KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Pekerja sedang menggiling padi menjadi beras di penggilingan padi milik Samidi di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (11/1/2018).

Menjelang Ramadhan, pemerintah berjanji ingin merealisasikan harga beras berada di bawah ketentuan harga eceran tertinggi (HET), setidak-tidaknya tidak boleh melebihinya. Demikian juga pemerintah berkeinginan mempertahankan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen pada tingkat petani sebesar Rp 3.700/kg.

Akhir-akhir ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita semakin sering "mengancam" pelaku usaha perdagangan agar mereka melepaskan stok beras, jangan berspekulasi  harga, terutama pada Mei-Juni (Kompas, 28/3/2018).

Target harga yang diinginkan pemerintah adalah beras kualitas medium Rp 9.450/kg) dan premium Rp 12.800/kg di wilayah produsen utama. Tim Sergap yang melibatkan TNI AD juga aktif menggiring petani agar menjual gabah ke Bulog pada tingkat HPP yang jauh lebih rendah daripada harga pasar.

Kekeliruan asumsi

Kompas melaporkan bahwa harga beras tak turun signifikan pada musim panen raya Maret-April (Kompas, 23/4/2018). Panen rendeng telah berakhir, telah masuk musim gadu pertama. Harga gabah kering panen (GKP) masih bertengger pada kisaran Rp 4.300-Rp 4.800/kg di sentra produksi padi di Jawa dan Sumatera atau setara harga beras medium berbentuk curah Rp 8.600-Rp 9.600/kg di tingkat penggilingan padi.

Sudah lama panen padi tidak serempak, penggilingan padi "haus gabah" karena kapasitas gilingnya lebih dua kali lipat dari jumlah produksi gabah. Alhasil, gabah diperebutkan, apalagi kalau kualitasnya bagus, harga gabah pasti tidak akan turun. Kalaupun terjadi, hanya berlangsung dalam waktu singkat dan pada areal panen yang tak luas.

Ketentuan HET ini dirancang dengan pendekatan penegakan hukum dengan instrumennya Satgas Pangan yang tidak dikenal dalam Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Setidaknya tiga asumsi yang dipakai sebagai dasar dipilihnya pendekatan itu. Pertama, asumsi dasarnya harga beras tinggi dan tidak stabil karena ulah para pelaku usaha, termasuk pengusaha penggilingan padi besar atau modern, bukan karena kurang produksi. Padahal, selama ini diyakini data produksi beras overestimate, bahkan BPS mengakui ada 6 indikasi data produksi beras overestimate.

Kedua, harga gabah/beras tinggi karena ulah mafia yang mempermainkan harga, dengan cara mempermainkan distribusi dan stok beras. Padahal, berbagai hasil riset memperlihatkan, biaya produksi gabah tinggi, juga biaya produksi/pemasaran beras Indonesia termasuk mahal.

Ketiga, struktur pasar beras diasumsikan oligopoli, bukan pasar persaingan sempurna seperti yang diperoleh dari berbagai hasil riset yang tepercaya selama ini. Karena kegagalan pasar, pemerintah perlu mengoreksinya. Akan tetapi, intervensi pemerintah pada struktur pasar persaingan sempurna akan merusak mekanisme pasar dan memunculkan government failure.

Dengan tiga asumsi heroik itu, dirancanglah instrumen baru Satgas Pangan. Satgas Pangan bekerja seolah-olah "tanpa batas", terutama dalam memeriksa dan menindak pemegang stok beras dan tindakan oplosan. Yang terkena bukan hanya pedagang dan pengusaha penggilingan padi swasta, melainkan juga Bulog.

Kalaulah asumsi tersebut tepat, ditambah dengan dukungan berbagai "tindakan keras dan intensif" Satgas Pangan, harga gabah/beras pasti turun. Apalagi pemerintah melalui Bulog telah mengguyur beras secara masif (terbanyak selama 20 tahun terakhir) ke pasar,  sekitar 852.000 ton beras dalam waktu 3,5 bulan terakhir, sebagian beras tersebut berasal dari impor.

Guyuran terbesar berasal dari bansos natura/beras mencapai 530.000 ton (58 persen dari pagu tahun ini), penyaluran operasi pasar (OP) hampir menembus angka 300.000 ton yang membuat defisitnya CBP (cadangan beras pemerintah). Bandingkan rata-rata OP per tahun dalam periode 2015-2017 hanya 155.000 ton atau separuh dari yang dilakukan dalam 3,5 bulan tahun ini. Kalau dilihat mundur hingga enam bulan terakhir (sejak November 2017), Bulog telah menambah suplai beras ke pasar mencapai 1,3 juta ton, suatu angka yang sangat tinggi, tetapi kurang berdampak pada harga beras di pasar.

Untuk mencapai harga beras agar rendah, terutama pada musim panen raya, sesungguhnya Bulog telah melanggar prinsip dasar logistik, yaitu seharusnya OP dihentikan pada saat musim panen raya. Kalau tetap dilakukan, akan membuat tingginya "salah urus" di lapangan, apalagi pengadaan gabah/beras Bulog dengan mengerahkan tim Sergab yang didukung TNI AD. Demikian juga pengadaan gabah/beras Bulog seharusnya dihentikan pada musim paceklik karena dapat membuat harga beras semakin tidak stabil.

Memihak siapa?

Pemerintah sering terjebak dalam keputusan jangka pendek dan ad hoc, seperti kebijakan HET beras dan instrumen yang kaku, serta menutup mata dampak jangka menengah/panjang terhadap petani, industri beras dan pembangunan perdesaan.

Banyak penelitian di tingkat internasional memperlihatkan, dalam jangka menengah/panjang harga pangan tinggi berpengaruh positif, bahkan pada net food buyers, jika  harga pangan dapat mempercepat proses dinamika ekonomi yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan upah yang lebih tinggi untuk menutupi tingginya harga pangan. Penelitian lain juga memperlihatkan pertumbuhan pangan khususnya, berefek ganda secara positif terhadap ekonomi keseluruhan, jauh lebih efektif dalam usaha mengurangi kemiskinan dan mendorong  pertumbuhan sektor ekonomi lain.

Oleh karena itu, disarankan hal-hal seperti berikut. Pertama, pemerintah  sebaiknya mempertimbangkan dampak negatif dalam jangka menengah-panjang akibat penerapan HET secara kaku dan serampangan. Usaha penggilingan padi akan ambruk, harga gabah akan tertekan rendah, insentif petani berkurang.

Kedua, tujuan kebijakan beras sebaiknya diubah, yaitu untuk melindungi konsumen miskin, bukan konsumen umum. Berbagai program untuk itu sudah dibuat, seperti program Rastra, bantuan pangan nontunai, bantuan pangan natura/beras. Lalu, mengapa pemerintah "takut" harga beras tinggi kan kelompok miskin telah terlindungi.

Ketiga, pemerintah lebih produktif hanya "mengatur" beras kualitas rendah (medium) yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah. Pemerintah tidak perlu mencampuri beras kualitas premium atau kualitas di atasnya. Kalau yang terakhir tetap dilakukan, dalam jangka menengah/panjang akan terjadi stagnasi investasi/modernisasi dan inovasi pada industri penggilingan padi sehingga merugikan konsumen kelompok menengah atas.

Keempat, pemerintah perlu meninjau ulang tiga asumsi yang mendasari dibuat instrumen Satgas Pangan.

Sebaiknya pemerintah melihat kembali hasil-hasil riset terkait struktur pasar beras dan penyebab harga beras tinggi. Banyak lembaga riset tepercaya telah melakukan penelitian tentang itu dengan menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan pula.