Proyek penataan trotoar sepanjang 7 kilometer memang berniat memberi kelengangan para pejalan Ibu Kota meski kita semakin ragu masih banyak pejalan di Ibu Kota. Tidak ada pohon meneduhi ketika berjalan. Kelengangan justru juga berarti dentum godam kematian bagi para pohon yang lebih duluan meneduhi, merimbuni, dan memberikan napas tanpa pamrih.
Kota-kota besar dengan timbunan proyek penataan telah menjadi musuh bagi pohon-pohon. Padahal, pohon adalah rumah biografis, kultural, religius, yang mengisari tata kehidupan keseharian umat manusia. Orang-orang di masa lalu memiliki pohon yang menandai kelahiran, berpindah rumah, membangun rumah, pernikahan, ataupun kematian. Bahkan dalam etosnya yang bersahaja, tidak pernah pohon melakukan proses biologis demi kepentingan sesama pohon. Keberadaannya menentukan siklus keberlangsungan hidup makhluk di bumi.
Iringan makna batiniah sekaligus fisik yang melingkupi pohon atau tetumbuhan membuat para penyair tidak meluputkannya sebagai tema atau etos. Pohon selalu hadir dalam penggambaran alam permai. Kita bisa mengingat puisi-puisi kealaman Sanoesi Pane dalam Puspa Mega yang terbit pertama kali pada 1927.
Sanoesi Pane membawa latar romantisisme Nusantara yang membidik mata para penjelajah Eropa. Mereka begitu takjub secara saintifik dan ekologis pada kehijauan Nusantara. Sementara Sanoesi Pane melanjutkan kerja para pujangga atau sastrawan kuno yang menjadikan alam dengan hamparan aneka flora sebagai wilayah puitik. Kita cerap puisi "Di Lereng Salak" (1975), "Gunung berleret, mulanya hijau,/Lenyap membisu jauh di sana./Padi menguning bagai kencana,/Sampai ke lereng redam berkilau./Sebelah selatan dapat ditinjau/Sebagian kecil Lautan Hindia—/Laksana tasik dipandang dia—/Di bawah perak membiru silau./Rumput halus bagai beledu,/Aku guling memandang s'orang,/Bagai minum keindahan alam".
Keindahan alam jelas menampakkan wilayah yang misterius, terpencil, dan dalam. Puisi romantik kealaman seperti pengingkaran dari eksploitasi ekologi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Alam pun menjadi tempat yang didiami secara batin, bukan hanya dipandang sedap. Segala flora tidak ada di perkotaan atau wilayah yang dipaksa jadi kota. Sanoesi Pane menutup puisinya dengan pernyataan yang dilematis secara geografis dan ekologis. Kota ada tanpa pelukan tetumbuhan. Begini, "Teringat kota aku tersedu;/Takut kembali ke tempat orang,/Tak mengenal perasaan dalam".
Dilema ekologis
Di salah satu puisi Joko Pinurbo, kita melihat pohon di kota sebagai peneduh bersama kedigdayaan patung yang biasanya semakin sering ditanam di kota. Ruang perkotaan semakin menyempitkan lahan hidup pohon dan keberadaannya yang sebenarnya sangat dibutuhkan, terlewati begitu saja. Kita cerap puisi "Jalan-jalan Bersama Presiden" (Buku Latihan Tidur, 2017), "Saya dan presiden menyusuri jalanan kota/yang tadi siang dipadati ribuan pengunjuk rasa./Desember dingin dan basah./Negara lelah./Payung bergelantungan di dahan pohon./Malam menggigil bersama ribuan slogan/yang menumpuk di tempat sampah./Saya dan presiden tertegun di depan patung/yang sedang merenung./Presiden tiba-tiba/membacakan sepotong sajak Rendra:/"Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku/menghadapi kemerdekaan tanpa cinta".
Kita bisa membayangkan, di Ibu Kota, sengatan matahari lebih membakar bersamaan bara amarah para demonstran. Hawa panas masih berlangsung meski siang berganti malam. Tatkala massa berkumpul, mereka mungkin baru sadar bahwa hidup perlu pohon, bukan sekadar untuk menggantungkan payung, tetapi juga napas hidup yang rembuyung.
Pohon adalah payung bumi. Slogan dan tempat sampah menganalogikan pohon yang sering terluka karena dipaku pelbagai iklan. Pohon justru menjadi tempat berlimpah sampah kebutuhan manusia. Betapa panas dan sepinya kota tanpa pohon.
Mencerap puisi "Di Cafe" (Buku tentang Ruang, 2017) garapan Avianti Armand, kita akan lebih merasakan satire keseharian manusia modern di ruang modern tanpa pepohonan. Avianti membaurkan fantasi hidup urban dan khazanah kerinduan sebagai makhluk ekologis. Kita cerap, "Di mejaku secangkir teh tersedu./Teh itu sepanas matahari./Aku mengenakan kacamata hitam untuk menahannya./Seandainya di luar ada sebatang pohon peneduh,/tentu aku bisa pulang".
Di sebuah kafe yang pasti ber-AC dan antigerah, si aku lirik ternyata masih saja membutuhkan kacamata dan peneduh. Di kota, sudah pasti kafe-kafe tidak mungkin tidak memiliki fasilitas pendingin ruang. Raga si aku dengan satire merindukan (rumah) pohon yang telah kalah oleh pembangunan dan dianggap tidak lagi diperlukan. Si aku sejenak mafhum bahwa teknologi peneduh paling canggih sekalipun hanyalah sebentuk imitasi. Ia harus membayar mahal untuk merasakan kembali kepurbaan seolah di bawah pepohonan.
Pohon masih mengakar di puisi sebagai bentuk kerinduan, kritik, dilema ekologis, ataupun sekadar obyek yang ditanam. Ia tidak akan mudah dipangkas dari imajinasi ekologi penyair dan pembaca. Tatkala kita sering gagal menziarahi pohon di tengah tuntutan menjadi manusia urban dan penjulangan ambisi pembangunan, puisi masih menyiapkan sepetak lahan untuk kita berkumpul merasakan angin nan semilir dan daun-daun jatuh dari percabangan ranting-ranting pohon.
Setyaningsih Penulis Esai dan Resensi Buku
Kompas, 5 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar