Cobalah tarik jarak sedikit dari dunia digital. Renungkan apa proses yang terjadi antara tubuh dan jiwa kita dengan teknologi informasi digital yang sudah telanjur menjadi habitat baru kita.

Kita akan melihat bahwa proses utama terjadi adalah proses keluar-masuk, input-output, informasi. Proses ini memang menyenangkan, apalagi jika bentuk informasinya berupa jokes, meme, gosip, video, breaking news, dan sebagainya, yang biasa kita pertukarkan dalam platform media sosial. Oleh sebab itu, tak heran jika media sosial adalah platform yang tumbuh paling pesat dan mendominasi internet.

Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat penyokong utama tumbuhnya medsos di dunia. Data dari We Are Social- Hootsuite, Januari 2018, mencatat jumlah pengguna aktif medsos di Tanah Air 130 juta orang. Padahal jumlah pengguna internet tercatat 132 juta orang.

Masih dari data sama, dari 2,17 miliar pengguna Facebook yang aktif per bulannya, 130 juta di antaranya adalah warga Indonesia, menduduki peringkat ke-4 dunia. Bekasi menduduki urutan ketiga setelah Bangkok dan Dhaka dalam jumlah pengguna, disusul Jakarta di peringkat ke-4.

Instagram juga mencatat Indonesia sebagai negara ketiga terbanyak penggunanya, setelah AS dan Brasil, dengan 53 juta pengguna.  Demikian juga di Twitter. Pada 2012, Jakarta pernah menjadi kota yang paling berisik di Twitter (Semiocast, 2012).

Bukankah catatan angka-angka itu "terlalu banyak" alias overdosis bagi kita? Apalagi jika dibandingkan tingkat literasi digital, bahkan literasi informasi umumnya rakyat Indonesia.

Kita baru bicara kuantitas, belum menyentuh konten. Untuk soal konten, kita akan lebih terkaget-kaget lagi. Di medsos, semua predikat keluhuran dan keadiluhungan budaya dan adab bangsa seakan lenyap tak berbekas. Bahasa kasar yang eksplisit, nada-nada kebencian, aura kemarahan, caci-maki, tiap hari menghambur di linimasa dan tembok-tembok medsos.

Saya yakin sebagian besar kita ingin berpola hidup sehat, bukan hanya menjaga raga, melainkan juga jiwa yang sehat. Destinasi wisata boga boleh tumbuh di mana-mana, rumah makan dan kafe baru hampir tiap hari bermunculan. Namun, justru pada saat yang sama, gaya hidup mengutamakan wellness makin jadi kesadaran yang tumbuh menjamur. Produk-produk bahan makanan organik, teknik masak yang benar dan sehat, macam-macam konsep diet dan detoksifikasi terus diminati masyarakat modern. Kesehatan jiwa raga atau wellness ini adalah resolusi paling laku saat tahun baru, doa yang selalu dipanjatkan tiap malam, dambaan tiap orang.

Kita tahu, wellness juga mencakup aspek mental dan emosional, selain fisik. Jadi mengapa kita tak memasukkan diet dan detoksifikasi medsos?  Mengapa kita tidak memasukkannya dalam agenda social wellness kita?

Ketika pertama mengimbau puasa atau detoksifikasi medsos, umumnya orang bereaksi negatif. Ini wajar, terutama bagi mereka yang telah menggunakan medsos untuk mencari teman dan bersilaturahim.

Ada juga yang menggunakan medsos untuk mencari berkah. Ini khas Indonesia. Bagi mereka, medsos menunjukkan sisi maslahatnya sebagai etalase bisnis dan jualan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Jika dulu orang pusing mencari tempat yang pas untuk memajang kreasi kuliner atau kerajinan, sekarang tinggal foto dan posting di medsos dan secara tiba-tiba segera bisa dilihat oleh orang sejagat.

Namun, ada juga yang menggunakan medsos untuk mencari atau menimbulkan masalah. Dalam situasi kontestasi politik seperti sekarang ini, kaum model begini tak terhitung banyaknya, dengan berbagai motif. Dari sinilah umumnya muncul konten-konten yang tidak sehat.

Terhadap penggunaan yang tidak sehat inilah saya anjurkan untuk puasa atau detoksifikasi. Dengan metode ini, kita bisa mengatur apa, kapan, dan bagaimana mengonsumsi informasi. Apa salahnya kita membersihkan medsos yang mengasup makanan bagi jiwa kita dengan cara memilih kontennya, mengatur kapan kita menerima feed-nya dan kapan kita ikut "bersuara", dan menentukan sendiri medsos yang menjamin kita hanya menerima asupan-asupan positif?

Tak hanya represif

Puasa pada hakikatnya ialah menahan diri untuk tak mengonsumsi sesuatu secara temporer. Mengatur diet adalah mengatur asupan yang dikonsumsi. Detoks atau detoksifikasi adalah mekanisme mengeluarkan racun dalam tubuh. Ketiga mekanisme itu bisa dipilih berdasarkan preferensi jika kita mau meningkatkan derajat wellness kita.

Puasa medsos bisa ditempuh jika ingin mengurangi ketergantungan dan meminimalkan ekspos terhadap konten negatif. Puasa medsos, secara temporer, juga mendorong kita menjalin relasi riil dengan orang-orang di sekitar kita secara lebih intim.

Mengatur diet bisa kita lakukan jika hendak menakar ulang jumlah aktivitas bermedsos atau memilih medsos yang relatif "sehat" untuk dikonsumsi. Pilih medsos yang tidak banyak "hawa" perangnya. Pilih kelompok yang membicarakan hal-hal produktif dan konstruktif.

Adapun detoksifikasi bisa ditempuh dengan bersih-bersih medsos dari anasir-anasir negatif. Memilih teman bukan berdasarkan kesepahaman dalam haluan sosial-politik atau kepercayaan saja, tetapi juga yang memang mendahulukan silaturahim dan pertemanan.

Itulah mengapa saya belakangan mengamplifikasi imbauan untuk meningkatkan kesehatan mental dan social wellness khusus medsos. Banyak instruktur atau pakar wellness di luar sana yang bisa memberi saran tentang asupan gizi dan makanan yang kita konsumsi, atau juga memberi saran tentang metode work out atau olahraga yang tepat. Namun, baru sedikit yang secara tekun mengingatkan aspek sosial dan mental yang sangat berpengaruh pada kesehatan dan wellness kita. Perkenankan saya mengambil peran kecil mengingatkan kita terhadap dampak negatif medsos itu (dengan pada saat yang sama juga mengakui juga banyak dampak positifnya).

Dengan "hanya" melontarkan imbauan untuk "puasa medsos", bukan berarti pemerintah belum melakukan apa pun dari sisi regulasi. Pemerintah selalu memantau sepak terjang platform medsos, terlebih jika membawa dampak negatif bagi masyarakat. Pemberian teguran lisan, surat peringatan, sampai penutupan akses sudah sering dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tapi semua tindakan represi dan legal itu tak cukup membawa bangsa ini ke social wellness tanpa secara simultan melakukan edukasi dan peningkatan literasi informasi masyarakat. Edukasi dan literasi selalu bukan kegiatan yang ingar bingar dengan pemberitaan media dan obrolan warung kopi. Edukasi dan literasi adalah jalan sunyi yang butuh napas panjang dan harus tahan terhadap cacian. Namun, keduanya harus tetap ditempuh.