakah saking kentalnya, tanpa terasa ada sebuah ownership oleh satu atau beberapa anggota dalam menentukan kehidupan anggota lainnya?
Rasa bersalah atau cinta?
Maka, mencari jodoh untuk anaknya harus ditentukan oleh salah satu pihak, melarang ini dan itu atas nama cinta orangtua terhadap anak, membiarkan adik atau kakak untuk salah satunya mengalah dalam beberapa kondisi, dan bukan mengalah karena sebuah pengertian. Menyembunyikan salah satu anggota yang cacat karena malu untuk menjaga image keluarga, atau berhak memukul anak untuk mendisplinkan.
Dalam kehidupan saya, sejujurnya saya tak pernah merasa blood itu thicker than water. Sejujurnya saya lebih menyukai ikatan pertemanan meski mungkin itu bukanlah sebuah bentuk ikatan yang kuat dan dengan tingkat loyalitas yang tinggi. Justru saya menikmati tidak adanya ikatan kuat di antara pertemanan itu.
Ikatan keluarga yang kental sering kali memberi rasa bersalah. Entah rasa bersalah yang sengaja disusupkan sejak kecil dahulu sehingga kekuatan ikatan itu bukan berdasarkan kasih, melainkan karena rasa sungkan dan takut.
Ikatan yang kental itu pernah masuk ke gendang telinga saya seperti ini. "Siapa yang akan ngurus bapak atau ibu kalau sudah tua?" Atau ada kalimat yang meluncur dari mulut seorang anak. "Nyokap yang jagain anak gue." Maka, acapkali orangtua dapat dijadikan pengasuh cucunya.
Saya sendiri tak tahu apakah orangtua yang demikian sangat mencintai anak dan cucunya atau sekadar berpikir, "Itu, kan, anak saya. Itu anaknya darah daging saya."
Bagaimana kalau ada orangtua yang tak mau melakukan itu? Yang menganggap keputusan anak untuk menikah dan punya anak merupakan tanggung jawab mereka. Apakah orangtua dianggap orangtua yang tega yang tak memberi dukungan kepada darah dagingnya sendiri?
Sambil menulis artikel ini, saya jadi mengevaluasi apa yang dimaksud dengan kekentalan ikatan itu. Apakah selama ini kekentalan ikatan yang terjadi di dalam keluarga saya itu hanya berdasarkan beban yang diberikan orangtua kepada anak atau sebaliknya? Sehingga, kalau tidak menolong mereka, itu sama dengan tidak menghormati mereka. Karena tidak menghormati, timbul rasa bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar