KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo menyambut Perdana Menteri China Li Keqiang di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (7/5/2018).

Sejak terpilih menjadi Presiden RI di 2014, Jokowi telah beberapa kali melakukan kunjungan kenegaraan ke China, baik dalam konteks bilateral maupun untuk menghadiri forum-forum multilateral dan internasional. Presiden China Xi Jinping juga telah melakukan kunjungan ke Indonesia tahun 2015. PM China Li Keqiang dijadwalkan juga berkunjung ke Jakarta minggu ini.

Intensitas kunjungan di antara pemimpin kedua negara serta kecenderungan meningkatnya investasi China di Indonesia, kemudian memunculkan spekulasi Jokowi ingin membawa Indonesia lebih dekat dengan China. Sejatinya, dengan posisi sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor dua di dunia setelah AS, serta potensi pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk asal Indonesia, langkah Jokowi perlu mendapat dukungan semua pihak. Namun, langkah ini telah menimbulkan kegelisahan beberapa kalangan di Tanah Air. Beberapa faktor yang mendasari kegelisahan terkait intimnya hubungan RI-China adalah, pertama, ideologi.

Bagi sementara kalangan, ideologi komunis China adalah ancaman nyata bagi Indonesia. Sejarah kelam peristiwa 1965 yang didalangi Partai Komunis Indonesia, residunya masih membekas di sanubari rakyat Indonesia. Sampai kini, masih banyak pihak meyakini China penyokong utama pemberontakan kelompok komunis Indonesia pimpinan DN Aidit itu.

Karena itu, kedekatan dengan China dianggap langkah yang sangat membahayakan, sebagaimana pesan-pesan berantai yang berseliweran di berbagai lini masa. Tak terkecuali fitnah yang dialamatkan kepada pemerintahan Jokowi yang dianggap ingin menyuburkan paham komunis karena kedekatan yang sedang dibangun dengan China.

Kedua, ekonomi. Dengan meningkatnya arus investasi dari China ke Indonesia, sebagian kalangan khawatir akan menjadikan Indonesia sangat bergantung secara ekonomi pada China dan kemudian akan berakibat pada hilangnya kedaulatan negara. Hal ini diperparah oleh kasus-kasus penyalahgunaan izin yang dilakukan TKA asal China di beberapa wilayah Indonesia beberapa waktu terakhir.

Ketiga, pertahanan dan keamanan negara. Keinginan investor China terlibat dalam proyek-proyek strategis di Indonesia, misalnya pembangunan kawasan industri terpadu di Kuala Tanjung dan Sei Mankei di Sumatera Utara, Bitung di Sulawesi Utara, serta Tanah Kuning di Kalimantan Utara, diprediksi akan mengancam pertahanan dan keamanan negara.

Keterlibatan investor China dalam proyek itu dikhawatirkan akan memberikan ruang bagi kapal berteknologi tinggi asal China bergerak bebas di perairan Indonesia. Beberapa pihak menganggap ini ancaman serius bagi keamanan laut Indonesia mengingat masih sangat terbatasnya kemampuan armada laut yang dimiliki Indonesia saat ini.

Berlebihan

Tentu saja, kegelisahan dari beberapa kalangan itu harus menjadi masukan penting bagi pemerintah. Namun, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pertama, kekhawatiran mengenai bangkitnya gerakan komunis di Indonesia adalah sesuatu yang sangat beralasan. Kita semua tentu tak ingin peristiwa kelam 1965 terulang kembali. Selain itu, ideologi komunis sangat bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Indonesia.

Namun, menjadi tak wajar jika kita kemudian mencari pembenaran atas dugaan kebangkitan paham komunis di Indonesia dengan menyalahkan kedekatan RI-China sebagai pangkal persoalan. Penting diketahui, sejak melakukan ekspansi ekonomi di berbagai kawasan dunia setelah kebangkitan ekonominya tahun 1990-an, belum pernah ditemukan kasus adanya negara yang mengadopsi ideologi komunis karena campur tangan China.

Kedua, pendapat sebagian kalangan bahwa investasi China di Indonesia akan berdampak pada hilangnya kedaulatan negara adalah sesuatu yang sangat berlebihan. Indonesia bukanlah negara kemarin sore yang bisa didikte negara mana pun. Terkait kasus penyalahgunaan izin oleh TKA asal China, pemerintah perlu bertindak tegas. Sulit dibantah ada faktor kelalaian dari petugas di lapangan soal penegakan aturan yang tercantum dalam UU Tenaga Kerja.

Untuk mengatasi ini, dukungan dari Pemerintah China juga sangat diperlukan mengingat umumnya perusahaan yang berinvestasi di Indonesia terafiliasi ke badan usaha milik Pemerintah China. Akan baik jika kebijakan yang digunakan Chinalco (China Aluminum Corporation) ketika berinvestasi di Peru dengan lebih mengoptimalkan tenaga kerja lokal, dijadikan rujukan dalam melakukan investasi di Indonesia.

Karena itu, kunjungan PM Li Keqiang merupakan momentum tepat untuk mendiskusikan itu. Apalagi ada keinginan yang kuat dari Jokowi dan Xi untuk terus meningkatkan kerja sama bilateral dengan mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan.

Ketiga, ketertarikan investor China terlibat dalam proyek-proyek strategis, misalnya lewat pembangunan kawasan ekonomi terpadu di sejumlah wilayah Indonesia harus diikuti dengan penguatan kemampuan maritim di Indonesia. Meski ide Jokowi menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum) seolah tenggelam dalam hiruk-pikuk politik menjelang 2019, pemerintah perlu memikirkan cara terbaik meningkatkan alokasi anggaran pertahanan untuk matra laut yang merupakan garda terdepan dalam melindungi keamanan maritim dan sumber daya laut Indonesia.

Memang tak mudah bagi Jokowi meyakinkan pihak-pihak yang khawatir dengan langkahnya membawa Indonesia lebih dekat dengan China. Karena itu, perlu ada kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah China sendiri. Kita semua tentu sadar Indonesia dan China dua negara yang punya posisi penting dalam konteks regional maupun internasional sehingga kedua negara perlu terus bekerja sama agar hambatan yang masih menganjal dalam hubungan kedua negara terselesaikan.

Posisi politik Indonesia dan China selalu sejalan, terutama terkait isu-isu krusial, seperti dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa China sebagai anggota tetap DK PBB konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Yang perlu kita renungkan bersama, jika prediksi berbagai kalangan bahwa China akan menggantikan posisi AS sebagai adidaya global dalam beberapa dekade mendatang menjadi kenyataan, apakah kita masih akan menjaga jarak dengan China?