Ilustrasi: Pegawai swasta melihat siaran televisi di Jakarta, Jumat (30/12/2016). Masyarakat mengkritisi munculnya rumusan lembaga penyiaran khusus di RUU Penyiaran versi 7 Desember.

Sikap pro dan kontra mengenai pilihan model pengelola multiplex menyebabkan proses perumusan draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran mandek.

Lebih dari satu tahun, draf RUU Penyiaran tertahan di Badan Legislasi  (Baleg). Sampai akhir masa sidang kedua 2018, belum ditetapkan jadi RUU.

Ada perbedaan sikap antara Baleg dan Komisi I DPR dalam hal pilihan pengelola (operator) multiplex. Komisi I mengusulkan agar pengelola multiplex  dipegang satu pihak yang merupakan representasi negara dan disebut single mux. Sementara Baleg menghendaki agar swasta juga dilibatkan sebagai penyelenggara multiplex dan melahirkan istilah multimux.

Pertemuan antara pimpinan DPR dan Menkominfo pada Februari 2018 menyepakati model hibrida sebagai jalan tengah. Model ini pada dasarnya sama dengan multimux.

Penentuan pengelola multiplex dalam sistem penyiaran digital merupakan isu krusial karena aspek ekonomi politiknya sangat tinggi. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan digitalisasi televisi terestrial melahirkan model bisnis yang berbeda karakter dibanding sistem analog.

Dalam sistem analog, setiap lembaga penyiaran memiliki kewenangan mengelola dua aspek sekaligus, yakni program siaran (content) dan teknologi pemancar-luasan siaran (frekuensi).

Kemungkinan digital

Namun, sistem digital menawarkan dua kemungkinan.  Pertama, model terpisah antara penyelenggara program siaran (content provider) dan penyelenggara saluran (channel provider), populer disebut multiplexer.

Pilihan atas model pertama dengan sendirinya akan melahirkan dua jenis perizinan, yakni izin sebagai penyelenggara program dan izin sebagai penyelenggara saluran/multiplex.

Memilih penyelenggara program berarti inti bisnisnya adalah penyediaan konten siaran yang bisa jadi nilai sosial politik tinggi, tetapi secara ekonomi belum tentu menjanjikan. Sementara sebagai pengelola multiplex (multiplexer) yang diurusi adalah aspek teknologi pemancar luasan isi siaran, secara politik bisa jadi kurang menarik. Itu sebabnya, pilihan model pertama ini akan dihindari lembaga penyiaran swasta yang ada saat ini.

Kedua, model penggabungan seperti era penyiaran analog, yakni satu badan hukum bertindak sebagai penyelenggara program sekaligus sebagai pengelola multiplex. Dengan demikian, pengelolaan multiplex tidak hanya di tangan negara, tetapi juga melibatkan swasta.

Opsi kedua ini memberikan jaminan bahwa aspek ekonomi politik yang tinggi dari industri penyiaran dapat dipertahankan. Maka, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) kini berjuang habis-habisan agar Indonesia memilih model multimux yang memungkinkan mereka bisa menjadi penyelenggara program sekaligus sebagai penyelenggara multiplex.

Terkait dengan pilihan model pengelola multiplex memang ada dua kelompok yang berbeda pilihan. Kalangan LPS didukung anggota DPR di Baleg memilih model multimux,sedangkan elemen akademisi, organisasi masyarakat sipil yang peduli pada demokratisasi penyiaran, RRI dan TVRI didukung oleh Komisi I DPR memilih single mux.

Mengingat kuatnya polarisasi, artikel ini dimaksudkan untuk membuka dialog agar terjadi saling memahami dan kemudian mendukung pilihan terbaik bagi bangsa dan negara.

Para pendukung model single mux bukannya tidak tahu kalau banyak negara yang melaksanakan digitalisasi penyiaran menerapkan model multimux. Namun, pandangan ideologis atas kepentingan bangsa dan negara menjadi sikap dasar yang menguatkan pilihan single mux.

Tiga landasan

Ada tiga landasan pemikiran mengapa untuk konteks Indonesia, saat ini pilihan yang paling sesuai adalah single mux.

Pertama, secara filosofis UUD 1945 mengamanatkan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Mengingat penyelenggaraan penyiaran televisi digital secara  terestrial masih menggunakan frekuensi sebagai kekayaan alam, dengan sendirinya ketentuan yang dibuat untuk itu harus tunduk pada amanat konstitusi.

Apalagi frekuensi yang dialokasikan untuk penyelenggaraan penyiaran jumlahnya terbatas. Demi keadilan, pengelolaannya harus di tangan negara dan operasional diserahkan kepada lembaga yang independen.

Pilihan itu diperkuat oleh ketentuan Ayat (2) Pasal 33 konstitusi yang mengatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara".

Dengan demikian, pelibatan lembaga komersial dalam pengelolaan frekuensi untuk penyelenggaraan penyiaran bertentangan dengan konstitusi.

Kedua, secara sosiologis praktik penyelenggaraan penyiaran swasta selama 15 tahun berlakunya UU Penyiaran No 32/2002 ternyata gagal mewujudkan demokratisasi penyiaran yang ditandai adanya keberagaman kepemilikan dan isi siaran.

Jagat Indonesia akhirnya hanya dikuasai televisi swasta (TVS) Jakarta yang kepemilikannya ada di tangan beberapa orang saja. Amanat UU No 32/2002 untuk mewujudkan Sistem Siaran Berjaringan (SSJ) gagal dilaksanakan sehingga makin memperkokoh dominasi TVS Jakarta atas Indonesia  (Armando, 2011).

Setiap tahun, lebih dari 50 persen anggaran iklan mengalir deras hanya ke  TVS Jakarta, sementara sisanya baru dikucurkan untuk berbagai jenis media lain. Selain itu, TVS Jakarta juga masih mendapatkan rembesan APBN berupa blocking time dari instansi pemerintah ataupun iklan layanan masyarakat.

Kegagalan mewujudkan demokratisasi penyiaran selama 15 tahun terakhir, jangan sampai terulang pada era digitalisasi. Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan pemisahan antara penyelenggara program dan penyelenggara multiplex. Berarti pilihan atas model pengelola multiplex adalah single mux.

Pilihan ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai keruwetan tata kelola penyiaran di Indonesia akibat tidak ditegakkannya UU No 32/2002 sehingga memberikan kemanjaan pada TVS Jakarta. Jika kelak sistem penyiaran sudah tertata dengan baik, bisa saja pilihan model pengelola multiplex ditinjau kembali sesuai dengan kebutuhan.

Ketiga, secara yuridis terdapat peraturan perundangan yang memberikan kewenangan tunggal kepada negara untuk menjadi penyelenggara layanan publik.

Misalnya, penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Melalui UU Nomor 1 Tahun 2009 dan PP No 77 Tahun 2012, ditetapkan bahwa Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) sebagai pengelola tunggal pelayanan navigasi. Hal itu dapat menjadi rujukan dalam penyusunan ketentuan bahwa pengelola multiplex untuk digitalisasi televisi terestrial sebaiknya menggunakan model single mux.

Pilihan model single mux sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo untuk mengembalikan kedaulatan atas frekuensi untuk siaran.